***
“Kamu menyimpulkan terlalu cepat.”
Saraswati duduk di hadapan Cantaka, di atas meja sudah tersaji teh hijau hangat yang menjadi kesukaan Cantaka, meskipun takarannya sudah dikurangi menyusul kekeringan panjang.
“Kita masih menikmati air meskipun sedikit karena kita cukup beruntung, sungai besar yang mengalir di istana kita belum mengering,” jelas Saraswati.
“Mungkin satu-satunya yang belum surut,” sambung Saraswati.
Cantaka menghabiskan minuman yang berada di cangkirnya dan menengguk dengan cepat. Teh hijau yang tesisa di dalam teko sudah benar-benar habis, mereka tidak berniat untuk menambahnya lagi.
“Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” tanya Saraswati, penasaran.
“Entahlah. Aku menjanjikan untuk menurunkan hujan kepada mereka dan aku bingung apa yang harus kulakukan.”
“Haha!”
“Memangnya kamu penguasa langit yang bisa menurunkan hujan
***“Apa yang harus kulakukan?”Cantaka masih termenung memandang rak buku yang tersusun rapi di perpustakaan istana. Ia ditemani oleh Han sama bingungnya tentang tantangan Pangeran untuk menurunkan hujan dengan cepat.“Apa kejadian kekeringan ini pernah terjadi di kerajaan ini sebelumnya?” tanya Cantaka, Han mengangguk pelan.“Waktu aku kecil dulu, kekeringan ini juga pernah terjadi. Namun, tidak pernah selama ini,” jawab Han.Mendengar perkataannya memberikan angin segar bagi Cantaka, setidaknya dulu pernah terjadi tetapi keadaan mulai membaik hingga saat ini.Cantaka memang tidak memiliki kuasa khusus untuk menurunkan hujan. Namun, ia mengetahui ada metode tertentu yang dapat digunakan untuk menurunkan hujan. Dengan kata lain, hujan buatan.“Apa aku perlu membawa teh kemari?” tanya Han, berinisiatif.Cantaka memfokuskan pandangannya pada pria tersebut. Pemuda itu mengangguk pel
“Apa yang sedang kamu buat, Pangeran?” tanya Han.Ia datang setelah membersihkan mulutnya dari bekas garam yang tersisa. Han bertanya kepada Pangeran Cantaka yang tengah terduduk sambil mengikat sebuah kain berwarna biru langit.“Aku akan membuat layang-layang,” jawab Cantaka singkat.“Layang-layang? Benda apa itu?” tanya Han, penasaran.Cantaka menghentikan sejenak kegiatannya, menatap pria yang tengah duduk di dekatnya sambil mengangkat kain yang sudah terbentuk jelas seperti layang-layang pada umumnya.Mereka belum mengetahui apa itu layang-layang dan cara kerjanya. Untungnya Cantaka mengalami masa kecil yang menyenangkan bermain di luar, sehingga ia masih ingat betul cara memainkan benda tersebut.“Oh bagaimana kamu bisa tahu hal ini, Pangeran?” tanya Han, penasaran.Kejeniusan Cantaka di zaman itu memberikan pertanyaan bagi yang melihatnya. Pada dasarnya, hal-hal seperti layang-laya
Cukup puas Cantaka merasakan pengalaman bermain layang di zaman ini, ia mulai menarik benda itu untuk mendekat. Ia bisa membayangkan bagaimana cara menurunkan hujan buatan di tempat ini dengan menggunakan sebuah layangan, ide yang benar-benar gila.Saraswati yang sedari tadi menemani Cantaka mulai berbenah, mengambil benang dan barang-barang yang dibawa pemuda itu.“Bawa ini, Saraswati,” ujar Cantaka.Wanita itu hanya berdeham, tanpa membalas pandangan Cantaka padanya. Ia sungguh malu dan grogi dengan sikap Pangeran Cantaka sore itu yang memperlakuannya begitu ramah dan hangat.“Ah, menyenangkan sekali hari ini, rasanya seperti beban yang terpangku di pundakku benar-benar terlepas,” sambung Cantaka.“Aku juga demikian.”“Kamu juga? Ah, ini menjadi pengalaman pertamamu bermain layangan, kan?” tanya Cantaka.Secara tiba-tiba, pemuda itu mendekatkan posisi duduknya ke arah Saraswati. Gadis
“Garam?” tanya Raja, kaget.“Benar,” timpal Cantaka.Pemuda itu juga ikut memeragakan bagaimana rencananya akan berjalan dengan dua benda tersebut, garam dan layangan. Raja terus memerhatikan seraya menyimak penjelasan yang baru ia dengar seumur hidupnya.“Tapi bukankah posisi awan begitu tinggi? Mampukah layanganmu terbang di atasnya?” tanya Raja.Ucapan pria itu didasarkan pada pemikiran sederhananya, bukan berdasarkan ilmu pengetahun dan teknologi.Cantaka menggenggam layangan itu dengan kedua tangannya, memerhatikan bentuk benda itu dengan seksama. Bentuknya sama seperti pada umumnya dan ia tak lagi kesulitan untuk menerbangkan benda ini kembali.Pangeran muda itu meletakan layangannya di atas meja dan duduk bersila seraya menyeruput teh hangat. Ia sudah memikirkan dua rencana untuk menyukseskan hujan buatan ini.“Ada dua cara yang terpikirkan olehku untuk membawa benda ini terbang di angk
***Mereka berhasil melakukannya.Para pekerja itu berhasil membuat 50 layangan dalam satu hari. Berkat kerja keras mereka, Cantaka memberikan bonus bagi masing-masing orang dengan dua keping koin emas.“Ini sangat besar jika dibandingkan dengan buatanmu kemarin,” balas Raja.Pria itu mengunjungi aula kerajaan demi menyaksikan bagaimana proses pembuatan layang-layang untuk membantu keinginannya.“Kerja bagus, Cantaka,” puji Raja.Pangeran Cantaka tersenyum dan merasa bangga dirinya bisa disanjung oleh Raja di khalayak umum. Di sana juga hadir Jayagiri yang datang ditemani pelayan pribadinya, wajahnya begitu kusut tak suka melihat Cantaka banyak mengambil perhatian Raja.“Selanjutnya apa yang akan kita lakukan?” tanya Raja, penasaran.Ia masih menggenggam layangan sebesar tubuhnya dengan kedua tangannya yang besar. Atensinya teralihkan tatkala melihat sebuah botol berukuran sedang terpasang di
***Hari kedua untuk rencana penyemaian hujan buatan ini berjalan layaknya seperti hari kemarin. Namun, Cantaka perlu melakukannya dalam tiga sesi. Hal ini disebabkan minimnya pelayan yang mau ikut membantu Pangeran Cantaka.Jayagiri selalu datang ke tempat pelaksanaan penyemaian hujan buatan Cantaka. Pangeran Jayagiri sungguh bahagia dan senang melihat dirinya bisa menjatuhkan keangkuhan yang ditunjukan Cantaka.“Jika sudah diterbangkan, tancapkan kayu itu di atas tanah,” titah Cantaka, seorang pelayan yang mendapatkan perintah darinya segera bertindak.“Wah, kini kamu menggunakan kayu untuk tetap menjalankan rencana gilamu itu, yah?” sindir Jayagiri, tersenyum sinis.Terlihat luka memar yang masih membekas di wajahnya sudah terobati, pukulan telak kemarin membuat semua orang terkejut.Cantaka yang tidak pernah bertarung dengan Jayagiri, secara lantang dan mengejutkan mendaratkan tinju pertamanya kepada pria tersebut
***Hari ketiga pun datang. Cantaka sudah sepenuhnya bersiap jika hari ini sama seperti dua hari lalu. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa melihat banyak kejadian buruk yang menimpanya.Layangan yang menjadi pedang Cantaka kini hanya bersisa setengah dari jumlah seluruhnya. Titik hitam bekas pembakaran masih terlihat jelas di atas tanah, sangat sulit untuk membersihkannya dan mungkin hanya akan bersih ketika hujan turun.“Apa kamu baik-baik saja, Cantaka?” tanya Ayodya, pengawalnya tersebut sedang susah payah menerbangkan beberapa layangan untuk tetap menjalankan rencana hujan buatan tersebut.Cantaka mengangguk pelan, tanpa menjawab sepatah kata pun pada Ayodya. Pengawal itu menyadari jika perasaan Pangeran sedang kacau dan ia tidak ingin mengungkitnya kembali.“Apa dia masih memikirkan kejadian kemarin?” tanya Saraswati.“Sepertinya begitu, sebaiknya kita mulai bekerja untuk meringankan beban Pangeran.
***Esok hari.“Hujan ini benar-benar keajaiban dari langit,” balas Raja, pria itu mengundang Cantaka untuk hadir di istana, merayakan keberhasilan pemuda itu untuk menepati janjinya.Cantaka merasakan hal yang sama dengan Raja. Ia tidak bisa meluapkan kesenangannya tatkala kemarin melihat buih-buih hujan turun membasahi bumi gersang ini.“Kamu hebat, Pangeran. Kamu selalu melakukan hal-hal yang tak bisa kita lakukan,” puji Gunawarman, mengangkat cangkirnya dan bersulang untuk Cantaka.Pangeran muda itu tersenyum lebar dan menyambut cangkir Gunawarman hingga terdengar dentingan kaca yang nyaring.Malam itu, mereka para lelaki banyak menghabiskan waktu untuk berbincang satu sama lain, mulai dari membahas ekonomi, bisnis, hingga masalah sepele seperti wanita favoritnya di rumah bordil.Selagi Cantaka sedang menikmati makan malam bersama Raja dan para menterinya, tiba-tiba pintu istana terbuka dan terpampang jelas