Gendis berangkat kerja dengan gembira, bagaimana tidak jika Della baru saja memberi kabar bahwa Buana baru saja datang. Ia bergegas menyudahi dandannya dan segera menyambar kunci mobilnya.
Galih yang sedang menikmati nasi goreng mengerutkan dahi saat putri sulungnya itu hanya mencium pipinya tanpa ikut bergabung.
"Nggak sarapan?" tanya Galih.
"Aku sarapan di resto saja, Pa. Ada tamu yang sudah menungguku di sana."
"Tamu? Tumben ... Kok nggak biasanya?" tanya Genta. Gendis hanya mengedipkan sebelah mata dan mencubit hidung adiknya lalu segera bergegas pergi.
"Anakmu kenapa, Ma?" tanya Galih pada Maharani.
Maharani hanya menghela napas panjang dan mengendikkan bahunya.
"Dia sedang jatuh cinta mungkin, Pa," celetuk Genta.
"Hush, jangan sembarangan!" kata Galih.
"Pa, obat patah hati itu ya harus lekas menemukan pengganti. Itu obat yang paling ma
Melihat anak gadisnya pulang jam tiga sore membuat Maharani berjengit. Terlebih saat melihat Gendis mengeluarkan hampir sepertiga isi lemarinya."Kau mau ke mana? Tumben sudah pulang?" tanya Maharani. Gendis menoleh dan tersenyum malu."Hmm ... mas Buana hendak berkunjung dan mengajakku jalan-jalan, Ma."Maharani mengangkat kedua alisnya, "Dia? Buana? Polisi itu?""KOMPOL Buana, Ma. Dia sudah berpangkat tinggi, meski usianya masih muda," jawab Gendis."Mama jadi penasaran seperti apa sih, awas saja jika penampilannya ....""Penampilannya bagaimana, Ma?" tanya Gendis. Maharani tidak menjawab lagi, ia hanya menggelengkan kepala dan meninggalkan kamar Gendis. Sementara gadis itu kembali sibuk dengan pakaian yang nanti akan dikenakannya. Gendis tidak mau terlihat heboh, tapi ia ingin tetap terlihat elegan dan cantik."Jangan gaun, Gendis. Aduh, kau ini kan hanya akan
Gendis hampir tidak percaya ketika ia dan Buana berada satu mobil. Galih langsung memberi izin untuk membawa Gendis pergi ke luar."Kau cantik sekali malam ini, berbeda dengan biasa bekerja," komentar Buana. Biasanya ia melihat Gendis dengan make up lengkap yang membuatnya terlihat dewasa. Namun, malam ini ia seperti melihat sisi lain dari Gendis. Jujur, Buana lebih menyukai Gendis dengan penampilan yang seperti ini. Lebih terlihat natural."Memang, biasanya aku tidak cantik, Mas?" tanya Gendis. Buana tertawa kecil, "Cantik, hanya saja aku seperti melihat sisi lain dari dirimu dan aku suka melihatnya. Kau terihat lebih manis seperti remaja ABG yang baru lulus SMA." Ah, hati Gendis rasanya berbunga-bunga mendengar pujian Buana."Terima kasih, Mas.""Hmm ... kita ke mana malam ini?" tanya Buana."Bagaimana kalau kita makan sate kelinci saja dulu, mumpung kita masih berada di Lemb
Gendis menghela napas panjang sambil menatap Buana."Aku pernah bermimpi melihat seorang gadis meminum racun di malam pengantin. Mama bilang, itu bunga tidur. Tapi, entah mengapa aku tidak pernah bisa melupakan mimpi itu. Lalu, saat aku beranjak remaja, mimpi yang sama kembali datang. Terakhir kemarin malam, mimpi itu datang lagi, bahkan lebih panjang dari dua mimpi yang sebelumnya. Bahkan, dalam mimpi itu aku bukan hanya melihat. Tetapi akulah gadis yang meminum racun itu. Rasa pahit itu bahkan masih tertinggal, rasa sakit ketika jiwa lepas dari raga pun masih terasa." Buana diam, ia menunggu ucapan Gendis selanjutnya."Namaku adalah Dyah Suyadita, aku putri satu-satunya dari seorang pembesar di kerajaan Kahuripan. Ayahku bernama Kebo Rawang, beliau tidak pernah setuju hubunganku dengan kakang Supa Mandrageni karena ia hanyalah pemuda yatim piatu yang diangkat anak oleh seorang pengawal kerajaan.
Menjelang pukul 11 malam, Buana sudah mengantarkan Gendis pulang. Ia tidak mau kedua orangtua Gendis jadi tidak respek karena mereka pulang terlalu malam. Galih dan Genta yang sedang duduk di teras langsung menyambut."Om kira sampai tengah malam," kekeh Galih."Tidak baik anak gadis pulang terlalu larut, Om. Gendis belum resmi menjadi istri saya. Jadi, saya tidak bisa seenaknya membawa Gendis tanpa mengenal waktu," jawab Buana dengan tegas. Diam-diam Galih merasa kagum dengan pembawaan pemuda di hadapannya ini. Jika memang harus memilih, Galih akan lebih setuju jika Gendis menikah dengan Buana."Kalau begitu, Om dengan senang hati menunggu kedatangan kedua orangtuamu, Nak Buana," kata Galih membuka jalan."Papa ...." Gendis hanya mencolek lengan sang ayah dengan wajah yang memerah menahan malu. Sementara Buana tersenyum, "Kedua orangtua kandung saya sudah lama meninggal. Tetap
Yongseng membelalakkan mata saat mendengarkan cerita Buana. Bukan hanya Yongseng, AKBP Bayu yang baru saja datang dari Jakarta pun terbelalak kaget."Gila! Kau serius Buana? Aku menugaskan dirimu untuk mendekati keluarga Galih, bukan menikahi putrinya," kata AKBP Bayu sambil menepuk dahinya. Sejak masa pendidikan dulu, Buana adalah salah satu bimbingan AKBP Bayu, tetapi karena prestasi Buana yang luar biasa ia dengan mudah berada di posisi sekarang. Bayu merasa sangat bangga akan hal itu, tetapi terkadang keputusan yang Buana ambil selalu mengejutkan. Termasuk kali ini, disuruh menyelidiki malah menikah sekalian."Kau yakin? Buana, aku bicara sebagai seorang kakak kepada adiknya. Pernikahan bukan hal main-main. Bagaimana bisa kau menikahi Gendis? Apa kau benar-benar mencintainya? Kalau hanya karena tugas, lebih baik jangan. Ini urusan masa depan, terlebih pekerjaan kita sebagai abdi negara. Mana bisa punya dua istri atau dengan
Sudah hampir lima tahun Supa Mandrageni melakukan tapa brata. Ia hanya duduk bersila dan memusatkan diri kepada Hyang Widi sang maha pencipta. Sebenarnya kepergian Supa Mandrageni ke puncak gunung Ciremai semata ingin melarikan diri dari segala sakit hati dan kisah cintanya yang kandas. Ia tidak peduli jika memang dalam semedinya ia mati karena tidak makan dan tidak minum. Tetapi, sampai lima tahun ia tidak merasakan apa-apa. Bahkan ia merasa seperti sedang berjalan-jalan ke banyak tempat yang indah. Malam itu tepat saat cahaya bulan purnama bersinar penuh, hari jumat legi. Selarik sinar tiba-tiba menerangi gua tempat Supa Mandrageni bertapa."Anakku, Supa Mandrageni, bangunlah!" Tiba-tiba terdengar suara yang bergaung memenuhi gua itu. Suara itu terdengar sangat berwibawa, tetap lembut meski penuh ketegasan. Pertanda jika sang empunya suara adalah orang y
Buana tersentak kaget, kali ini ia merasa bingung. Mimpi yang datang kali ini berbeda dengan mimpi sebelumnya. "Mpu Badingga," gumamnya perlahan. Pemuda itu menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Tiba-tiba, ia terbelalak saat melihat ada kelopak bunga di atas bantalnya. Ia ingat dalam mimpi saat Mpu Supa mandi, ada kelopak mawar yang terjatuh. "Ini ...." Buana terdiam, ia berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Perlahan pemuda gagah itu bangkit dan berjalan ke arah jendela kamarnya. Buana membuka jendela dan seperti biasa saat ia merasa gelisah hanya asap rokok yang menjadi temannya. Tok! Tok! Tok!Buana menoleh, belum sempat ia membuka pintu, Yongseng sudah masuk dengan wajah yang kuyu."Kau kenapa?" tanya Buana. Yongseng mengembuskan napas dengan kasar lalu membanting tubuhnya di atas kasur."Sejak aku menangani kasus aneh ini, rasan
Buana menatap kalender di tangannya tidak percaya. Bagaimana mungkin ia bisa kecolongan?"Beberapa hari lagi akan ada jenazah yang ditemukan di Menado dengan kondisi sama.""Kau jangan asal bicara, Buana!" seru Yongseng antara kaget dan kesal.Buana menggelengkan kepalanya, "Aku tidak main-main, kita lihat saja nanti. Kau bisa buktikan perkataanku." Yongseng terdiam, ia tau betul Buana tidak pernah main-main. Mau tak mau Yongseng kembali menatap Buana dengan serius."Bagaimana kau bisa tau?" tanya Yongseng."Genta ... tiga hari yang lalu, Gendis mengatakan bahwa adiknya itu baru saja berangkat ke Menado. Jika memang dugaanku benar, Genta akan menjadi orang yang berada di tempat dan waktu yang kurang tepat seperti biasa. Kalaupun tidak, pasti akan terjadi sesuatu. Yang pasti, dia akan lebih berhati- hati kali ini," tutur Buana. Yongseng menggaruk