Dina melihat hamparan taman bunga di Hokkaido. Matanya berbinar-binar menyaksikan berbagai macam bunga mekar dengan indahnya. Warna mereka tegas, setegas warna lipstiknya yang merah spesial untuk bulan madu mereka. Meskipun terlihat lucu di mata Elan, tapi ia menghargai Dina untuk dandan. Lagi pula apapun wujud Dina akan tetap cantik di matanya. Hanya saja kali ini terlihat lebih menggoda.
"Kamu suka?" Tanya Elan sembari melingkari perut Dina.
Dina menoleh ke belakang dan mengangguk penuh keceriaan. Elan pun gemas dan menciumi tengkuk Dina tak sabar, juga tak peduli bahwa lagi-lagi ini adalah tempat umum.
"Mari kembali ke penginapan, aku sudah ingin kamu lagi.."
"Kita baru sampai masa sudah kembali sih?!" Protes Dina kesal.
"Suamimu kan ingin Sayang, penuhi kewajibanmu.." Elan menuntut beralasan.
"Tadi di pesawat juga bilang begitu, begitu sampai masuk kamar langsung aku layani. Masa sekarang me time sebentar saja ti
vote dan komentar ya say
Dina melangkah menuju kamarnya. Cepat karena ingin segera menangis menumpahkan kecewa. Terluka. "Hey Bocah, Sandra akan kemari, mungkin lebih baik kamu pergi agar dia lebih nyaman berada di sini." Dina menelan bulat pil pahit yang sepertinya Elan jejalkan dengan sengaja. Ia paham ini bukan rumahnya tapi mengusirnya untuk berduaan atau mungkin bercinta dengan gadis lain sangat tidak manusiawi baginya. Setelah semua yang mereka jalani bersama, mengapa ia merasa didepak? Sebagai satu serpihan yang tak diharapkan hidup Elan. Bagaimanapun Dina merasa masih berstatus istri sah Elan. Ia ingin setidaknya dihormati, bukan hanya dianggap tak dianggap. Entahlah, Dina pun bingung dengan perasaannya sendiri. Mungkin ini cemburu, cemburu yang tak perlu. "Aku di dalam kamar saja, tidak perlu keluar tidak masalah kan?" Dina berusaha tenang. "Terserah, asal jangan keluar kamar sampai Sandra pulang." Dina tak merespons. Ia segera masuk ke dalam kamar. M
Kring kring.. "Halo.. Mama.." "Halo Sayang.. Kamu baik-baik saja? Suaramu serak? Batuk Nak?" "Bukan Ma, baru sarapan, belum minum saja. Ada apa Mama pagi-pagi telepon?" "Ah iya.. Asya bilang bulan-bulan ini padat-padatnya daftar kuliah. Kamu sudah daftar Sayang?" "Oh, emm.. Sudah.." "Kok ragu? Anak Mama tidak boleh menyerah, harus mencoba dulu, gagal di jalur nontes itu biasa. Asya bilang tidak ada salahnya mencoba semua jalur. Elan mendukungmu kan?" "Ah iya Ma, pasti, pasti dia mendukung." "Syukurlah.. Dia pernah bilang ke Mama kalau semua biaya kuliah kamu akan ditanggung. Awalnya Mama ingin menolak tapi Papamu bilang kalau kami menolak, khawatir dia tersinggung." "Ya, Ma." "Kok cuma ya?" "Mama tidak perlu khawatir, dia menanggung semua." "Ya sudah, itu dulu ya. Jangan kecewakan Elan, Mama tunggu kabar bahagianya. Anak Mama pasti
Dina menggerakkan tubuhnya untuk menjemput kesadaran. Matanya terbuka dan tersadar sedang tidur di kamar Elan. Ia menoleh ke kiri kanan tapi tak menemukan siapapun. Mungkin Elan sudah berangkat. Ia menatap cermin dari jauh. menemukan refleksi dirinya yang miris. Menjijikkan. Dina kembali menangis. Terisak-isak tanpa ada yang menolong. Setiap sendi di tubuhnya seakan lepas, tapi yang paling menyakitkan adalah harapan yang hilang, kepercayaan yang pudar. Berulang kali ia menyapu air mata dengan jari. Lelah rasanya menangis. Ini bukan gayanya. Namun tak ada cara lain untuk mengurangi kesedihan. Terbangun dalam tubuh telanjang tak berselimut sudah sangat membuktikan betapa Elan tak lagi peduli. Jangankan peduli, ia saja merasa diperlakukan tak manusiawi. Dina memungut lalu memakai pakaian dalam dan rok seragamnya. Punggung tangannya mengusap kasar pipi, berusaha mensterilkan dari air mata. Kriet.. Brak! Dina tersentak, refleks menyilang d
Berulang kali Dina mengambil nafas berat sebelum membuka pintu apartemen Elan. Berusaha menetralkan nafasnya yang tersengal. Sepanjang perjalanan ia terus dihantui rasa cemas. Menduga-duga kemarahan Elan karena dirinya pulang terlambat. Tapi apa salahku? Dia tidak berhak mengatur hidupku.. Dina masuk. Menyapu pandang ke seluruh sudut ruang. Refleks menunduk saat melihat Elan tengah menikmati santap malam di meja makan. Ia melangkah pasti, percaya diri untuk menuju kamarnya. "Makanlah!" Suara Elan memecah keheningan. Terdengar sangat dingin tapi tak tercemar emosi. Dina memberanikan diri, membelokkan langkah mendekati meja makan. "Duduklah!" Perintah Elan pendek, masih nihil pandang ke arah Dina. Perlahan Dina menyeret kursi ke belakang, lalu duduk dengan tenang. Ia berusaha menghilangkan rasa takutnya. Di hadapannya sudah terhidang makan malam yang sepertinya sengaja Elan siapkan untuknya. Dina belum mau menyen
"Pak.. Pak Elan? Permisi.." "Oh?" Aku melongo. Baru sadar jika Damar memanggilku sedari tadi. "Ini beberapa informasi tentang Sakura Town yang bermasalah pajaknya, kita bisa menjadikan ini cela untuk memeroleh penawaran yang lebih rendah jika kita bisa mendapat solusi yang minim risiko untuk menyelesaikan masalah mereka. Menurut Bapak, kawasan ini cukup menarik minat penyewaatau bagaimana?" "Mar, kamu sudah menikah kan?" "Loh Kok?" Damar terlihat kebingungan mendengarku sama sekali tak menggubris penjelasannya. Pikiranku seperti di-remote oleh Dina dari jauh. Tak bisa berhenti memikirkannya. Iblis macam apa yang telah merasukiku hingga berlaku sekejam itu? Aku sudah menendang harga dirinya bertubi-tubi dengan sikap yang sangat menjijikkan. Bodohnya aku baru menyadari semuanya sekarang. Sakit hati dan dendam itu sangat tidak perlu. Sekarang bisa jadi aku ya
Kecupan kecil mendarat di punggung tangan Dina. Ia melihat bagaimana Elan memperlakukan tangannya bak permen kapas yang jika ditekan sedikit saja akan rusak. Sangat berhati-hati. Aneh, hanya butuh waktu 24 jam untuk memutar sikap kasar lelaki itu. "Katakan apa yang kamu inginkan Sayang?" Dina membuang nafasnya kasar. Berharap keputusannya benar. "Ceraikan aku.." Elan tak melepas genggaman di tangan Dina. Sekalipun ekspresi tenangnya goyah, ia berusaha tak terpengaruh. Bagi Elan, bagaimanapun caranya ia harus tetap mendominasi. Tak perlu menanggapi, apalagi memedulikan permintaan Dina. "Oh ya, nanti jam satu siang aku akan menjemputmu. Kamu belum memilih gaun untuk nanti malam." Dina bisa menemukan penolakan keras dari kepura-puraan Elan. Ia berusaha menarik tangannya dari genggaman tapi tertahan kuat oleh remasan. "Sampai kapan kamu mau menyiksaku?" "Sekalian membeli sepatu. Aku ingin istriku terlihat sempurna malam ini
"Sayang.." "Hmm.." Dina melongo, tak sadar menyahuti Elan. Ia refleks menutup bibirbelepotannya karena merasa salah ucap. Namun Elan menyingkirkan penghalang itu kemudian berbisik lirih. "Sepertinya aku harus mencicipi rasa seorang bidadari terlebih dahulu sebelum berangkat." Dina membulatkan matanya mengancam agar Elan tak berlaku lebih jauh. Ia tak mau penampilannya malam ini semakin rusak karena suaminya tak mampu menanggung bebanhasrat. Cukup lipstiknya yang sudah tak sempurna, yang lain jangan. Namun apa daya Dina jika kemauan Elan sudah berkumandang. Salah satu tali gaunnya sudah turun dan mengekspos dadanya yang menggantung indah. Pahanya digerayangi lalu berhenti di pangkal. Mengulik bagian kecil yang semula diam hingga menyembul bangun. "Jangan Elaaan.." Desah Dina tak sejalan dengan reaksi tubuhnya saat Elan bermain lidah di dada. Telunjuk Elan menemukan kebasahan yang dengan cepat menjalar. Memud
Yasmin cs masuk kembali ke kamar Dina setelah dipersilahkan tuan rumah. Sejak memasuki apartemen Elan dan melihat kemeja lelaki itu keluar dari celana dan kusut di mana-mana, ketiganya sudah tersipu-sipu paham alasan mereka dipanggil kembali. Bahkan mereka hampir tak bisa menahan tawa menyaksikan tubuh Dina yang tak semulus sebelumnya. Maklum saja, leher dan dadanya merah-merah bekas gigitan nyamuk jantan. Satu-satunya nyamuk jantan di dunia ini yang menggigitnya dengan cinta. "Harus ganti gaun ya? Padahal aku suka banget sama yang tadi hmmph.." Dina membuang nafas lesu. Yasmin mengangguk sembari menyembunyikan senyumnya. Ia pun mengakui bahwa Dina memang terlihat sangat memesona dengan gaun sebelumnya. "Sebenarnya gaun yang tadi bisa dipakai lagi, tapi sepertinya emm lebih baik tidak.. Bagian dada harus ditutupi.." Dina pasrah malam ini harus kehilangan kesempatan selfie saat wajah ayunya dirias Bianca Tan dan tubuhnya dibal