Part 35“Ndis, ayo makan,” ajak Ambar lagi.Gendis yang matanya sudah sembab bangun dan duduk bersandar pada tembok. “Aku mau makan di sini saja. Bunda bawa makanannya kesini ya?”“Jangan dong! Om Sela sudah nungguin lho di depan. Ayo, makan!”“Tapi janji, Bunda gak boleh buang kaos Ayah. Kalau Bunda janji, aku mau makan di depan,” kata Gendis.Wajah Ambar berubah masam. Ia sudah tidak ingin mendengar lagi tentang Catur, tetapi Gendis malah masih mengingat lelaki itu terus.Sela tersenyum saat melihat sosok anak yang belum mandi dari tadi pagi keluar kamar.“Suapi Om mau?” tanya Ambar.Gendis menggeleng.Sepanjang makan bersama, Ambar dan Sela saling bercanda. Gendis melihat itu dengan rasa sedih. Baru tadi pagi ayahnya pergi meninggalkan mereka. Kesedihan masih menyelimuti gadis kecil itu dan kini ia harus melihat kenyataan ada sosok lelaki lain di dekat mereka dan ibunya begitu bahagia. Usianya baru empat tahun lebih. Ia tidak paham dengan apa yang terjadi di hati orang dewasa di se
Indah melepaskan diri lalu menatap suaminya. “Kamu tidak sedang memanfaatkanku ‘kan, Mas?” tanyanya.“Kamu yang menawarkan ‘kan?”“Iya. Itu karena aku menyayangi kamu. Dan satu lagi, aku punya syarat untuk itu.”“Apa?”Indah berpikir sejenak. “Jauhi kekasih kamu! Hiduplah bahagia dengan kami. Kasihan anak-anak, Mas. Aku bisa saja mencari lelaki lain. Kamu bisa saja bahagia dengan perempuan itu. tetapi anak kita? Apakah kamu tega membiarkan mereka hidup tanpa kasih sayangmu dan aku, Mas?” katanya.Sela diam. Tidak pernah terpikir sama sekali untuk menjauhi Ambar. Semakin bersama, ia justru merasa semakin nyaman.“Kalau kita berpisah dan sudah punya pasangan masing-masing, kita akan sibuk dengan pasangan kita. Lalu mereka? Mereka akan berusaha menyembuhkan luka hati sendirian. Kamu mau itu terjadi dengan Jihan dan Naisa, Mas?”Sela diam. Apa yang dikatakan Indah ada benarnya. Akan tetapi, ia sudah terlanjur cinta dengan Ambar. Jika Ambar bisa menyayanginya, ia pasti akan bisa menyayangi
Part 36Di sekolah, ruangan rapat sudah disediakan. Sesuai permintaan Ambar, kelas yang digunakan untuk pertemuan dipilih yang letaknya jauh dari kantor. Ia juga sudah memberikan ponsel untuk bermain Gendis agar tidak jenuh.Sikap Ambar sedari datang terlihat sangat santai. Seperti tidak akan terjadi apapun.“Eh, ada yang ulang tahun ya? Ayo, makan-makan ditunggu. Dih, Feni pakai hijabnya kok warnanya gak nyambung sama bajunya. Tasnya lho, itu-itu saja pakainya. Meski cuma satu, mbok ya beli yang ada mereknya dikit sih, Fen.”Guru perempuan saling pandang dan menggelengkan kepala. Yang ada dalam otak mereka sama. Sedang menghadapi situasi pelik saja, Ambar masih sempat-sempatnya menghina orang lain.“Sabar. Biarkan saja, maklum, pikirannya agak konslet,” bisik Alfi pada Feni.Sebagai guru honor, Feni acapkali direndahkan oleh Ambar. Mulai dari fashion, gaya hidup, dan juga tentang anak. Sepertinya, sikap bangga Ambar terhadap apa yang diraihnya sudah kelewat batas. Sehingga selalu mem
“Lhoh, Pak, saya di sekolahan mengerjakan laporan. Saya melakukan semua ini demi sekolahan ini juga. Kenapa main tuduh sembarangan? Kalau anak-anak pada mengintip, itu artinya mereka tidak diajari sopan santun sama orang tuanya. Kenapa jadi saya yang salah? Terus, ada bukti apa dari hasil mereka mengintip?” Ambar yang kesal ikut menyahut.Ia langsung mendapat lirikan dari Sari yang memberi kode untuk diam.“Terus, tentang masalah ini, Bapak sekalian meminta pihak sekolah untuk melakukan apa?” tanya Sari.“Dia harus dilaporkan ke atas! Tidak patut orang seperti ini dijadikan guru,” kata Rozai cepat.“Ya tidak bisa seperti itu dong, Pak. Segala permasalahan yang terjadi ada tahapan untuk memberikan sanksi. Yang pertama teguran, kedua peringatan barulah kalau memang tidak ada perkembangannya, kita laporkan ke atas. Ini ‘kan baru tahap satu. Ya kita berikan teguran saja pada Bu Sari untuk memperbaiki diri. Saya juga nanti akan memberikan pembinaan sendiri,” kata Sari.“Bu, apa menurut Bu
Part 37Diah sudah mendaftar dan melampirkan semua berkas di akun SSCASN. Tanpa memberitahu siapapun dimana ia mendaftar, termasuk suaminya Rizal."Kamu sudah daftar belum, Dek? Soalnya ini pendaftaran cuma sebentar lho. Gak sampai setengah bulan. Ini padahal sudah lewat tiga hari. Kamu nanti kalau kelamaan, bisa-bisa servernya penuh. Susah masuknya," kata Rizal.Diah diam. Asyik membungkus cemilan yang sudah digoreng oleh salah satu tetangga yang diminta bekerja."Berkasnya mana? Bawa sini, aku yang urus semuanya."Diah hanya melirik sekilas lalu fokus pada pekerjaannya kembali."Kamu masih marah sama aku? Maunya apa? Aku ikut melabrak Ambar? Baik, kalau kamu maunya begitu. Besok aku akan melabrak Ambar.Diah kembali melirik suaminya. Sekilas saja. Namun, kembali lagi pada plastik-plastik yang telah berisi aneka cemilan."Tadi Bapak katanya ada rapat dengan guru-guru Meida ya?" tanya Rizal.Diah mengedikkan bahu."Aku sebenarnya malu, Dek, kalau harus berurusan hal seperti itu.""Ter
Gendis menangis sesenggukan. Anak kecil mana yang tidak takut mendengar ucapan demikian? Ia membayangkan ayahnya terbujur kaku ditutup kain seperti yang sering dilihat di youtube."Ayah kok gak kesini lagi jemput Ndis? Apa Ayah beneran sudah mati?" tanya Gendis sambil memandang kaos Catur. Ia memeluk erat benda itu lalu menangis seorang diri.Ambar peduli apa? Sejak dekat dengan Sela, ia tidak pernah lepas dari ponsel. Setiap waktu berkirim pesan sehingga mengabaikan Gendis. Bedanya, hari-hari sebelumnya ada Catur yang menjaga Gendis. Menemani dan mengurus segala kebutuhan Gendis. Namun sekarang, ia merasa repot karena harus mengurusnya seorang diri. Ditambah lagi, di saat terancam dipecat jadi bendahara, justru Sela menghilang.Ia masih menjalankan bisnis meski tidak seramai dulu. Ponselnya berisi banyak nomor pelanggan. Akun Facebook yang sudah lupa passwordnya juga ada disana. Media sosial yang seringkali digunakan untuk promosi.Jika ingin mendapatkan benda itu kembali, ia harus m
Part 38 Ada sebuah dorongan yang meminta Sela untuk menyusul Indah ke kamar anak-anak mereka. Namun, dorongan itu diabaikan karena hatinya memang sudah tidak tertarik untuk berkumpul bersama dengan wanita yang telah memberinya dua anak itu. Sela duduk termenung di sisi ranjang yang kasurnya ditutup seprei warna putih. Selama menginap bersama, ia tidak pernah bermesraan dengan Indah. Tidur bersama, tetapi saling memunggungi. Diajak berbicara, hanya membalas sekadarnya saja. Otaknya justru merangkai sebuah skenario bilamana mempunyai uang, ia akan mengajak Ambar ke tempat itu. Namun kini, hatinya berada di sebuah persimpangan antara permintaan Ambar untuk menceraikan Indah, atau tetap bertahan dalam pernikahan itu demi kedua buah hatinya. Setelah pembicaraan itu, Sela akhirnya mau berbaur meski dengan sikap yang kaku. Beberapa kali Indah mengambil foto bersama dengan Jihan, Naisa juga Sela. Tampak seperti keluarga yang bahagia. Ia tidak lupa mengunggah foto itu ke media sosial. “Maaf
Hari Senin, Rizal sengaja keluar dari sekolah jam satu siang. Ia sudah berniat menemui Ambar agar Diah tidak selalu memojokkannya. Gerbang sekolah masih terbuka. Pria itu melenggang masuk kantor.“Cari siapa, Pak?” tanya Ambar sambil tersenyum ramah. Wajahnya masih terlihat cantik meski luka bekas pukulan Catur masih terlihat jelas.“Bu Ambar?” tanya Rizal.“Iya, silakan masuk,” kata Ambar lemah lembut. “Duduk, Pak. Ayahnyha Meida ya?” tanyanya lagi.“Iya. Saya mau ada perlu sama Bu Ambar.”“Mau minum apa?” tanya Ambar lagi.“Tidak usah, Bu,” jawab Rizal. “Saya hanya ingin bilang sama Ibu agar tolong jangan libatkan Meida dalam masalah Bu Ambar dan istri saya.”Ambar tertawa renyah memperlihatkan deretan giginya yang putih. “Masalah itu lagi, to, Pak? Ya Allah, sudah berkali-kali dibahas lho. Apa tidak capek? Tapi, ya sudah, gak papa. Saya masih sabar kok menanggapi apapun yang keluarga Bu Diah lakukan sama saya,” jawabnya sambil tersenyum. Ia berusaha membuat Rizal takluk dan mengang