Part 30Diah merasa bingung dengan foto-foto yang baru saja diterimanya. Muncul pesan lagi yang dikirim oleh nomor Ambar.Ambar: Maaf, Mbak, saya lancang. Saya suami Ambar. Hp nya sudah ada sama saya. Saya melihat semua percakapan yang ada di ponselnya akhirnya saya tahu masalah dia dengan Mbak Diah apa. Saya cuma mau memberi support saja sama Mbak Diah sebagai manta rivalnya bahwa orang yang sudah menghina Mbak Diah selama ini bukanlah orang yang baik.Diah mematikan layar ponsel. Apapun yang menimpa Ambar di belakang sana bukanlah urusannya. Tanpa diberikan foto-foto itu, ia sudah tahu apa yang terjadi. Ia menghapus foto yang tidak layak dilihat anak-anaknya. Namun, tidak dengan pesan yang Catur kirim.Malam itu, dengan tertatih, Ambar membersihkan kamarnya yang berantakan. Sementara kamar lain telah ditempati Catur dan tertutup rapat. Pikirannya kacau. Tuntutan Catur tentang uang yang sudah digunakan, foto yang ia rasa sudah tidak aman, juga luka yang dirasakan akibat penganiayaan
Sepeninggal Rozai, Rizal menggelar sajadah di mushola kecil dalam rumah. Ia berdzikir sambil terus memohon agar tidak terjadi pertikaian besar.Rozai yang ke rumah Sari bertemu dengan Joko untuk mencari tahu dimana rumah kontrakan Ambar.“Aku sudah menasehati dia. Tapi dia itu susah dinasehati,” kata Joko sambil berlari kecil mengikuti langkah Rozai yang sangat cepat.Brak!Pintu yang ditutup terbuka.Diah menganga melihat ayahnya datang. Ia sudah yakin akan terjadi pertengkaran besar jika Rozai sampai turun tangan.“Mana yang namanya Ambar?” hardik Rozai. Tentu saja ia langsung bisa mengenali sosok yang dicari, karena disana hanya ada tiga wanita yang dua diantaranya sudah dikenal. “Oh, jadi kamu, perantauan yang sok cari masalah disini?” bentaknya.“Sabar, Sabar, Kang, mari kita selesaikan dengan cara kekeluargaan. Tidak enak sudah malam nanti didengar orang,” kata Joko mencoba mengajak Rozai duduk.Dengan sekali gerakan, tubuh Joko yang mencoba menghalangi didorong oleh Rozai hingg
Part 32“Kamu tidak apa-apa ‘kan di sana?” tanya Rizal yang masih memakai sarung dan peci.Diah melirik sekilas saja lalu masuk ke kamarnya.“Aku sudah berdoa tadi saat kamu berangkat ke rumah kontrakan Bu Ambar,” kata Rizal yang mengikuti Diah di belakangnya. “Syukurlah kamu tidak kenapa-napa.”“Yang kenapa-kenapa ya bukan aku lah, Mas. Karena posisinya aku yang dizalimi. Aku yang dijahati. Bukan sebaliknya,” jawab diah sewot.“Besok aku akan menemui Bu Ambar.”“Kenapa besok? Kenapa gak tadi ikut kesana buat memberi pelajaran sama dia?”“Diah, tidak semua orang memiliki mental berani seperti kamu dan Pak Rozai. Aku memang tidak berani menghadapi masalah-masalah yang berpotensi menimbulkan adu mulut.”“Lalu, besok kamu mau menemui Ambar mau apa? Semua sudah selesai. Kenapa baru sekarang menemui Ambar? Kenapa tidak waktu membantu Meida menyapu? Kamu jatuh cinta sama dia?”“Jangan menuduh!”“Tidak usah menemui Ambar. Palingan kamu akan luluh dengan sikapnya yang bermuka dua.”Diah memba
Part 33“Tidak. Karena Bunda sakit. Ayo, Ndis mandi,” ajak Catur.“Jangan bawa Gendis pergi!” Ambar membuka selimut yang menutup wajah. Matanya sembab dan basah.“Istirahatlah! Kamu akan melewati banyak hal. Biarkan Gendis aman dan nyaman bersamaku. Aku tidak mau dia melihat peristiwa seperti semalam lagi,” kata Catur pelan.Catur seorang lelaki yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ia melakukan kekerasan pada Ambar karena hatinya sudah merasa sakit.“Ayo, Ndis, kita mandi.”“Aku gak mau pulang kalau gak sama Bunda.”“Kita akan bersama di sini. Biarkan Ayah pulang,” sahut Ambar.“Bunda, aku tidak mau ditinggal Ayah. Aku ingin kita bersama-sama.”“Ayah sudah mau meninggalkan kita.”“Baik kalau kamu belum mau melepaskan Gendis pulang, aku tak memaksa. Karena dia sudah cukup tertekan dengan apa yang terjadi. Aku hanya berpesan, jangan lagi ada permasalahan seperti semalam. Jaga perilaku!” Catur memeluk Gendis erat sekali. “Ayah pulang. Nanti Ndis Ayah jemput ya? Nunggu Ayah punya uan
Catur mengusap air mata yang terus mengalir dengan satu tangannya. Ia sangat mencintai Ambar, tetapi sadar jika telah dicampakkan.“Ayah … jangan pergi!” Masih terdengar teriakan Gendis saat ia mulai menghidupkan mesin kendaraan.‘Aku tidak akan menoleh. Maafkan Ayah, Gendis.’ Catur menarik tuas gas pelan.Gendis menangis sesenggukan sambil duduk memeluk lututnya.“Nanti kita beli es krim ya?” tanya Ambar.Gendis menggeleng.“Mau beli apa? Beli ayam bakar?”Gendis menggeleng lagi.“Ndis mau beli apa?”Gendis menatap ibunya lekat. “Ndis mau Ayah di sini sama kita. Ndis takut sendirian.”“Besok Ndis ikut Bunda ke sekolah, ya?”“Bunda kenapa Ayah pergi? Bunda kenapa tidak menahan Ayah?”Gendis terus menangis. Ambar jadi pusing dibuatnya. Badannya tidak enak sekali, harus menghadapi tangisan Gendis. Biasanya ia tidak perlu repot karena Catur lah yang mengurus Gendis.Ia membiarkan anaknya menangis di depan televisi seorang diri. Ambar yang kesal hanya membiarkan anaknya tanpa menghibur. I
Part 34Hari itu, guru-guru di sekolah Diah benar-benar merasa di ujung rasa kesal. Sebab, sudah beberapa hari mereka hanya minum air galon tanpa dimasak lagi. Galon yang harganya hanya lima ribu rupiah, bukan air minum yang bermerek.“Sudah semakin kacau,” kata Ali guru agama.“Nunggu uang BOS berapa lama lagi?” sambung Asih.“Alah, jangan ditunggu-tunggu! Jangan diharap-harap! Percuma saja. Kalau keluar sudah langsung disadap,” sahut Diah.“Harus ada tindakan,” kata Ali lagi.“Tindakan apa? Kepala sekolah kita tidak akan berani ambil tindakan. Seperti biasa, paling-paling ya keluar uang pribadi. Mana mau mengganti bendahara kesayangan?” ucap Asih.“Kok bisa seperti itu, ya Pak Tri?” tanya Ali.“Soalnya semua administrasi kepala sekolah, Sela ikut membantu mengerjakan. Dia kalau urusan administrasi memang paling jago,” kata Darma sebagai guru yang paling tua. “Sementara ini, memang banyak sekali kegiatan yang membutuhkan laporan-laporan. Sela bisa melakukan semuanya. Dia juga sebagai
Suasana di luar sepi karena cuaca yang sedang hujan. Sela bebas masuk ke dalam karena tidak ada orang yang melihat.“Matamu sembab. Kamu juga terluka. Mau ku antar berobat?” tanya Sela sambil mengusap pipi Ambar. Mereka berdua duduk dalam satu kursi.“Tidak usah. Aku baik-baik saja,” jawab Ambar sambil memegang tangan Sela.“Aku merindukan kamu.”“Aku juga.”Deru napas keduanya saling beradu.“Gendis dimana?” tanya Sela dengan mata sayu.“Di kamar. Sedang menangisi ayahnya. Kita harus ajak dia piknik biar bisa lupa. Kamu juga harus mulai dekati dia supaya dia lupa sama ayahnya dan kalian jadi dekat,” kata Ambar.“Ok. Nanti kalau uang BOS sudah kita piknik. Kamu mau kemana?”“Ke wisata air panas. Menginap dan kita ajak naik kuda. Lha bukannya kepala sekolah mau ambil bagian uang?”“Cuma separo. Separuhnya lagi masih. Aku sudah mikir mau beli barang inventarisnya yang bekas saja. Cari yang murah yang penting kelihatan ada barang. Terus, aku mau jatah kepala sekolah gak separo, tapi sepe
Part 35“Ndis, ayo makan,” ajak Ambar lagi.Gendis yang matanya sudah sembab bangun dan duduk bersandar pada tembok. “Aku mau makan di sini saja. Bunda bawa makanannya kesini ya?”“Jangan dong! Om Sela sudah nungguin lho di depan. Ayo, makan!”“Tapi janji, Bunda gak boleh buang kaos Ayah. Kalau Bunda janji, aku mau makan di depan,” kata Gendis.Wajah Ambar berubah masam. Ia sudah tidak ingin mendengar lagi tentang Catur, tetapi Gendis malah masih mengingat lelaki itu terus.Sela tersenyum saat melihat sosok anak yang belum mandi dari tadi pagi keluar kamar.“Suapi Om mau?” tanya Ambar.Gendis menggeleng.Sepanjang makan bersama, Ambar dan Sela saling bercanda. Gendis melihat itu dengan rasa sedih. Baru tadi pagi ayahnya pergi meninggalkan mereka. Kesedihan masih menyelimuti gadis kecil itu dan kini ia harus melihat kenyataan ada sosok lelaki lain di dekat mereka dan ibunya begitu bahagia. Usianya baru empat tahun lebih. Ia tidak paham dengan apa yang terjadi di hati orang dewasa di se