"Cepatlah pulang!" perintah Pandu pada asistennya. Ia tahu kalau sang asisten mempunyai kabar tentang Alana.Perusahaan sedang stabil dan tidak ada masalah apa pun. Ia yakin kabar yang akan disampaikan Tama adalah tentang Alana dan Amanda."Baik, Bos. Saya akan tiba dalam dua jam," kata Tama sebelum menutup panggilannya.Ya, rumah Amanda saat ini berada di luar kota. Walau tidak terlalu jauh, tapi setidaknya mereka berada di kota yang berbeda. Itu membuat Tama sedikit lebih tenang walau Amanda dan Sonya sempat bertemu, tapi dia yakin Sonya belum tahu tempat tinggal Amanda yang baru.Tujuan Tama melindungi Amanda dan anak-anaknya adalah untuk balas budi kepada Pandu. Namun, seiring berjalannya waktu, Tama merasa memiliki mereka dan harus melindunginya dari siapa pun yang dia anggap mengganggu Amanda."Kamu ada di mana sekarang?" tanya Pandu heran, "Apa kamu sedang mengunjungi saudaramu?"Ketika izin pulang lebih awal, Tama tidak mengatakan apa pun kepada Pandu kalau ia akan pergi ke lu
"Manda, saya ada satu permintaan," ucap Tama setelah Alan dan Alana pergi.Tama berencana ingin mempertemukan Alana dan Pandu supaya bosnya itu tidak terus-terusan mencari keberadaan Amanda. Ia khawatir Pandu menemukan mantan istrinya ketika Sonya sedang mengikutinya."Ada apa, Mas?" Amanda bingung, apa sebenarnya yang Tama inginkan. Apa karena kesalahannya yang pergi ke rumah lama tanpa izin kepadanya terlebih dulu atau ada hal lain?"Izinkan saya mengajak Alana bertemu dengan Bos Pandu," ucap Tama, "Bos tidak bisa dicegah, dia akan terus mencari kamu dan Alana sebelum dia menemukan kalian."Amanda terdiam sambil menatap Tama, lalu mengembuskan napasnya perlahan. "Aku percayakan Alana padamu," ucapnya sambil tersenyum.Selama ini Tama selalu menjaganya dengan baik, terutama menjaga rahasia tentang kedua anaknya. Tidak ada alasan baginya untuk meragukan lelaki yang sudah bertahun-tahun selalu ada untuknya di saat suka maupun duka.Ia yakin Tama tidak mungkin membahayakan Alana, putri
"Maafkan saya, Bos." Tama membungkukkan badannya. "Maaf, kalau saya sudah lancang, tapi saya harus mengingatkan Anda karena Anda tahu betul siapa Nona Sonya."Tama sadar betul kalau sikapnya akan membuat sang bos curiga, tapi ia tidak punya pilihan lain selain menghentikan pencarian bosnya untuk menemukan Alana.Pandu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sambil memutar kursi kebesarannya. "Aku serahkan semuanya kepadamu," ucap Pandu, "tapi usahakan dalam waktu dekat kamu harus mempertemukan aku dengan Alana. Entah kenapa aku sangat merindukan anak itu."Ikatan batin Pandu terhadap Alana begitu kuat. Semenjak melihat wajah anak kecil yang ia tabrak itu, ia tidak pernah bisa tenang. Bukan hanya sekedar karena rasa bersalah semata, tapi ada rindu yang tak berujung."Akhir pekan saya akan membawa Alana pada Anda, saya janji." Tama berucap dengan yakin."Kenapa kamu seyakin itu?" Pandu menegakkan tubuhnya. "Apa kamu sudah bertemu dengan Alana atau Amanda?""Belum, Bos." Tama berbohong
"Mungkin, Nyonya Amanda hanya ingin menjaga perasaan suaminya," jawab Tama, "menjaga perasaan orang yang kita cintai itu sangatlah penting untuk menjaga sebuah hubungan agar tetap harmonis.""Dia saja tidak pernah menjaga perasaanku waktu kami masih bersama. Bagaimana bisa sekarang dia bersikap begitu manis pada suami barunya," balas Pandu, "aku jadi penasaran, sebaik apa laki-laki itu?""Suami Nyonya Amanda laki-laki yang sederhana. Dia sangat baik dan begitu mencintai istri dan anak-anaknya."Entah apa tujuan Tama, mengatakan semua itu? Yang jelas Pandu terlihat gelisah. Dan Tama hanya bisa menahan senyum melihat bosnya cemburu."Sudahlah jangan membahas suaminya lagi, itu sangat menyakitkan bagiku." Pandu menyandarkan tubuhnya sambil memijat pelipisnya. "Pergilah!""Baik, Bos." Tama menunduk hormat, lalu pergi dari ruangan bosnya.Sementara di lain tempat, Sonya sedang berjalan mondar-mandir sambil berpikir bagaimana caranya memergoki Pandu dengan Amanda. Ia akan menjadikan itu seb
"Saya akan membawa Alana malam ini juga." Tama berkata dengan yakin, hingga membuat Pandu cemburu. "Yang terpenting jangan sampai Nona Sonya menerobos masuk ke dalam rumah."Tama tidak ingin pertemuan anak dan ayah itu menjadi batal karena ulah Sonya. Ia berharap Alana bisa merasakan kasih sayang ayah kandungnya walau anak itu tidak tahu yang sebenarnya."Katakan padaku, sebenernya kamu dan Amanda sering berkomunikasi kan?" Pandu mencondongkan tubuhnya mendekati Tama. "Aku semakin curiga padamu."Pandu mencurigai Tama karena asistennya itu mengatakan kalau dia belum meminta izin pada Amanda untuk membawa Alana padanya, tapi tiba-tiba dia berkata dengan yakin akan membawa Alana malam itu juga.CEO tampan itu terus menatap sang asisten yang sedang duduk menghadap ke depan tanpa berani menatapnya yang berdiri di samping sang asisten.Tama berusaha untuk tetap tenang, ia menjawab tanpa menatap bosnya. "Kalau begitu saya tidak akan pergi menemui Nyonya Amanda untuk meminta izin membawa Ala
"Tama mengacak-acak rambut Alana, lalu bertanya, "Apa kita bisa berangkat sekarang?""Tentu," jawab Alana, "tapi aku harus ganti baju dulu.""Tidak perlu, ini juga sudah bagus," kata Tama, "kamu bawa jaket saja biar tidak kedinginan saat di jalan nanti, sepertinya kita akan sampai di sana pada malam hari.""Baik, Paman." Alana bergegas mengambil jaketnya dari lemari. Kemudian ia berpamitan kepada saudara kembarnya. "Alan, aku pergi dulu. Kamu jangan merindukan aku," ucapnya sambil tertawa.Alana terlihat sangat bahagia akan pergi jalan-jalan bersama Tama. Anak itu jarang sekali bermain di tempat keramaian sejak ia pindah rumah."Aku akan belajar lebih tenang jika kamu tidak ada." Alan mendelik sambil tersenyum miring. Selama ada Alana ia tidak bisa menggambar dengan tenang karena adiknya itu selalu saja mengomentari apa yang ia gambar. Alana selalu mengatur Alan untuk menggambar objek kesukaannya."Alan, Paman pergi dulu." Tama mengusap kepala Alan. "Kamu mau dibelikan apa? Sebagai g
"Ada, Tuan," jawab Pak Jo. Tanpa diperintahkan, dia segera menuju lemari pendingin dan mengambil beberapa kotak ice krim yang memang sudah disediakan atas perintah Tama. Pak Jo membawanya ke meja makan. "Ada tiga rasa yang tersedia, coklat, vanilla dan strawberry," ucap lelaki tua itu sambil sesekali melirik anak kecil yang berada di hadapannya.Kepala pelayan itu terus menatap Alana dan mengingat-ingat wajah siapa yang mirip dengan anak itu. Wajah yang tidak asing baginya, tapi sulit sekali ia mengingat pemilik wajah yang mirip dengan anak kecil di hadapannya saat ini.Pandu tidak langsung menjawab, dia malah menoleh pada Alana. "Kamu mau yang rasa apa, Alana?" tanyanya."Aku ingin vanilla dan strawberry, bolehkah?" tanya Alana, lagi-lagi menatap Pandu dengan sorot mata penuh permohonan."Kamu ambil semua juga boleh," kata Pandu, "semua ini memang Paman sediakan untukmu, Sayang." Pandu mengusap kepala anak itu.Sejak kedatangan Alana, Pandu tidak pernah berhenti tersenyum. Selain ra
Alana langsung terdiam, dan wajahnya berubah menjadi datar. "Tapi, Paman kan bukan ayahku. Aku hanya punya satu Ayah saja, aku tidak mau punya dua Ayah." Jawaban polos itu meluncur begitu saja dari bibir Alana, membuat Pandu hanya bisa meringis untuk menyembunyikan kekecewaannya. Hatinya terasa sakit mendengar Alana menolaknya memanggil Ayah. Melihat Alana adalah pribadi yang tidak mudah dibujuk, membuat Pandu akhirnya bungkam dan tidak lagi meminta hal tersebut pada anak itu. Ia khawatir Alana tidak mau bertemu dengannya lagi. Pandu akan menyelidiki sendiri kebenaran tentang Alana, ia sangat yakin kalau anak itu adalah darah dagingnya sendiri karena ia mulai sadar rasa sayangnya terhadap Alana itu tidak biasa. Bahkan kepada keponakannya saja dia tidak seperti itu. "Baiklah, Sayang, Paman tidak memaksa," kata Pandu, "Paman tidak bermaksud ingin menggantikan ayahmu. Maksudnya kamu boleh meminta apa pun kepada Paman sama seperti kepada ayahmu." Padahal tujuan Pandu memang ingin meny