Aku tersentak. Keringat dingin memenuhi pelipis dengan nafas yang tersengal. Aku duduk, menyeka peluh di dahi. Mimpi yang tak bisa dibilang baik, tak pula buruk. Tetapi ada perasaan takut di dalamnya. Rasa rindu, khawatir, kebencian, penyesalan bercampur menjadi satu. Mimpi itu terasa seperti memperingatkanku untuk selalu berada di jalan yang benar karena mereka tak lagi bisa mendampingiku. Tapi pertanyaannya, apakah sekarang aku sudah menjalani kehidupan dengan baik? Aku mungkin sudah baik dalam hal materi tapi tak ada yang lebih buruk dari menjadikan hidup sendiri sebagai taruhan untuk bersenang-senang bagi orang lain.
Aku menyibak selimut dan membuka gorden menuju balkon. Semburat merah mulai menyibak di ufuk Timur. Aku terbangun subuh untuk orang-orang yang tinggal di rumah ini yang punya kebiasaan bangun siang. Jika aku membuat pengecualian untuk Jay, dia selalu berangkat pagi-pagi sekali ke pusat pelatih
“Kau? Apa yang kau lakukan di sini?” Aku melihat sekeliling, khawatir jika dia membawa orang lain. Sebelumnya aku pernah bertemu Hwan secara tak sengaja, namun kali ini pertemuan dengan Sam mungkin terlihat agak dipaksakan. Sam tak punya urusan di sana kecuali jika dia memang mengikutiku. Pantas saja dia tak terlihat saat aku keluar dari kamar tadi. “Kau mengikutiku ke sini?” Aku mundur dua langkah, jarak kami sudah agak jauh jadi aku bisa melihat wajahnya tanpa perlu mendongak lagi. Sebuah lengkungan terbentuk di sudut bibir Sam. “Hm. Aku memang mengikutimu,” terangnya berkata jujur. “Apa? Tidak, maksudku kenapa?” 
Aku mengabaikan Sam yang terus mengikuti hingga ke kamar. Sungguh melelahkan meladeninya seharian penuh. Eh tidak, dua hari penuh karena dia sudah mengintaiku sejak kemarin. Aku berhenti tiba-tiba lalu berbalik. “Kau akan terus melakukan hal ini?” katanya geram ketika sudah tiba di depan pintu kamar. “Kepedean sekali. Aku juga mau ke kamar tau,” balasnya dengan nada meledek. Dia melewatiku menuju kamarnya tepat di samping kamarku. Astaga, aku lupa kalau kamar kami bersebelahan. “Oh ya!” Sam berhenti sejenak. “Apa lagi?” “Berhati-hatilah! Sekarang banyak mata yang mengawasimu.” Sam mengacungkan dua jarinya padaku bergantian setelah menunjuk kedua matanya. Aaargh! Menyebalkan sekali melihatnya meledekku seperti itu. Sam menghilang di balik pintu. Tak membiarkanku untuk membalasnya barang sedetikpun. Aku hanya bisa menghela nafas kasar. Berat sekali untuk hidup tenang di rumah ini. Benar kata orang.
Masih dalam posisi yang sama, aku menunjuk diriku sendiri. Masig bingung dengan ucapan Hwan. Mereka juga masih dalam posisi saling bertatapan dengan sorot mata yang tak kalah tajam. Jika saja mata mereka bisa mengeluarkan bilah tajam, habislah semua tersayat saking tajamnya tatapan mereka. “Sudah hentikan!” Akhirnya Kakek Chu melerai. Dia juga tak nyaman melihat pemandangan yang menegangkan itu. “Sampai kapan kalian akan bersikap kekanakan seperti ini.” Para pelayan kembali memasuki ruangan. Menyajikan hidangan penutup untuk makan malam kami. Untunglah mereka datang di waktu yang tepat. Sekarang Hwan dan Sam saling membuang muka. “Dan untukmu Jinnie.” Sekarang giliranku. Kakek Chu menoleh padaku. “Ya kek?” “Kau sudah siap bukan?” Aku menelan ludah. Mulutku seketika terasa kering. Apa mereka berdua yang kini tengah menatapku akan menentang jika aku menjawab siap? “Aku…..siap kek,” jawabku mantap. Masa bodoh jika me
Aku memutar badan ke kiri lalu ke kanan dan berakhir menelantang menghadap langit-langit kamar. Pertanyaan Hwan tadi malam membuatku gelisah dan tak bisa tidur. “Aku tanya apa kau masih ingin meninggalkan rumah atau kau sudah mulai nyaman di sini?” Hwan mengibaskan sebelah tangannya di depan wajahku. “Ha?” “Kau bermenung rupanya? Pertanyaanku susah untuk dijawab, ya?” “Masalah itu…” aku sedikit ragu untuk menjawab. Lampu berganti hijau, mobil pun kembali melaju. Jalan kota masih ramai di tengah malam. Tidak sedikit orang yang menyukai malam dibandingkan siang. “Aku tak keberatan jika keinginanmu untuk pergi sudah hilang dan secara otomatis semua perjanjian kita akan batal. Toh sebenarnya aku tak mendapatkan apa-apa, aku hanya ingin bermain-main sedikit dengan Sam. Semuanya tergantung padamu. Sama seperti sebelumnya, aku akan bersikap sebagai pria keren yang menghargai setiap keputusanmu. Bagaimana?” He
Dengan wajah setengah terkejut dan setengah panik, aku masih menatap dalam kedua mata Sam. “Apa? Kau sudah gila?” “Tidak. Aku sepenuhnya waras dan meminta bantuanmu secara sadar.” Sam mengangkat bahu dengan wajah polos tak berdosa. “Kau sadar dengan permintaanmu barusan?” Aku memastikan sekali lagi. Sejujurnya hubungan kami tidak sedekat itu untuk saling meminta dan memberi bantuan. “Hm. Aku memintamu agar membantuku untuk mendapatkan perusahaan.” Aku mengerjab sekali lagi. Pendengaran dan penglihatanku tidak salah. Semua kalimat itu murni keluar dari mulut pria yang kini tengah menatap ke arahku. Menunggu balasanku. “Hei, anggap saja aku tak pernah mendengarnya, aku akan melupakan semua perkataanmu malam ini.” Aku menggelengkan kepala lalu turun dari kursi. Tak berniat memberi Sam jawaban dari permintaannya itu. Perjanjianku dengan Hwan saja belum usai, sekarang Sam malah ikut ikutan meminta bantuanku. Apa semua anggota kelu
Aku segera menarik tangan, melepaskan tangan Hwan. Kemudian bergantian menatap Hwan dan Sam yang masih bertatap-tatapan. Mata mereka terlihat seperti akan mengeluarkan listrik atau api atau apalah itu. “Hei, kalian kenapa? Berhentilah.” Suaraku bergetar seperti ketakutan. Seandainya kalian berada di posisiku. Aku menghela nafas pelan. Hwan lebih dulu mengalihkan pandangan. “Kau tidak ke pasar? Ayo, aku temani.” Hwan masih lancang menarik tanganku. “Tapi dia punya janji denganku. Bagaimana ya?” Sam tidak mau kalah. Rasa-rasanya aku sekarang seperti barang yang di tawar di pasar. Sungguh tidak enak. “Bukankah begitu Jinnie?” Gerakku terhenti yang membuat Hwan ikut berhenti – saat hendak bangkit dari kursi. “Kau tidak melupakan janjimu denganku kan?” Sam mengulangi kalimatnya untuk kedua kali. “Janji?” Aku terheran-heran. Seingatku, aku tak pernah membuat janji dengannya. “Kurasa kau salah paham, aku tak pernah berja
Aku berjalan lemas melintasi ruang tengah. Rumah sore itu sepi. Aku mengedarkan pandangan ke kanan kiri. Memastikan apakah benar tidak ada orang di rumah. Tidak biasanya. Jam segini seharusnya Madam Bong sudah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Sekali lagi aku menghela nafas. Seolah akulah yang punya beban paling berat di dunia ini. Ponselku bergetar di dalam saku. Perlahan aku berjalan menuju sofa di ruang tengah sambil meraih ponsel di saku. Sebuah panggilan tak terduga. “Hallo?” Aku menyapa ramah walau dalam hati ada perasaan sedikit was-was. Berharap berita baik yang akan kudengar dalam satu detik ke depan. “Benarkah? Baiklah aku segera ke sana!” Aku segera bangkit dan menuju alamat yang harus kutuju, tapi… “Aaaaa…” Aku terlonjak kaget ketika mendapati Hwan tengah berdiri tepat di belakangku. Aku menurunkan ponsel dengan canggung. “Kau mau kemana?” tanyanya. “Di luar sudah mulai gelap.” “Itu…aku..jadi…”
“Ya?” “Kau kenal dengannya?” bisik Hwan pelan yang kubalas dengan gelengan kecil. Seorang pria paruh baya mendekati kami. Wajahnya asing dan aku tak pernah bertemu dengannya. Setidaknya itulah yang ada diingatanku. “Bukankah kau Park Jinnie?” tanya pria asing itu sekali lagi. Aku mengangguk samar. “Ya. maaf tapi anda siapa?” Seketika Hwan langsung menggenggam tanganku. Dia sudah mulai punya pikiran buruk tentang orang yang tersenyum hangat ke arahku kini. Kami berpindah ke kedai kopi dekat dari taman. Dia bilang saudara ayahnya. Astaga! Setelah sekian lama. Apakah masih ada yang ingat dengan ayahku dan terutama aku yang dulu susah sekali diajak ke pertemuan keluarga? Aku juga tak ingat kalau pernah punya paman seperti orang di depanku ini. Wajahnya memang agak mirip dengan wajah ayahku yang sudah hampir terlupakan. Tapi kenapa dia mencariku sekarang, setelah tiga tahun berlalu. Waktu aku sendiri dulu p