"Sepertinya kau begitu menguasai mengenai anatomi tubuh manusia. Walaupun masih muda, tapi kau terlihat sangat ahli dalam hal itu Bagaimana kau mempelajarinya?" tanya Bripka Adi sembari melepas baju operasi yang masih dikenakannya.
"Aku hanya belajar dari membaca dan menonton saja."
Bripka Adi mengernyitkan dahi tak percaya. Ia sangat yakin mana mungkin tanpa praktik langsung, seseorang bisa menguasai sebuah ilmu dengan mudahnya. Apa mungkin Airel adalah pengecualiannya? Atau ada jawaban lain yaitu Airel sedang menutupinya saja.
"Langsung ke ruangan Inspektur Yoga?" tanya Airel.
Bripka Adi mengangguk sebagai jawaban. Lalu mereka pun berjalan beriringan menyusuri koridor menuju ruangan Inspektur Yoga. Ruang operasi forensik sendiri memang masih satu kawasan dengan kantor kepolisian, hanya terpisah gedung namun tidak terlalu jauh.
"Kenapa Inspektur Yoga tidak ikut melihat secara langsung proses autopsi?" tanya Airel lagi sembari menyibak rambutnya.
Dokter Faiz Anhar, dokter muda yang baru bergabung di forensik kepolisian setahun terakhir. Sekilas penampilannya tidaklah seperti seorang dokter cenderung seperti selebritas Turki. Kulit yang terang dengan jambang tipis menjadi pemikat tambahan selain hidung mancungnya yang telah tertancap. Rumornya dokter muda itu memang memiliki darah keturunan arab, namun belum ada seorang pun yang memastikannya langsung.Meskipun terkenal pendiam, kinerja Dokter Faiz tak kalah mengangkat namanya. Dia bekerja sangat teliti, cepat dan hasilnya selalu memuaskan. Tak heran Dokter Doni yang terkenal perfeksionis pun sangat percaya padanya. Bahkan Dokter Doni dengan bangga pernah berkata bahwa Dokter Faiz adalah cerminan dirinya saat muda.Pagi itu Dokter Faiz melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan Inspektur Yoga. Ternyata sudah ada lima orang yang sudah menunggu kehadirannya. Ia pun langsung memberikan berkas hasil pemeriksaan forensik kepada Inspektur Yoga.Sejujurnya Dokt
Anggi tertunduk lesu. Derai air mata mengalir deras di pipi. Sesekali ia menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit yang tengah dirasakan. Jemari tangan kanannya mengenggam sebuah benda dengan erat, sedangkan jari yang lain mencengkeram kuat ujung bajunya. Andai sanggup berteriak mungkin ia sudah melakukannya.Anggi dilema dengan apa yang tengah dirasakan. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa? Menerimakah atau menolaknya? Untuk sesaat menumpahkan air mata adalah pilihan terbaik.Seketika Anggi mendongakkan kepala dan mengusap air mata saat pintu kamarnya berderit. Tampak Mira masuk dengan wajah khawatir. Bagaimana tidak? Mira sangat cemas dengan keadaan Anggi yang sudah seharian mengurung diri di kamar. Sadar akan kedatangan Mira, Anggi langsung menyembunyikan dan menduduki benda yang tadi berada di genggamannya."Ada masalah apa, Gi?" tanya Mira pelan dan langsung duduk di samping Anggi.Anggi hanya menggeleng samar sebagai jawaban. Ia merasa mal
Airen berjalan mondar-mandir di depan pintu. Sorot matanya terus tertuju pada lantai. Mulutnya menggigiti jari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya terlipat ke dada menopang siku kanan. Wajah gusarnya tak bisa ia tutupi. Sesekali ia mengecek lagi ponselnya dan melakukan panggilan, namun semuanya berakhir nihil. Ia tak mendapati sesuatu yang bisa membuatnya tenang.Jarum jam terus berputar dan menunjukkan pukul dua pagi. Airel yang duduk di ruang tamu hanya bisa memperhatikan kegelisahan adiknya. Ia tahu sikap Airen menjadi demikian karena ucapannya mengenai sketsa wajah yang telah ia lihat."Kenapa sikapmu aneh, Ren?" Airel membuka suara dan memecah keheningan. "Kemarin kau keluar ruangan Inspektur Yoga sesuka hatimu, sekarang kau begitu khawatir mengenai Paman Alfie. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?"Airen mengangkat wajahnya dan melempar pandangan ke Airel. "Bagaimana aku tidak khawatir setelah mendengar ceritamu? Apa kau lupa dengan ekspresi paman saat men
Suasana kediaman Si Kembar tidak seperti biasanya. Pagi itu mereka harus sarapan tanpa Alfie. Biasanya mereka bertiga akan menyantap roti selai kacang dan cokelat hangat buatan Airel. Lalu membincangkan kejadian kemarin atau rencana yang akan dilakukan pada hari itu.Sesekali Airen masih mengecek ponselnya, mungkin saja ada kabar tentang Alfie. Namun terpaksa netranya lagi-lagi tidak mendapati kabar apa pun mengenai pamannya."Kita tunggu saja sampai nanti siang. Jika belum ada kabar dari paman, kita harus ambil tindakan," ujar Airel."Iya," balas Airen singkat.Airel meletakkan buku merah di meja. "Sekarang lebih baik kita pecahkan maksud dari deretan angka ini."Mata Airen tertuju pada delapan belas angka yang berderet itu. "231431512 623313936" tertera dengan jenis tulisan sancreek di sampul buku. Warnanya putih kusam namun tetap jelas terlihat pada buku yang berwarna merah darah."Apakah angka-angka ini mewakili
"Dimana Paman Alfie? Bagaimana keadaannya sekarang?" Airel melempar tanya pada Inspektur Yoga."Ia masih tertidur di kamar," jawab Inspektur Yoga dengan suara baritonnya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Sejak kemarin setelah selesai perbincangan kita mengenai hasil forensik, sikap Pak Alfie mendadak berubah. Dan dini hari tadi sekitar pukul tiga dia datang ke rumahku dalam keadaan mabuk. Apakah kalian sedang berselisih?"Airel mengedikkan bahunya. "Tidak sama sekali," balas Airel pelan. Ia merenungkan sikap Alfie yang tak seperti biasanya. Mulai dari tidak memberi kabar hingga mabuk berat, padahal sebelumnya Alfie tidak pernah mau meminum alkohol. "Tapi aku mungkin tahu penyebabnya," sambungnya lagi."Apa itu?" tanya Inspektur Yoga penasaran."Sketsa wajah jenazah kemarin sangat mirip dengan wajah sahabat Paman Alfie. Namun aku belum memastikan langsung padanya.""Hem, pantas saja ia terlihat bersedih.""Kita tunggu saja sampai ia sadar," usul
Suasana di ruang tamu menjadihening. Alfie duduk di hadapan Airen dan Airel bak seorang yang sedang membuat pengakuan. Si Kembar memilih diam dan memasang wajah polos. Mereka menunggu Alfie bersuara lebih dulu.Alfie menghirup oksigen lalu mengembuskannya perlahan untuk mengatur irama pernapasannya. Meski kepalanya masih sedikit pening, tapi mengingat Yofi dan melihat wajah Si Kembar yang penuh harap membuatnya harus menguatkan diri lebih lama."Paman harap kalian bisa merahasiakan apa yang akan paman ceritakan terutama tentang diri paman sendiri," ujar Alfie memulai cerita dengan suara paraunya.Airen dan Airel mengangguk setuju.Alfie melirikkan bola matanya ke atas untuk mengingat-ingat kenangan masa lalunya. "Namanya adalah Yofi, lengkapnya Yofinus Andri. Semenjak pertemuan di pub malam itu, kami menjadi sangat akrab hingga dua tahun lamanya. Sampai suatu hari Yofi mengetahui rahasia paman."Airen mendebas kasar. "Hidup Paman terlalu bany
"Jadi, apa alasannya menurut Paman?" ulang Airel penasaran dengan spekulasi Alfie mengenai alasan terbunuhnya Yofi.Alfie memegang dagu seolah sedang mengingat sambil berpikir. "Untuk bergabung dengan Ethereal tidaklah mudah. Kami harus melewati penilaian yang rumit. Setelah lolos pun kami juga akan diberi pelatihan tambahan dan ditempa untuk meningkatkan potensi diri sehingga tidak heran kalau beberapa anggota Ethereal memiliki kemampuan atau keahlian khusus di bidang tertentu, termasuk Yofi.""Memangnya apa keahliannya?"Alfie menerawang pandangannya ke langit-langit. Kepalanya kembali dipenuhi dengan ingatan tentang sahabatnya itu. Wajah sendu yang selalu membuatnya kagum karena dalam sekejap Yofi bisa mengubah wajahnya ke dalam bentuk paras lain. Ia juga selalu ingat ucapan Yofi saat melakukan peyamaran. "Janganlah melihat seseorang dari parasnya, karena semua itu akan menipumu. Sekarang aku sedang melakukannya." Kini ia hanya bisa tersenyum getir menerima k
Airel mengamati keadaan sekitarnya sembari menunggu seseorang. Pandangannya menyapu seisi ruangan yang luasnya tak lebih dari empat meter persegi. Pada ruangan itu terdapat meja kayu kecil yang menempel ke dinding dan sebuah telepon kabel di atasnya. Tepat di hadapan Airel juga ada ruangan lain yang ukurannya sama dengan ruangan yang sedang ditempatinya. Kedua ruangan itu hanya terpisah oleh kaca tebal yang kemudian dipagari oleh terali besi.Sosok yang ditunggu Airel pun tiba. Seorang lelaki bertubuh tegap mengenakan baju biru dongker masuk bersama seorang sipir ke dalam ruangan yang ada di depannya. Lelaki itu pun duduk tepat di hadapan Airel dengan tatapan kemarahan. Sorot matanya seakan menyuarakan apa yang ada di benaknya."Waktu kunjungannya sepuluh menit," ujar sipir itu lalu keluar dan menunggu di balik pintu kaca."Bagaimana keadaanmu, Ed?" tanya Airel pada Edi.Bukannya menjawab, Edi malah kembali mencecar dengan tanya. "Cih, aku muak dengan bas