“Oliver!” Nicole menghentakan kakinya, berlari mengejar Oliver. Raut wajah Nicole menunjukkan jelas rasa kesal dalam dirinya. Sungguh, Nicole tak mengerti cara jalan pikiran Oliver. Kenapa sampai pria itu malah menahan ponselnya.“Oliver! Kembalikan ponselku, aw—” Nicole menubruk dada bidang Oliver, di kala pria itu menghentikan langkahnya. Dia mengusap-usap keningnya. Dada Oliver terlalu bidang dan keras membuat keningnya kesakitan.Oliver menghentikan langkahnya. Tatapannya menatap dingin dan datar Nicole. “Masuklah ke kamarmu. Ini sudah malam. Kau harus istirahat.”Nicole berdecak tak suka. “Kau ini seperti penjagaku saja! Kembalikan ponselku, Oliver!” tukasnya, meminta memaksa pria itu untuk mengembalikan ponselnya.Oliver tak mengindahkan apa yang Nicole katakan. Dia menarik tangan Nicole, membawa paksa wanita itu masuk ke dalam kamar tamu yang telah Oliver tunjuk. Nicole sempat berontak di kala tangan Oliver mencengkram pergelangan tangannya, namun tentu tenaga Nicole hanya baga
Shania duduk di kursi taman belakang, menatap langit malam. Raut wajahnya begitu muram dan membendung kesedihan mendalam. Sudah berkali-kali, dia menghubungi nomor Oliver, namun sayangnya tak ada jawaban sama sekali dari sang kekasih. Entah ada apa dengan Oliver yang mulai berubah. Benak Shania mengingat ucapan Oliver yang meminta menunda pernikahan. Sampai kapan pun, dia tidak akan pernah mau menunda impiannya. Menikah dengan Oliver adalah mimpinya. Oliver adalah sosok pria sempurna bagi Shania.“Shania? Kenapa kau di sini?” Mayir melangkah mendekat pada Shania yang duduk di kursi taman belakang. Seketika kening Mayir mengerut dalam, melihat putrinya nampak sangat sedih.“Dad?” Shania tersenyum melihat sang ayah kini duduk di sampingnya.“Kau kenapa, Sayang? Wajahmu muram sekali.” Mayir membelai pipi Shania lembut, menatap putrinya penuh khawatir. Tidak biasanya, putrinya itu bersedih.Shania menghela napas dalam. “Aku menghubungi Oliver, tapi dia tidak menjawab teleponku, Dad.”Ma
Suasana di lobby hotel mencekam seakan detik-detik menuju perang. Dua pria tampan saling melemparkan tatapan tajam satu sama lain. Seharusnya, tatapan itu adalah tatapan hangat. Mengingat keduanya adalah saudara. Namun, sayangnya alih-alih tatapan hangat malah yang ada tatapan tajam yang tersirat penuh amarah di sana.Oliver dan Shawn masih bergeming di tempat mereka. Pertanyaan Shawn terakhir belum dijawab oleh Oliver. Hanya tatapan tajam yang sedari tadi kedua pria tampan itu layangkan. Mereka seakan menunjukan rasa tak suka di pertemuan kali ini.“Aku mengantar Nicole pulang. Dia menginap bersama denganku,” jawab Oliver yang seolah sengaja memanas-manasi Shawn. Nada bicaranya tenang, dingin, dan penuh wibawa. Oliver mengatakan itu seakan apa yang dikatakannya, bukanlah kesalahan. “Kau—” Shawn maju, dan langsung mencengkram kuat kerah baju Oliver. Kilat mata Shawn kian menajam di kala mendengar jawaban dari Oliver. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di wajah Shawn. Layaknya bara
Samuel duduk di kursi kebesarannya seraya menatap laporan yang baru saja diantar oleh sang asisten. Sorot mata Samuel menatap penuh ketelitian dan ketegasan. Yang ada di hadapan pria itu adalah laporan kasus-kasus yang ditangani oleh Oliver. Meski sekarang Oliver telah memegang kendali utama firma hukumnya, tetap saja Samuel memeriksa apa saja yang diurus oleh putra sulungnya itu. Bukan tak percaya, tapi Samuel tak mau putranya mendapatkan masalah. Berkecimpung dalam hukum, membutuhkan ketelitian yang sangat tinggi.Suara dering interkom terdengar. Samuel mengalihkan pandangannya ke arah telepon, dan menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan telepon tersebut. “Ada apa?” tanyanya dingin kala panggilan terhubung.“Maaf mengganggu, Tuan. Saya hanya ingin memberi tahu, di depan ada Tuan Mayir Tristan ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang sekretaris dari seberang sana. Kening Samuel mengerut dalam. “Mayir Tristan?” ulangnya memastikan.“Benar, Tuan. Tuan Mayir Tristan ingin bertemu d
PranggggMayir membanting pajangan yang ada di atas mejanya, ke lantai. Pecahan beling memenuhi lantai marmer ruang kerjanya. Tampak raut wajah Mayir menunjukkan kemarahan yang nyaris meledak dalam dirinya.Napas Mayir memburu. Tangannya mengepal begitu kuat. Ingatan Mayir tergali akan apa yang dikatakan oleh Samuel. Pria paruh baya itu tak terima putrinya dihina dengan kata-kata kejam. Tujuan Mayir bertemu dengan Samuel, untuk membahas rencana pernikahan Shania dan Oliver, tapi malah dirinya disudutkan oleh Samuel.“Sialan!” seru Mayir dengan penuh amarah. “Ya, Tuhan, Sayang. Kenapa ini?” Erica menatap ruang kerja sang suami, begitu kacau balau. Dia segera mendekat pada sang suami, menatap wajah sang suami tercinta yang dilingkupi amarah. “Ada apa, Sayang?” tanyanya pada suaminya itu.Mayir memejamkan mata singkat. “Aku bertengkar dengan Samuel Maxton.”“Apa? Kau bertengkar dengan Samuel? Kenapa?” Mata Erica melebar terkejut, mendengar apa yang dikatakan oleh sang suami.Mayir menge
Nicole mengusap wajahnya kasar seraya mengumpati kebodohannya. Beberapa kali, dia memejamkan mata singkat di kala kepalanya merasa pusing luar biasa. Pusing akibat ulahnya sendiri. Sungguh, Nicole benar-benar tak mengira akan tindakan yang dilakukan.Satu jam lalu, Mayir baru saja pulang dari kamar hotel Nicole. Selama Mayir ada, Nicole stress luar biasa. Bagaimana tidak? Nicole terus dicerca pertanyaan tentang Shawn. Entah sudah berapa ribu kata yang dia ucap dalam dusta. Wanita itu tak memiliki pilihan lain. Dia terdesak, sampai harus berbohong. Kala itu, benak Nicole hanya muncul satu nama—yaitu nama Shawn. Nicole tidak tahu siapa lagi pria yang harus dia sebut sebagai kekasihnya. Memang, selama ini wanita itu enggan dekat dengan pria manapun.Nicole hanya fokus pada pekerjaannya, tanpa sama sekali menghiraukan tentang percintaan. Karena bagi Nicole, tidak ada cinta yang abadi. Ayahnya telah memberikan contoh padanya, di mana bahwa cinta akan pudar seiring berjalannya waktu. Seper
“Shawn, terima kasih sudah mengajakku jalan-jalan dan makan bersama.” Nicole berucap seraya melukiskan senyumannya, pada Shawn yang mengantarnya pulang. Hari ini, Nicole memang menghabiskan waktu berjalan-jalan dengan Shawn. Mereka begitu menikmati waktu bersama mereka sampai pulang di sore hari.Shawn tersenyum tipis. “Tidak usah berterima kasih. Bukankah, kau sekarang kekasihku?” jawabnya sedikit menggoda.Nicole mengulum senyuman malu di kala Shawn menggodanya. “Ya sudah, hati-hati di jalan, Shawn. Kabari aku kalau kau sudah di rumah.”Shawn membelai pipi Nicole lembut. “Aku pulang dulu. Kau jaga dirimu baik-baik. Hubungi aku jika kau membutuhkan apa pun. Aku akan berusaha membantumu.”Nicole menganggukkan kepalanya. “Terima kasih, Shawn.”Shawn masuk ke dalam mobil, dan mulai melajukan meninggalkan lobby hotel. Nicole melambaikan tangannuya di kala mobil Shawn pergi. Lantas, ketika mobil Shawn sudah tak lagi terlihat—Nicole memutuskan untuk segera masuk ke dalam lobby hotel, menuj
Nicole diam seribu bahasa. Tak ada kata lagi yang mampu Nicole ucap. Semua benaknya penuh terbayang akan kata-kata yang Oliver ucapkan padanya. Seperti alkohol yang tersiram di luka yang terbuka—Nicole merasakan perih luar biasa. Nicole terduduk di tepi ranjang. Baru saja, pria itu pergi. Akan tetapi, meski pria itu pergi tetap saja hati Nicole masih terasa perih. Dia sama sekali tidak takut pada ancaman Oliver. Sekalipun, Oliver ingin mempermalukannya seperti dulu—Nicole sama sekali tidak peduli.Namun, di sini yang terus menjadi pikiran Nicole adalah ucapan Oliver yang mengatakan dirinya, adalah milik pria itu. Sungguh, Nicole tak mengerti dengan cara jalan berpikir Oliver. Pria itu sebentar lagi akan menikah dengan Shania, tapi malah masih saja mengganggunya. Nicole mengembuskan napas panjang, dan memilih untuk membaringkan tubuh di ranjang. Wanita itu berusaha keras untuk melupakan semua perkataan Oliver, namun sayang sama sekali tidak mudah. Semua perkataan Oliver seakan tert