Share

11. Ancaman 2

"Iya, Dok. Lebih cepat lebih baik sebelum keduluan pihak rumah sakit memberhentikan, Dokter. Tampaknya ada satu kekuatan yang mempengaruhi pimpinan kita untuk melakukan pemberhentian tidak hormat pada, Dokter Rin. Kebetulan suami saya yang mendengar pembicaraan itu. Dia ngasih tahu saya, terus saya sampaikan ke Anda. Walaupun saya mikirnya, mungkin tidak akan dokter baca karena Dokter masih di tahanan. Tapi syukurlah Dokter Rin sudah di rumah.

"Sebenarnya, rekan-rekan kita di sini bisa memaklumi apa yang Dokter Rin lakukan. Namun kami tidak punya kuasa untuk membela. Keputusan tetap ada pada pihak direktur kita. Percayalah, Dok. Nggak ada yang menyalahkan tindakan spontanmu. Kami sangat paham situasimu saat itu."

"Makasih banyak, Dok." Rinjani terharu. Rupanya mereka bisa mengerti posisinya.

"Yang sabar, Dok. Anda masih muda. Tetap semangat dan lanjutkan karir Anda di tempat lain. Semoga lebih sukses."

"Aamiin. Makasih, Dok."

"Sama-sama. Nanti ada waktu kita ketemuan, ya."

"Baik, Dok."

"Maaf, ini ada pasien masuk. Saya tutup dulu teleponnya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Rinjani memeriksa akun m-banking. Seminggu yang lalu Daffa sudah mentransfer uang nafkah bulanannya. Gajinya juga sudah masuk seminggu setelah dirinya di tahan. Dia memiliki tabungan yang lumayan untuk memulai hidup baru bersama putranya.

Sementara di luar kamar, Daffa duduk dengan perasaan cemas di sofa sambil memperhatikan pintu kamar putranya yang terkunci. Pikirannya entah ke mana-mana. Dia tidak khawatir Rinjani akan menyakiti dirinya sendiri, meski semalam sempat menodongkan gunting padanya. Rinjani tidak selabil Abila yang selalu mengancam hendak mengakhiri hidup jika Daffa meninggalkannya.

Daffa benar-benar terjebak oleh perempuan seperti Abila.

Ponsel berdering. Asistennya menelepon.

"Ya, Din."

"Maaf, Pak. Cuman hendak mengingatkan kalau setengah jam lagi ada meeting dengan pihak Wigati Grup. Terus jadwal makan siang dengan Pak Ginting dilanjutkan meeting. Sore nanti ada pertemuan dengan supplier."

"Cancel semua jadwal saya untuk hari ini dan empat hari ke depan. Saya ngambil cuti empat hari dari sekarang. Untuk meeting dengan Wigati Grup, minta Pak Singgih untuk menghandelnya. Selain itu tolong cancel semuanya."

"B-baik, Pak," jawab Dinda. Suara asistennya tampak gugup. Dia pasti bingung mengatasi segala jadwal yang sudah tersusun rapi, tapi harus dibatalkan dan di atur ulang.

Bukan itu saja, pasti papa, omnya, bakalan mengamuk kalau semua jadwal di cancel dadakan. Daffa tidak peduli. Dia tidak akan meninggalkan rumah dalam beberapa hari ini.

Ponsel yang baru diletakkan di meja kembali berpendar. Daffa berdecak melihat nama Abila tertera di layar. Jika tidak di angkat, khawatir gadis itu akan nekat mendatangi rumahnya.

Daffa beranjak dari sofa ke balkon. Rinjani tidak boleh mendengar percakapannya. Keadaan akan semakin rumit nantinya.

"Hallo." Suara Daffa lirih.

"Kamu di mana sih, Mas. Kenapa nggak balas pesanku, nggak nerima teleponku."

"Bil, aku sudah menjelaskan beberapa waktu yang lalu. Kita sudah selesai. Kita nggak ada komitmen apapun dalam hubungan ini selain ...."

"Just for fun. Begitu," sahut Abila. "Nggak bisa, Mas. Kamu nggak bisa ninggalin aku begitu saja," teriak gadis itu di seberang.

"Bila, sejak awal kamu tahu kalau aku punya istri."

"Tapi aku mencintaimu, Mas. Aku nggak peduli." Tangis gadis itu pecah. Daffa terpaku sambil bersandar pada pagar pembatas balkon. Tatapan matanya tidak beralih dari pintu kamar Noval. Rinjani tidak boleh memergokinya melayani telepon gadis labil di ujung sana.

"Bila, please. Aku sudah jelasin kalau di antara kita nggak akan ada kesepakatan apa-apa. Aku punya istri dan anak."

"I don't care," teriak Abila. "Kamu lupa kebersamaan kita, Mas. Aku nggak terima kalau hanya sebatas selingan bagimu. Akan kubuat istrimu itu mengerti tentang hubungan aku dan kamu."

Daffa menghela nafas berat. Ingin rasanya membanting ponsel biar ambyar sekalian dengan suara Abila yang terus mengancam. Bagaimana caranya ia mengatasi gadis itu. Daffa benar-benar terjebak dalam permainan yang awalnya memang sekedar hanya untuk main-main. Mengisi kejenuhan karena rutinitas pekerjaan.

"Temui aku malam ini, Mas. Kalau tidak, aku akan datang ke rumahmu." Ponsel dimatikan seketika.

Daffa mengumpat lirih. Kenapa dia sampai terbelit ular berbisa. Gadis itu tidak boleh tahu kalau Rinjani sudah dibebaskan bersyarat. Abila bisa nekat menemui istrinya dan membuat keadaan kian runyam.

Pria itu memandang ke arah pintu kamar Noval yang terkuak perlahan. Rinjani keluar tanpa memandang ke arahnya. Daffa mengikuti sang istri yang masuk ruang kerjanya dan duduk membuka laptop.

"Kamu ingin mengundurkan diri?" tanya Daffa membaca kalimat yang terketik di layar laptop.

"Hmm."

"Kenapa? Pihak rumah sakit nggak akan memecatmu. Mas sudah menemui Dokter Heru. Permasalahanmu bisa dimaklumi, Rin."

Rinjani terus mengetik tanpa mempedulikan suaminya.

Setelah vonis hakim, Daffa memang sengaja menemui direktur rumah sakit tempat istrinya bekerja. Supaya Rinjani tidak diberhentikan secara tidak hormat karena kasusnya. Daffa tidak ingin cita-cita istrinya hancur karena perbuatannya. Bahkan dengan gamblang ia mengakui bahwa dirinya yang bersalah.

"Rin, kita bisa membicarakan ini dengan Dokter Heru."

Apa bisa? Sudahlah lebih baik dia melanjutkan karirnya di tempat yang baru. Membawa Noval pergi dari kota ini. Menjauh dari seorang Daffa. Tapi bagaimana dengan Noval? Apa dia bisa berpisah dari papanya.

Next ....

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
heleh Daffa gk bisa gitu ngurusin Bila? diancem dikit gitu ae gk berkutik.. laki apa bukan sih?
goodnovel comment avatar
Yuli Faith
apakah runjani kelak jodohnya dokter angkasa
goodnovel comment avatar
Icha Majhaf
Ayoo Ratih memaafkan perbuatan Dafa boleh, tapi memberi kesempatan kedua tidak ada. Perselpingkuhan itu hanya kesempatan saja. Kemungkinan akan terulang lagi.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status