Share

12. Surat 1

RINDU YANG TERLUKA

- Surat

Suara ketukan di pintu membuat Daffa dan Rinjani menoleh. Lelaki itu bergerak membukanya. Lastri sudah berdiri di sana sambil menyodorkan sebuah amplop. "Ada surat untuk Ibu, Pak."

"Makasih." Daffa terkesiap melihat siapa pengirimnya.

Setelah menutup pintu Daffa kembali menghampiri istrinya. Rinjani berdebar-debar. Sekilas terlihat dia tahu surat itu dari mana.

"Berikan padaku. Itu surat untukku dari rumah sakit." Perasaan Rinjani sudah tak enak. Jemarinya gemetar. Namun ia harus kuat.

Daffa pun merasakan hal yang sama. Makanya dia ragu untuk memberikan surat itu pada istrinya. Rinjani yang tidak sabar, mengambilnya dari tangan sang suami. Dengan perasaan tak karuan dan jemari gemetar ia membuka amplop.

Pemberhentian Kerja. Ternyata surat itu lebih dulu ia terima disaat belum selesai menulis surat pengunduran diri. Netra Rinjani mengembun. Luka tak berdarah tapi bernanah.

Sejenak Rinjani diam mengatur napas usai membaca isinya. Dipuncak rasa sakit dan kecewa, ia bisa menerimanya. Sudah selesai dan ini menjadi akhir karirnya di rumah sakit di mana ia pernah koas, jadi dokter internship, hingga menetap menjadi dokter umum.

Daffa memeluknya. "Rin, maafkan mas. Ini bukan akhir semuanya. Cita-citamu nggak akan kandas sampai di sini. Mas akan usahakan untukmu."

Rinjani melepaskan diri. "Aku nggak apa-apa," jawabnya dengan suara bergetar.

"Mas akan perjuangkan cita-citamu, bisa kembali menekuni profesi yang kamu impikan selama ini." Daffa mencoba menenangkan istrinya. Namun Rinjani diam sambil menghapus surat yang hampir selesai ia ketik. Mematikan layar laptop dan menutupnya.

"Rin." Daffa meraih kembali jemari Rinjani, tapi ditepis pelan. Wanita itu hendak melangkah keluar ruang kerja tapi Daffa menahannya.

"Nggak perlu sibuk ngurusi aku, setelah kamu sendiri yang menghancurkannya, Mas."

"Please, maafkan mas, Rin. Honey ...." Daffa mengejar Rinjani yang melangkah ke arah kamar Noval.

Rinjani berhenti sebelum menggapai pintu. "Aku titip pesan, Mas. Untukmu dan perempuan kesayanganmu. Ingat kata-kataku ini, setiap tetes air mataku karena rasa sakit yang kalian torehkan, akan mencari karmanya sendiri. Tolong katakan padanya. Atau jika kamu tak sampai hati mengatakannya, biar kuberitahu sendiri nanti." Selesai bicara, Rinjani membuka pintu dan menguncinya. Daffa tercekat. Kepalanya hampir terantuk pintu yang ditutup Rinjani dengan cepat.

Lelaki itu mematung dengan perasaan campur aduk. Padahal dirinya sudah berusaha berkompromi dengan pimpinan rumah sakit, mengakui serendah-rendahnya kalau dirinya yang bersalah, bukan Rinjani. Apa Abila yang ada di balik pemberhentian kerja untuk Rinjani.

Sekali lagi Daffa mengetuk pintu kamar. "Rin, tolong bukain pintunya. Biarkan mas bicara."

Sepi. Tidak ada respon apapun. Yang terdengar isak lirih dari dalam. Netra Daffa ikut memerah. Sesalnya kian dalam. Disambarnya kunci mobil yang ada di meja sudut ruangan lalu melangkah menuruni tangga dan pergi dengan mobilnya.

Kendaraan keluaran terbaru itu melaju cepat membelah lalu lintas jalanan kota Pahlawan yang lumayan padat.

"Maaf, Pak. Sudah dua hari ini Mbak Bila nggak masuk kerja." Seorang resepsionis di kantor Abila memberitahu Daffa. Lelaki itu mendengkus kesal lantas pamitan. Dia tahu harus ke mana mencarinya.

Kendaraan Abila ada di garasi saat mobil Daffa berhenti di luar pagar. Abila memang lebih sering menempati rumah keluarganya yang berada di pemukiman elite itu. Dia tidak ingin tinggal bersama kakek dan neneknya. Seminggu sekali atau dua kali akan mengunjungi dan menginap di rumah besar sang kakek. Aset berupa rumah kontrakan dan kamar kos ada di mana-mana, jadi Abila tinggal pilih saja mau tinggal di mana.

Daffa mengambil ponsel dan menghubungi Abila.

"Halo, Mas. Akhirnya kamu nggak tahan juga untuk tidak menghubungiku. Kenapa? Kangen, ya. Yuk, ketemuan. Mau di mana, di rumah atau di hotel."

"Keluar! Kutunggu kamu di depan pagar." Daffa mematikan ponselnya. Dia memandang ke dalam rumah dari celah teralis pagar. Tidak lama kemudian Abila muncul dari pintu dengan h0t pant dan kaus ketat warna putih. Rambutnya digelung asal-asalan.

Gadis itu membuka pintu pagar dan menghampiri Daffa. Berdiri di samping kemudi karena Daffa tidak turun dari mobil. "Masuk, Mas. Belum malam Mas Daffa sudah datang." Senyum Abila merekah.

"Apa yang kamu lakukan pada istriku. Kamu yang membuatnya diberhentikan dari rumah sakit." Daffa berkata dengan intonasi datar, tanpa memandang perempuan yang berdiri di samping mobilnya.

"O, karena ini Mas Daffa menemuiku? Tapi Mas salah. Bukan aku yang melakukannya. Bukankah wajar saja yang dilakukan oleh pihak rumah sakit. Mana mau mereka memiliki tenaga medis yang terlibat dalam tindak kejahatan. Mereka pasti khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di rumah sakit jika tetap mempertahankan istrimu. Btw, nggak enak ngobrol di sini, Mas. Ayo, masuklah ke rumah."

Daffa bergeming.

"Ayolah! Apa nggak kangen sama aku?"

"Jangan pernah menyakiti Rinjani dan Noval. Kamu harus ingat sejak awal aku dan kamu sebagai apa. Nggak perlu lagi aku mengingatkan berulang kali. Bahkan dari profilku kamu tahu kalau aku pria beristri."

"Tapi kamu juga yang menanggapi tawaranku." Abila menyeringai penuh kemenangan. Ingat bagaimana pria di hadapannya ini takhluk padanya di suatu kesempatan.

Pertemuan kerja yang tidak bisa terelakkan, lunch, dinner, pertemuan-pertemuan kecil yang membuat mereka semakin dekat dan akrab.

Abila yang sudah sering bertemu dengan banyak eksekutif muda, pria mapan, kaum kelas atas, tidak bisa mengelak dengan sosok Daffa Prasetya Bhakti. Pria ini berbeda. Good looking. Posturnya 187 cm, tegap, tampan, suaranya ngebass berdentum dan menggetarkan jiwa. Lalu senyumnya berwibawa sebagai seorang pimpinan. Coba perempuan mana yang tidak kepincut. Namun dengan mudah bisa ia takhlukkan dikala sama-sama butuh selingan. Menggiring pria ini bermain-main sejenak dalam genggamannya.

"Kita sudah selesai, Bila. Aku punya istri."

"Nggak bisa. Kamu harus tanggungjawab, Mas. Kamu sudah membuatku jatuh cinta. Jangan seenaknya pergi begitu saja." Abila menjawab dengan tatapan tajamnya.

"Kamu sudah menghancurkan karir Rinjani."

"Bukan aku pelakunya. Siapa suruh bertindak brut*l. Aku hanya melaporkan tindak kekerasannya padaku. Aku nggak ikut campur dalam karir istrimu. Jangan sembarangan asal tuduh."

Daffa menghela nafas berat. Menyalahkan diri sendiri, kenapa begitu bodoh hingga dirinya terbelit oleh ular berbisa. Dia salah memilih lawan bermain-main.

"Jangan pernah berpikir ninggalin aku. Atau akan kubuat istrimu tahu semuanya," ancam Abila. Daffa tidak menjawab. Kembali dinyalakan mesin mobil dan ia pergi dari sana. Tidak peduli dengan teriakan-teriakan menggila dari Abila yang menarik perhatian para ART. Dari balik pintu pagar rumah sang majikan masing-masing, mereka melonggok mencari tahu keributan kecil itu.

***L***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
noh Daffa lihat tuh gundikmu.. udah jelas banget kek iblizzz.. sekarang nyesel kan kamu.. gegara napsu sesaat tapi hidupmu berantakan selamanya..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status