Sepulang dari pemakaman Bu Eni, Basir yang sudah membersihkan diri kini menjadi perwakilan warga yang mendatangi Pak Lurah di kantor desa. Ia ingin membicarakan perihal kejadian di desa yang diyakini bahwa Pak Wahyu adalah penyebabnya. Dengan didampingi oleh Karim, keduanya sudah duduk di depan meja Lurah Agus. "Aya naon ieu teh? Mau bikin surat apa?" tanya Lurah Agus membuka jaketnya, lalu duduk di kursi yang bisa berputar 360 derajat.Karim dan Basir saling melirik. Tangan mereka menyikut satu sama lain. Akhirnya terpaksa Basir yang berbicara karena rekan di sebelahnya memberi tanda bahwa ia tidak berani mengatakan apa-apa. Takut salah, pikirnya. "Begini, Pak Lurah. Kayaknya desa kita teh mulai tidak aman. Lihat, kan, Bu Eni saja meninggal dengan tragis. Gimana nasib istri dan anak kita coba? Apa gak coba lapor pihak yang berwajib? Siapa tahu ulah manusia." Nada bicara Basir tampak menggebu. Kalimat demi kalimatnya diangguki oleh Karim.Lurah Agus menyandarkan punggungnya di kursi
Selepas tahlilan di rumah Bu Ajeng, para bapak-bapak mulai membubarkan diri. Kematian tak wajar almarhumah Bu Eni membuat suasana desa kian mencekam. Maka, meski jam masih terbilang sore, semua orang memilih pulang lalu menyepi di rumah masing-masing. Karim yang baru masuk rumah langsung mengganti pakaiannya. Pria itu sudah punya janji dengan Basir dan Pak Lurah untuk pergi ke rumah Pak Wahyu—melihat keadaan Nilam. Sebelum pergi, ia sempatkan memandangi kaca lemari, memperhatikan kain kasa yang menutupi bagian belakang kepala. "Mau ke mana udah rapi, Kang?" tanya Siti, istri Karim yang baru saja melahirkan anak kedua, sekitar empat bulan yang lalu. "Ke rumah Pak Wahyu. Ada urusan sama Pak Lurah," jawabnya sambil mengusap kasanya, membetulkan penutup luka yang kurang rapat. Untung saja kepalanya pelontos, jadi tidak terlalu ribet dengan rambut. "Kan kepala Akang teh masih sakit. Inget gak kata Bu Anggita tadi pas di klinik? Jangan dulu kena angin sama air!" cerca Siti. Kini ia sibu
Semua pertanyaan Ridwan mengingatkan Bagas pada kejadian di mana Hafiz pernah berbuat macam-macam pada Nilam secara mistis. Entah apa tujuannya, yang jelas pria itu selalu berkilah jika ditanya. Berawal dari suatu sore. Semua anak-anak Pak Wahyu berkumpul di rumah untuk makan bersama. Para wanita sibuk bercanda gurau di dapur, memasak serta menyiapkan hidangan penutup—termasuk minuman segar, permintaan dari Pak Wahyu. Keluarga masuk tenang, tentram. Nilam sibuk mengoceh tentang Aris yang melamarnya secara romantis. Memberi cincin, bunga, dan permintaan secara langsung kepada orang tua. Janji akan menikahi dengan pesta di sebuah hotel mewah. Sementara para pria, hanya mengobrol di ruang tamu, menyimak Pak Wahyu yang sibuk menceritakan pertandingan bola tadi malam. Hafiz lebih banyak merespons, sedangkan Bagas hanya sesekali menimpali karena dia tidak terlalu suka dengan acara olahraga. "Kang Hafiz, sini. Pasangin gas!" teriak Indah dari dapur. "Iya! Sebentar, Pak." Pria itu beranj
Cahaya api dari obor tampak meliuk-liuk kala tertiup angin. Penerangan dari batang bambu itu ditancapkan di beberapa sudut. Di sebuah ruangan gua, beberapa meter dari pintu masuk, Nilam dibaringkan pada tikar cokelat yang sudah digelar. Gadis itu hanya memakai samping (kain batik) yang melilit tubuhnya, memperlihatkan kulit yang tidak terlalu putih, tetapi bersih. Ruangan yang dipenuhi memiliki batuan lancip tak beraturan itu dinamakan Tatapan Siraja, di mana para sesepuh zaman dahulu menyucikan hati, diri, di ruangan tersebut. Sedari tadi siang, asisten Bah Padri yang lain sudah mempersiapkan segalanya untuk ritual malam ini. Sebuah gentong berisi mata air tujuh sumur diletakan di samping tubuh Nilam, lengkap beserta sesajen seperti; bunga-bungaan, dupa dalam kendi, ayam cemani, dan beberapa keris. Bah Padri sudah susuk bersila, membacakan mantra seraya menebar kemenyan pada arang yang menyala. Bah Padri memberi jampi pada tempatnya berada, memberi benteng agar tidak ada makhluk l
Rombongan Pengantin dari Alam Gaib"Kenapa seserahannya harus malem, Neng?" tanya perias pengantin pada Nilam, gadis yang akan menikah hari ini. Gadis berumur 20 tahun itu sudah sangat cantik, menggunakan singer Sunda serta kebaya putih. Ronceng melati di sebelah kanan tergerai ke depan menutupi brokat sederhana, di mana baju itu warisan dari ibunya. "Gak tahu, Teh. Permintaan dari keluarga A Aris. Lagipula, cuma ijab qabul, pestanya mah belakangan kalau urusan Aa di kota sudah selesai," jawab Nilam sambil terus mengulum senyum. Tidak masalah untuk Nilam menikah tanpa pesta, toh lebih cepat tentu lebih baik. "Denger-denger teh, harusnya minggu depan, kan, ya, Neng Nilam nikahnya?" "Iya, Teh. Cuma A Aris minta tanggal dimajukan. Beliau ada kerjaan di luar kota, jadi kalau udah nikah, Nilam bisa diajak juga. Ada yang ngurus Aa di sana." Wajah Nilam mulai memerah, ia tersipu malu membayangkan betapa indahnya mahligai rumah tangga yang akan dijalani bersama pria yang ia cintai.Teh Rit
Langit kian pekat, ditemani lolongan anjing serta cuitan para binatang malam. Desau angin menciptakan suasana hening di Desa Mekarwangi. Cahaya bulan purnama seakan mengundang pasang-pasang tak kasat mata untuk memperhatikan laju delman yang menyelusup dalam kabut malam di antara rindangnya pepohonan. Nilam masih belum menyadari apa-apa. Tangannya diselipkan pada lengan Aris yang sedingin es. Meski terbalut jas hitam tebal dan terhalang kebaya tipis, ia bisa merasakan betapa dinginnya kulit seputih pualam itu. Nilam menyandarkan kepalanya di bahu Aris, merasa tubuhnya lemah dan sangat mengantuk. Aris masih menatap jalanan yang hanya bisa dilalui oleh kereta kencananya. Suara seringai kuda terkadang memecah kesunyian. Roda kian berputar, membelah jalan di antara pohon bambu yang menjorok ke dalam—seakan berperan menjadi terowongan—menembus dunia yang sulit terjangkau manusia. Pria itu menoleh ke arah Nilam, membelai pipinya yang halus. Dengkuran halus mulai terdengar, menandakan gad
Hasim dan Darsan sudah sampai di rumah sakit yang kebetulan berada di kota mereka. Sesuai arahan dari Teh Rita, juga berbekal berita terupdate di internet, kedua pria itu akhirnya bertemu dengan pihak keluarga Aris. Karena semua masih diselimuti kesedihan, keduanya tidak berani bertanya macam-macam. Turut berduka. Hanya kalimat itu yang mereka sampaikan sebagai perwakilan dari keluarga pihak mempelai wanita. Hasim dan Darsan pun masih belum bisa menjelaskan keadaan di rumah Nilam, sebab kejadian malam ini seperti di luar ekspetasi. para korban yang berjumlah sepuluh orang tersebut masih dalam proses autopsi. Kedua pria itu hanya mengatakan pada keluarga korban jika keluarga Nilam sedang dalam keadaan kacau, maka kedatangannya diwakilkan. Karena memang sedang sama-sama berduka, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Mereka lebih fokus pada urusan keluarga masing-masing. Hasim dan Darsan duduk berselonjor di halaman rumah sakit, menghadap ke arah jalan. Tubuh mereka lemas seketika set
Beberapa orang masih bertahan di rumah Nilam sembari menunggu azan Subuh. Sebagian lagi memutuskan pulang dan menunggu saja kabar baiknya besok pagi dengan harapan cahaya matahari membawa sinar kebahagiaan pada warga Desa Wangunsari. Terutama kabar tentang kepulangan Nilam. Bah Karsun akan berusaha memanggil Nilam dengan zikir ketika detik-detik menjelang azan di mesjid nanti. Kalau sampai fajar datang gadis itu tak kembali, maka jalan selanjutnya adalah menyisir wilayah desa. Apalagi Sungai Niskala terkenal sebagai gerbang menuju alam lain. Karena waktu masih tersisa beberapa jam, warga mendesak Pak Wahyu untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Pantrangan apa yang sudah dilanggar? Atau mungkin proses mana yang terlewat ketika hari pernikahan. Aturan desa cukup ketat untuk calon pengantin, bahkan sang pengantin wajib menyucikan diri di sungai dekat makam keramat. Konon, untuk membuang sial.Sementara itu, Pak Wahyu terkenal sebagai orang yang tak acuh pada aturan desa. Maka, b