Karena aku memaksa Mas Arman untuk menghubungi aruni maka lelaki yang tidak punya pilihan ditambah Karena rasa bersalahnya itu, maka dia terpaksa menghubungi iparnya.
"Ada apa, Arman?" Suara wanita itu merdu mendayu dari seberang sana terdengar manis dan centil sekali. "Uhm, begini...." "Ada apa?" "Tolong hapus postingan foto Saya dari i*******m-nya Mbak aruni, ga enak diliat Hani dan kerabat lain. Ini hanya demi tidak menimbulkan asumsi negatif Mbak." "Aku tidak bermaksud untuk menyinggung istrimu, aku hanya berterima kasih karena kau selalu membantu kami." "Sama-sama Mbak, Tapi tolong foto saya dihapus ya, saya rela tidak pergi ke kondangan dengan istri demi kamu Mba," ucap Mas Arman dengan wajah yang tidak enak padaku. "Oh, maafin aku Arman, kalau tahu kamu mau ada acara aku nggak usah minta diantar." "Nggak papa Mbak sudah terlanjur juga, sampai nanti." "Bye Arman, makasih." Klik. Suamiku menghela nafas sambil menyimpan kembali ponsel ke dalam kantongnya. "Kuharap kamu bisa tenang dan mau memaafkanku." Lelaki itu membujuk namun aku yang belum puas dengan kemarahanku masih meradang. "Aku belum selesai bicara juga, Mas!" "Apalagi yang membuatmu kesal dan masih memanjangkan masalah ini?" "Aku tidak memperpanjang, tapi, aku masih belum terima kebohongan ini. Aku tidak terima wanita itu terus mengajakmu pergi tanpa izinku. Bukankah kita sudah sepakat bahwa kemanapun kau pergi dan apapun yang akan kau berikan padanya, pasti akan kau bicarakan denganku?!" "Itu betul, aku berjanji aku memegang komitmen itu, tapi tiba-tiba saja aruni datang ke kantor dan minta diantar. Dia bilang waktunya sudah mepet jadi aku pun tidak sempat mengabarimu!" "Bagaimana hubungan kalian berkembang selama ini, Mas, sedekat Apa kau dengannya?" "Hubungan apa sih?" Suamiku jadi kesal karena pertanyaanku. "Apa hubungan yang kau maksud? dia adalah kakak iparku dan tidak lebih dari itu, titik!" "Tapi kalian begitu dekat sampai-sampai kau lalai pada keluargamu sendiri." "Aku tidak lalai, aku hanya manusia biasa yang badannya tidak bisa dibagi dua. Aku ingin aku selalu ada saat keluargaku membutuhkanku. Dan aku tidak bermaksud untuk menyakitimu!" "Tapi mas..." "Sudahlah. Kecemburuanmu pada istri mendiang mas Hilman membuatnya terlihat tidak masuk akal! Padahal, aku selalu menjaga jarak dan batasanku." Mas Arman langsung berdiri selalu beranjak masuk ke dalam kamar, sepertinya lelaki yang sudah penat itu mau mandi dan ganti pakaian. Astaga, Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, ingin marah tapi aku tidak tahu aku harus marah pada siapa. Tidak banyak yang bisa kulakukan selain banyak-banyak istighfar dan berdoa pada Allah semoga suamiku terlindung dari godaan wanita itu dan menjaga keluarga kami. * Pukul delapan malam. Aku beranjak masuk ke dalam kamar, heran karena Mas Arman tidak kunjung keluar juga dan makan bersama kami. Ternyata lelaki itu sudah terbaring pulas di tempat tidur. Kuperiksa barang-barangnya dan membereskan pakaiannya yang teronggok di lantai, tiba tiba tanpa sengaja, ponsel yang sedang dicas di dekat kaca rias berdenting. Entah kenapa aku penasaran dan ingin melihat itu pesan dari siapa, padahal sebelum-sebelum ini aku tidak pernah penasaran. "Lihat kan, aku cantik dengan anting-anting yang kau berikan?!" Wanita itu menulis demikian di atas sebuah foto, di mana ia berpose cantik sambil menopang dagu, wajahnya nampak berkilau dan bersih karena perawatan yang rutin, rambutnya di gerai panjang dan selalu dicatok, dia menunjukkan sebuah anting-anting di telinganya yang berbentuk bunga, dan senyum lebarnya itu membuatku cemburu dan terbakar hatiku. Lalu kemudian kugulir pesan yang dikirimnya, ada beberapa foto dia dan anaknya dengan berbagai keterangan dan alasan mereka mengirimnya, ada foto saat dia di pantai dengan laporan kalau mereka sedang liburan dan berterima kasih pada suamiku untuk uang yang sudah dikirimkannya, lalu foto saat mereka bikin kue bersama di dapur dan bahkan foto saat mereka sedang berbaring di tempat tidur. "Selamat tidur om, semoga mimpi indah!" Melihat pesannya itu, aku jadi mulai merasa bahwa ini sudah tidak masuk akal lagi. Mana mungkin, seorang ipar menghubungi adik iparnya yang sudah punya istri untuk mengirimkan pesan kalau dia hendak tidur dan mengucapkan selamat tidur juga. Ini keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan. Kalau aku diam saja maka aruni akan semakin melunjak bahkan bisa menghancurkan keluargaku! (Kurasa kau sudah keterlaluan, ini sudah berlebihan dan tidak bisa dibiarkan lagi. Apa kau lupa kalau Arman adalah adik iparmu dan dia sudah punya istri dan anak!) Aku langsung mengirimkan pesan itu kepada aruni.(Oh maaf, apa ini Hanifah ya?) dia segera membalasku.(Iya, aku istrinya, aku tidak tahu apa maksudmu tapi aku kaget melihat pesan-pesanmu pada suamiku. Kau kirimkan foto-fotomu yang cantik dengan maksud apa?)(Tidak ada, hanya mengirimkan saja.)(Menurutmu ini masuk akal dan wajar, menurutmu wajar seorang kakak ipar mengirimkan foto-foto ke adik iparnya?)(Jika Itu menyakiti hatimu maka aku minta maaf, Aku tidak akan mengulanginya. Kau boleh menghapus pesannya.)Ini bukan tentang menghapus pesan, aku ingin dia memberiku penjelasan kenapa ia seakan menggoda suamiku, jika aku bicara terang-terangan tentu wanita itu akan merasa tertantang dan semakin berusaha dekat pada suamiku, jadi, akan kuusahakan untuk bicara baik-baik, meski perasaanku terbakar. (Tentu saja akan kuhapus, tapi, sebelum itu, Aku ingin tahu kenapa kau terlalu berani. Apa maksudmu?)(Maafkan aku, aku tidak bermaksud apa-apa. Arman yang minta kami mengabarkannya kegiatan harian kami, dia bilang dia harus memantau kami
Aku terguncang, hatiku mencelos menyusut seakan disiram minyak panas oleh perkataan Mas Arman. Dia bilang kalau belakangan ini kelancanganku meningkat sementara aku tidak pernah merasa melunjak. Bagiku dia suamiku, dan sebagai istri aku berkewajiban untuk melindungi keluarga serta menjaga batasan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. "Aku tidak bermaksud untuk lancang Mas, aku hanya mengingatkanmu agar kau menjaga jarak!""Emangnya aku terlalu dekat? Apakah aku pernah memeluk dan mencumbunya, ataukah kau mulai berpikir kalau aku dan aruni berselingkuh?""Aku tidak bilang begitu ya... Aku hanya...." dia segera meletakkan jari telunjuknya di bibirku sambil menggelengkan kepalanya, tawanya yang penuh misteri serta kelicikan itu membuatku tidak habis pikir. "Tatapan dan caramu bicara seakan kau curiga. Aku berusaha memaklumi gelagatmu, diam dan mengalah pada istriku, tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Jangan keterlaluan ya," ujar suamiku dengan senyum sinis. Sesudah mendo
Melihatku menangis sambil memeluk lututku sendiri lelaki itu hanya menatap dengan senyum sinis dan berkacak pinggang."Aku peringatkan padamu, meski kau istriku dan ibu anak-anakku tapi jangan bersikap kurang ajar, aku adalah suamimu dan kepala keluarga ini." "Lantas pikirkanlah! jika aku lebih dekat dengan iparku dan selalu mengandalkan mereka tanpa menjaga hatimu, Apa yang akan kau lakukan?!""Biasa saja," jawabnya sambil mengendikkan bahu. Aku tak sanggup lagi menahan air mata, rasanya pupus sudah harapan untuk mempertahankan keluarga begitu melihat tindakan dan perkataannya Mas Arman yang masuk akal. Kupikir dia telah mengindahkan peringatanku, dia berjanji akan menjaga sikapnya tapi ternyata lelaki itu bersikuku ingin tetap bersama dengan aruni, dia tetap ingin memberinya nafkah, perhatian dan waktu.Jika sudah begini, sama saja dengan suamiku menanggung dua keluarga, sama saja seakan dia punya istri dua. Karena sebagian besar penghasilan dan waktu untuk aruni, maka secara t
"Ibu tidak melarangmu untuk bergaul dengan anak ibu, tapi kau juga harus memberi waktu untuk air Man agar dia bisa mengurus dirinya sendiri dan keluarganya."Wanita itu semakin menjadi-jadi saja tangisannya mendengar ibu mertua menjawabnya, dia semakin tidak membendung air mata malas sekarang ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu menangis semakin pilu. "Sejujurnya ini tidak seperti yang ibu dengarkan, aku jarang bertemu Arman. Paling hanya sekali atau dua kali dalam sebulan, kami hanya sering berhubungan lewat chat karena dia membantu keuanganku." Wanita itu terus mengadu mengusap air mata dan meminta perhatian ibu mertua.Aku benci padanya karena ia begitu tidak tahu diri dan egois, seakan dunia berputar tentang kebutuhan dia saja sehingga dia merasa bahwa suamiku harus menafkahinya. "Oh ya? dalam seminggu saja bisa lebih dua kali pertemuan kalian! bahkan ke manapun mba pergi, suamiku selalu menjadi supirmu. Hari Minggu kemarin seharusnya kami menghadiri syukuran ayahku y
Dengan hati remuk redam, aku duduk di sisi tempat tidur berusaha untuk meredakan tangisan dan berpikir dengan jernih, ada koper pakaian yang kusimpan di atas lemari menunggu untuk kuisi lalu kuseret pergi dari tempat ini.Aku sadar perjuanganku sia-sia, hidupku seperti sandiwara yang penuh dengan omong kosong. Rumah tangga yang kujalani seperti panggung yang harus diisi dengan kepura-puraan bahwa aku bahagia padahal hatiku tertekan. Aku mendedikasikan diriku sebagai istri yang setia tapi suamiku tidak bisa menjaga sikapnya. Aku menunggu sesuatu yang tidak mungkin berubah, yakni perubahan Arman yang terlalu mementingkan iparnya tanpa memperdulikan perasaanku. Menurutnya aku terlalu cemburu padahal sebenarnya dialah yang buta. Selagi mencoba untuk meredakan gejolak hatiku ibu mertua di luar sana sedang memarahi anaknya, dia mengomel pada aruni dan Arman, dia mencecar mereka panjang lebar, dan meminta Mas Arman untuk lebih menjaga sikapnya. Ibu mertua, berusaha memberi pengertian pad
Mas Arman mengikuti langkah ibunya ke pintu gerbang, membantu wanita itu masuk ke dalam mobilnya, diikuti oleh aruni yang sesaat bicara padanya. Dua sejoli itu seperti membicarakan sesuatu yang serius lalu Mas Arman mengangguk sambil wanita itu mengelus bahu suamiku. Nampaknya, sentuhan haram wanita yang bukan mahram suamiku itu, telah membuat dia lupa diri dan terpengaruh. Aruni memang cantik, tatapan dan senyumnya bisa melelehkan siapapun, tapi bagiku, semua ucapannya tak ubahnya mantra yang telah meracuni hati arman dan berubah drastis. Hubungannya yang dekat dengan suamiku telah jadi duri dalam Rumah tanggaku, jadi dilema besar yang membuat suamiku bingung untuk memilih. Harusnya kami bahagia dan suamiku fokus pada keluarganya sendiri, tapi kenyamanannya dekat dengan aruni, telah menciptakan konflik denganku. Aku yakin suamiku jatuh cinta pada wanita itu. Sekuat apapun cara mereka menutupi, dari interaksi, pandangan, cara bicara dan bagaimana Arman selalu bergerak cepat saat d
Setelah kepergian suamiku, aku terjatuh lemas duduk di kursi teras, kupikir ketegasanku akan membuat segalanya berubah tapi malah membuat keadaan jadi makin rumit. Kukira, setelah membicarakan perasaanku kepada mertua dan ibu mertua berusaha memberi mereka pengertian, segala sesuatu akan berubah dan kembali seperti semula, tapi dengan jujurnya aku, hubungan mereka seakan terungkap dan mereka semakin gamblang menunjukkan kedekatannya. Seakan tidak boleh ada yang melarang atau menghalangi mereka. Suamiku dan kakak iparnya itu, Allahu Akbar... kalau diingat bagaimana sibuknya dia melayani aruni dan bagaimana manjanya aruni kepada Mas Arman, aku hanya bisa mengucapkan istighfar dan mengurut dadaku. Aruni wanita jalang itu, dia telah mengadu kepada suamiku dan menciptakan konflik antara aku dan Arman. Dia pasti telah bercerita dan melebih-lebihkan perkataanku kepada suamiku sehingga membuat Mas Arman murka. Ah, posisiku sangat tidak menguntungkan. "Bu." Aku menelpon ibu mertua karena sa
Melihat kerasnya hati suamiku, satu-satunya jalan yang bisa ku ambil adalah mengadu pada orang tuaku dan meminta mereka untuk bicara pada mas Arman. Bukan untuk mencari pembelaan tapi ini adalah bentuk upaya terakhir mempertahankan keluarga. Demi Inayah dan Dika aku rela merendahkan harga diriku. Demi cinta dan hati yang terlanjur kuberikan kepada Mas Arman, aku rela mengalah dan minta maaf. Aku yakin harus ada penengah yang lebih berwibawa diantara kita, harus orang yang lebih tua yang disegani oleh suamiku yang bisa bicara padanya agar dia bisa sadar dan kembali seperti semula. *Dan di sinilah aku, di rumah orang tuaku, oh aku tidak berdayaan dan kesedihanku di hadapan mereka. Sesungguhnya Ini pertama kalinya aku melibatkan kedua orang tua dalam masalah keluargaku, sebelumnya pantang bagiku mengadu sebab jodohku adalah pilihanku sendiri jadi aku tidak mau membebani kedua orang tuaku.Tapi apa yang terjadi sekarang sungguh membebani hati dan tidak bisa membuatku lega kalau aku tid