"Apa yang kamu katakan, Naren? Dari mana kamu tahu semua itu?" Tuan Baruna terkejut dengan pertanyaan Naren.
Rahasia besar itu hanya diketahui olehnya dengan mendiang sang istri. Dia merasa terkejut dengan pertanyaan Naren. Putranya itu beranjak pergi dari ruangan sang ayah. Tanpa dijawab pun, Naren sudah tahu jika kabar itu benar adanya. Dia sekarang tahu jika sikap Tuan Baruna yang sangat berbeda pada Tristan memiliki alasan yang cukup membuatnya kecewa.Naren mencoba menghubungi Marissa, dia menelepon wanita itu berulang kali tapi tidak ada jawaban. Naren tak tahu jika Marissa sedang bersama suaminya."Kemana dia? Kenapa tak menjawab telepon?" tanya Naren pada dirinya sendiri.Pria itu kemudian menuju ruangan Tristan. Dia ingin memastikan pria itu sudah berada di ruangannya. Langkah kakinya begitu memburu, dia ingin segera bertemu adiknya itu."Maaf, Tuan. Tuan Tristan tidak ke perusahaan hari ini," kata Laras menginformasikan."Aku juga mencintaimu, Tan. Kamu tidak salah dengar, kok. Tidak perlu merasa bingung," ujar Marissa dan dia berjalan mendekati suaminya.Tristan nampak sangat canggung, dia yakin jika Marissa mendengarnya mengucapkan kata cinta untuk seseorang di seberang ponselnya tadi, hanya saja tak ada yang bisa dia lakukan. Sehingga tak ada reaksi apa pun yang Tristan lakukan saat itu. Dia hanya terdiam tanpa kata seperti tak terjadi apa pun."Kamu mau kemana?" tanya Tristan pada istrinya yang tiba-tiba berjalan ke arah pintu.Marissa menghentikan langkah kakinya, dia tak menyangka suaminya akan menegurnya di saat dia memergoki pria itu mengatakan cinta untuk orang lain. Hanya saja dia harus bersikap seperti orang bodoh yang tak tahu apa pun. Dia tak ingin membuat keadaan terlihat jelas sementara dirinya sendiri masih belum bisa menyingkirkan perasaan gundah gulananya karena memikirkan Naren."Ada sesuatu yang harus aku periksa," jawab Marissa tak beralasan.
Mata Marissa membulat terkejut, dia tak menyangka akan terjadi hal semacam itu. Apalagi Naren tak sadarkan diri, semua orang tahu jika kebanyakan akan berkata jujur saat mereka sedang mabuk. Hal tersebut membuat Marissa merasa tak bisa menjelaskan apa pun. "Dia mabuk berat, jadi mungkin yang dia ingat hanya beberapa jam saja sebelum dia benar-benar tak sadarkan diri. Sebelum pergi, bukankah kita berdua yang dia temui?" jelas Tristan. "Hm," balas Marissa sedikit lega. "Papa," lirih Naren yang sudah membuka matanya. Marissa segera pergi setelah Naren bangun, dia memilih untuk tak menampakkan diri karena takut terjadi hal-hal yang tak dia inginkan. Tristan yang dilewati istrinya segera ikut pergi mengikuti langkah kaki Marissa. Dia turun dan melanjutkan sarapan bersama sang istri. Kejadian semalam tentang telepon itu membuat Tristan merasa harus berhati-hati pada Marissa. Dia juga memendam ketakutan akan hubungannya dengan Naomi. "Kelua
Di sisi lain, Tristan yang sudah terlanjur berjanji pada Naomi melupakan pesan istrinya. Dia yang seharusnya langsung ke perusahaan ternyata memilih untuk berbelok ke rumah Naomi. Hatinya tak bisa dibohongi ketika terus ingin menjumpai wanita simpanannya itu. Saat mobil Tristan masuk halaman rumah, nampak seorang wanita dengan pakaian minumnya berada di depan pintu. Agaknya dia sudah merasa jika Tristan akan datang pagi itu. "Astaga, masuk!" Tristan bicara dengan nada kesal. Dia segera turun dari mobil dan mendorong masuk wanita itu karena pakaiannya yang terlalu terbuka. Sepertinya Naomi masih menggunakan gaun tidurnya yang tipis dan kurang bahan itu untuk menanti Trisan di depan pintu. Hal itu sontak membuat Tristan menjadi kesal dan marah."Kamu bisa memancing satpammu masuk rumah dengan pakaian itu," ujar Tristan. "Biar saja, siapa yang menyuruhmu tak datang kemarin?" protesnya ketus. "Jangankan datang, kamu justru memblokir nomorku," lanju
Naren berhasil mengikat Marissa semakin jauh, hubungan kali itu membuat mereka semakin terjebak dalam hubungan yang tak main-main. Jika semula Naren adalah pria yang begitu Marissa harapkan untuk membuatnya lebih baik, sekarang sudah berbeda. Naren menjadi banyak menuntut dan lebih gila dari awalnya setelah mengenal lebih dalam tubuh wanita itu.Hari berlalu dan segala sesuatu tentang Naren kerap membuat Marissa merasa tertekan. Walau tak bisa dipungkiri jika Naren jauh lebih perhatian daripada Tristan, tapi sikapnya sekarang lebih berbahaya. Naren tak segan melempar kalimat-kalimat yang menjurus ke sebuah kenyataan jika mereka memiliki hubungan walau kadang dia patahkan dengan kata bercanda, tapi hal itu membuat Marissa sering merasa khawatir."Kita dapat undangan makan malam ke rumah paman kalian, datanglah, Papa tidak bisa datang karena ada urusan," ujar Tuan Baruna saat sarapan.
"Kamu diam saja?" tanya Naren karena Marissa terlihat tak bicara sama sekali. "Hm," balasnya singkat. "Kenapa, Rissa. Akhir-akhir ini kamu sepertinya berubah," tanya Naren lagi. "Karena kamu berubah, Naren. Apa ada sesuatu yang kamu rasakan berubah dari dirimu sendiri sebelum menanyakan mengapa aku berubah?" desak Marissa memberanikan diri. Naren memikirkan apa yang adik iparnya itu katakan. Dia mencerna baik-baik kalimat yang dikemukakan Marissa. Jelas Naren tahu arah kalimat itu, karena dia melakukan semuanya dengan sengaja, sehingga tak heran jika sedikit banyak Naren menerima balasan yang sebenarnya tak dia inginkan. "Aku lebih sering kasar dan memaksa, aku juga beberapa kali membuatmu merasa takut berada di sisiku, benarkan?" kata Naren mengakui. "Bukan hanya itu, Naren. Aku semakin tak tahan karena kamu sering mengataka kalimat-kalimat berbahaya saat ada Papa dan Tristan. Kamu membuat beban di hatiku bertambah berat
Pembawaan Sisca sudah cukup membuat Marissa mengerti seperti apa keluarga itu. Dia hanya mengulas senyum dan sesekali menjawab pertanyaan saja, tak banyak yang bisa dia lakukan sekarang, mengingat apa yang terjadi bukan hal yang dia senangi. "Marissa tak makan seafood," kata Naren saat melihat Sisca menawarkan makanan olahan laut pada Marissa. "Wah, kamu ini suaminya atau kakak iparnya? Tahu sekali tentang Marissa," jawab Sisca. "Kita makan semeja hampir setiap hari, bukankah itu saja cukup membuat kita hafal dan tahu apa yang bisa dan tidak bisa dia makan?" sahut Naren. Melihat hal itu, Marissa merasa Naren menunjukkan sikap yang dia inginkan. Biasanya Naren akan cenderung mengungkap sedikit hubungan mereka walau tak secara langsung seperti yang dia lakukan akhir-akhir ini. "Ah, kamu pria yang sangat perhatian," kata Tuan Rudolf. "Paman, bukankah kita keluarga? Setiap hari kita saling berinteraksi, kita bahkan hidup seatap
Naren melajukan mobilnya ke arah lain, mereka tak menuju jalan pulang. Namun, Marissa nampak diam saja karena dia sudah tahu kemana pria itu akan membawanya. Arah jalannya sangat familiar baginya setelah memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Naren. Tak ada yang asing sama sekali, sehingga Marissa tak melakukan protes apa pun."Ayo turun," ajak Naren pada adik iparnya.Marissa juga segera melepas seatbelt-nya dan keluar dari mobil. Sebuah dermaga yang tak jauh dari pusat kota itu adalah tempat favorit mereka berdua. Tempat yang sunyi sepi itu memiliki pemandangan lampu kota yang gemerlap dan juga pemandangan air laut yang indah. Angin malam berhembus cukup intens malam itu. Sehingga gaun yang Marissa gunakan berayun seiring dengan arah hembusan angin."Dingin?" tanya Naren dengan penuh perhatian."Hm, kamu tahu gaun ini terlalu terbuka untuk malam dingin seperti sekarang," ujar Marissa.Nada bicaranya sudah lebih baik, tak terdengar su
"Kalian baru pulang? Apa yang terjadi?" cecar Tuan Baruna saat Marissa dan Naren baru sampai rumah. Mereka berdua saling berpandangan, seolah menunggu salah satu dari keduanya memberikan alasan. Dalam batin merasa ragu karena takut mengeluarkan dia alasan yang berbeda."Maaf, Pa. Kami keasyikan mengobrol," kata Marissa yang serempak dengan alasan Naren yang mengatakan jika mereka mengalami ban bocor. "Astaga, apa ini?" Marissa merasa takut karena mereka mengemukakan dua alasan berbeda. Mereka tak bicara apa pun di jalan karena Marissa yang merasa kesal Naren meninggalkan kissmark di area dadanya. Bahkan saat ini Marissa berusaha menutup bekas itu dengan rambutnya yang dibiarkan terurai ke depan. Tuan Baruna merasa terkejut, alasan keduanya sangat berbeda. Sehingga membuatnya menjadi bingung. "Apa ini? Kenapa alasannya berbeda?" tanyanya tegas sekali lagi. "Pa, kami mengobrol dengan santai sampai lupa waktu setelah makan malam. Kemudian di perja