Terik matahari sudah mulai terasa ditubuh wanita lansia yang sedari tadi asyik berjemur sembari menikmati beberapa potong kentang rebus kesukaannya. Ia meletakkan piring yang sudah kosong itu ke meja yang terletak disampingnya dan beralih mengambil susu hangat yang masih tersisa separuh. Semenjak anak bungsunya menikah dengan Rini, hidupnya benar-benar terurus. Saat sebagian para mertua mengeluh dengan tinggal menantunya yang keterlaluan, Bu Riyati malah bahagia dengan kedatangan Rini dan kedua anaknya ditengah-tengah keluarga mereka. Bagaimana tidak, ia yang biasanya hanya mengandalkan ketiga anaknya yang juga mempunyai kesibukan masing-masing, sekarang bak memiliki perawat khusus yang akan menemaninya dua puluh empat jam.“Bu, masuk dulu, yuk!” ajak Rini sembari mendorong kursi yang Bu Riyati duduki.“Iya, bawa Ibu ke depan televisi ya, Nduk. Ibu mau nonton film india terusan kemarin.”Rini mengangguk sembari tersenyum geli dengan sikap mertuanya yang senang sekali menonton film in
Budi memandang bayi merah yang sedang menggeliat dalam dekapannya. Ia tersenyum sebari mengelus lembut bayi perempuan yang baru berumur sepuluh hari. Budi merasa wajah bayi itu tak asing baginya, bukan mirip ayah atau ibunya, tapi lebih mirip dengan Bagus saat terakhir kali ia tinggalkan.Setelah dirasa sudah tenang, Budi meletakkan bayi itu di atas ranjang kemudian menyelimutinya dan menutupnya dengan kelambu. Pandangan mata Budi beralih pada sosok wanita yang tengah tidur meringkuk disampingnya. Sejak melahirkan, tubuh Ningsih memang sangat lemah. Pendarahan hebat yang dialaminya sebelum persalinan membuatnya harus berjuang lebih keras untuk melahirkan bayi dalam kandungannya. Awalnya Budi sudah pesimis jika keduanya memang bisa bertahan, mengingat Ningsih hanya bersalin di klinik kecil dengan alat sederhana. Tempat tinggal mereka yang berada di tengah hutan, membuatnya sulit membawanya ke rumah sakit. Namun Tuhan berkata lain, dengan perjuangan yang luar biasa akhirnya keduanya bi
Seorang wanita berjalan cepat melewati beberapa deret pintu kamar kos yang ia tempati sembari terus menahan bulir bening yang jatuh dari matanya. Ia membanting pintu kamarnya sangat keras sebelum mengambur ke ranjang untuk melepaskan rasa sesak didadanya. Ia tak peduli dengan suara panggilan dari teman-temannya diluar yang mungkin melihatnya masuk dalam keadaan kacau karena yang diinginkan saat ini hanya menangis hingga puas untuk meluapkan amarahnya.“Aghhh,,, sialan kau janda gatal!” geram Sila sembari terus membenamkan wajahnya ke bantal.Ia benar-benar menyesal pernah bermain-main dan menyia-nyiakan Tanto saat mereka masih menjadi sepasang kekasih. Walaupun berkali-kali ia memohon hingga rela menjadi hanya dekat sebagai teman, nyatanya saat ini Sila telah kalah dengan seorang janda beranak dua yang kini benar-benar menguasai seluruh mantan kekasihnya.Awalnya Sila mengira Tanto hanya menikahi Rini karena terpaksa sebagai pelampiasan atas kandasnya hubungan mereka. Karena pada ken
Budi mendudukkan bayi mungil yang baru saja menginjak hampir tujuh bulan pangkuannya. Badannya sedikit deman karena perjalanan panjang yang baru saja dilaluinya. Terhitung hampir lebih dari seminggu ia dan Budi habiskan dalam perjalanan pulang baik jalur laut ataupun darat. Setelah lama menunggu Budi akhirnya mendapat kesempatan untuk kembali ke rumah. Dengan menumpang perahu pembawa kayu milik kenalannya akhirnya ia sampai di kampung halamannya dua hari yang lalu.Memandang hiruk pikuk kampung yang sudah lama ia tinggalkan membuat Budi kembali mengingat kenangan masa lalunya saat ia masih berkeluarga dengan Rini. Sekelebat bayangan betapa menderitanya hidup Rini dan keluarganya terlintas saat ia melihat rumah yang dulu ia tempati yang sekarang dibiarkan tak terurus.“Mas, sini Rio biar aku yang pegang, katanya mau bersihkan rumah. Enggak enak kalo terus menumpang di rumah Mbak Farida,” ucap Ningsih mengambil alih bayinya.Tanpa menjawab Budi segera beranjak berjalan ke rumah lama ya
“Apa kabar, Rin?” tanya Budi gemetar.“Ba-baik, Mas,” jawab Rini ragu. Sejenak mereka hanya terdiam larut dalam pikiran masing-masing. Kenangan indah juga kejadian buruk yang telah mereka lalui seolah melintas di depan mereka. Kejadian demi kejadian dimulai dari awal bertemu, menjadi sepasang kekasih, menikah hingga kandasnya keluarga mereka seolah di putar kembali.“Boleh aku mau ketemu Ari dan Bagus, Rin?” Suara Budi memecahkan lamunan Rini.“Silakan, Mas. Nanti aku panggilkan. Silakan duduk dulu, Mas.” Rini berbalik meninggalkan Budi dan Bapak di teras.Walaupun ada banyak kata yang telah Rini persiapkan jika bertemu Budi, namun tak ada satupun yang bisa keluar dari mulutnya. Rasa sakit yang selama ini ia pendam untuk dilampiaskan pada lelaki yang telah tega menyakitinya itu perlahan hilang seiring dengan rasa bahagia yang didapatkan dari Tanto. Rini malah ingin berterima kasih pada Budi karena dengan ia selingkuh, kini Rini mendapatkan lelaki yang benar-benar membuatnya bahagia.
“Hay, teman enggak ada akhlak, kamu beneran enggak mau main ke rumahku? Kebangetan banget kamu, ya? Pokoknya hari ini kamu harus ke rumahku, aku udah masak banyak, udah nyiapin jajan juga, kalo kamu enggak datang hari ini, kita putus!”Rini tertawa mendengarkan ocehan Wulan di telepon yang panjang bak kereta api. Awalnya ia menelepon untuk mengabarkan jika ia akan datang hari ini, eh belum sempat ngomong udah kena semprot duluan.“Iya, iya tuan putri, nanti aku ke situ kok. Siapin makanan yang enak-enak, soalnya aku sampai sore di situ,” jawab Rini santai.“Wah, bagus, dong! Kita nanti bisa ke kang mie ayam langganan kiya yang di pasar dulu.”“Iya, iya, ya udah aku siap-siap dulu, ya?” Rini menutup teleponnya.Sejak semalam, Rini memang sudah berniat mengunjungi rumah Wulan hari ini. Ia harus menyempatkan diri berkunjung sebelum kembali ke kota beberapa hari lagi. “Ayok, Rin! Nanti kita kesiangan. Temanku udah nunggu soalnya,” ajak Tanto yang melihat istrinya sudah rapi.“Iya, Mas.”
Sudah hampir satu jam seorang pemuda belasan tahun duduk gelisah di teras rumah bercat biru langit itu. Sesekali ia melirik ke arah jalan, berharap teman perempuan yang ia tunggu segera datang. Tiga hari lagi libur sekolah telah usai, dan ia harus kembali ke kota esok hari.Berulang kali Ari melihat jam di ponselnya. Sudah hampir tengah hari tapi Juwita tak kunjung pulang. Jika saja ini bukan hari terakhirnya di kampung kakeknya, sudah pasti ia memilih pulang dan kembali lagi esok hari. Namun ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menemui teman wanita yang selama ini dirindukannya. Hampir sepuluh hari mudik, ia sama sekali belum menemui Juwita. Bukan tak ingin, tapi ia terlalu malu menampakkan batang hidung di hadapan wanita bergigi kelinci itu.“Cari siapa, ya?” Ari mendongak mendengar suara yang sudah lama ia ingin dengar. Terlalu fokus bermain game membuatnya tak sadar akan kedatangan anak perempuan berjilbab hitam yang baru saja turun dari sepedanya.“Wita...” lirih Ari sembari b
Rini memindai tubuhnya yang semakin melebar di depan cermin. Ia tersenyum melihat perut buncitnya dibalik daster pink bermotif bunga yang ia kenakan. Kehamilannya yang sudah menginjak sembilan bulan membuat semakin payah dalam bergerak yang membuat wajahnya terlihat pucat karena kelelahan. Ia terkadang heran mengapa sering merasa lelah padahal pekerjaannya sehari-hari tak begitu banyak. Rini setiap hari hanya bertugas memasak karena Tanto memperkerjakan orang untuk mencuci dan bersih-bersih rumah yang akan datang dua hari sekali.Pandangan Rini beralih pada jam dinding yang sudah menunjuk angka sebelas. Ia terus mondar-mandir di dalam rumah karena ia sama sekali belum mengantuk. Seharusnya tubuhnya yang lelah membuatnya cepat memejamkan mata, namun semua itu tak bisa Rini lakukan karena suaminya belum pulang. Ini memang bukan pertama kalinya Tanto pulang larut malam, tapi kali ini Rini merasa sedikit khawatir karena suaminya tak membalas pesan juga tak mengangkat teleponnya sejak emp