Ari melajukan motornya di tengah keramaian jalan yang penuh sorot lampu di kanan kirinya. Demi menemui Fira, ia rela keluar malam dan menerobos udara dingin yang begitu menusuk tulang. Ari memarkirkan motornya di tepi jalan, dan bergegas menghampiri wanita berjaket putih yang sedang menunggunya di bangku sebuah taman kota. “Tumben minta ketemu di sini. Ke Cafe aja, yuk! Dingin banget di sini,” ucap Ari setelah menjatuhkan bobotnya di samping wanita itu.“Pengin suasana baru aja.” Fira mengeratkan jaketnya sembari mengamati beberapa pasangan yang berlalu-lalang di sekitar mereka.Ari merasa ada yang aneh dengan sikap Fira malam ini. Wajahnya yang biasanya berbinar saat bertemu, kini terlihat kusut dan terlihat cuek.“Ada masalah apa?” tanya Ari.“Tak ada apa-apa.”“Jujur saja.” Enam tahun lebih menjadi sepasang kekasih, membuat Ari sedikit paham dengan perubahan sikap Fira. Setiap ada masalah, ia tak mau langsung bicara tanpa Ari memaksanya lebih dulu.“Lebih baik mulai saat ini kita
Ari baru saja membuang puntung kelimanya sebelum beranjak ke tempat tidur. Semenjak pagi tak kurang dari dua bungkus rokok habis ia hisap. Baru saja tiga hari Fira tak menghubungi, tapi ia sudah kelimpungan bak kehilangan setengah nyawa. Ari berbaring sambil memandang langit kamarnya, mengingat-ingat semua kenangan yang telah ia lalui bersama Fira. Ia ingat betul saat pertama kali memutuskan mendekati gadis berkaca mata itu, hingga ia terjebak dalam manisnya hubungan yang tak bertujuan.Ari mencoba memejamkan mata, ia ingin segera beristirahat dan sejenak melupakan perkara yang sedang di hadapinya. Ia tak menyangka bisa dibuat lelah jiwa dan raga hanya karena wanita. Gagal tertidur Ari memutuskan turun ke bawah untuk mengambil segelas air.“Kamu belum tidur?” tanya Rini yang membuat Ari terperanjat.“Belum, Ma.”“Mama lihat beberapa hari ini kamu kusut banget. Ada masalah apa? Kamu sama Fira baik-baik aja, kan?”Ari menggeleng lalu duduk dibangku yang terletak persis di samping Rini
Budi terus menatap mobil yang baru saja pergi dari halaman rumahnya hingga menghilang di belokan. Ia beralih melihat benda putih di tangan dan meremasnya perlahan. Dengan tangan gemetar ia menyobek sedikit ujung benda itu yang langsung menampakkan setumpuk uang berwarna merah yang ditaksir lebih dari dua puluh lembar.Sejam yang lalu Ari datang bersama Bagus untuk meminta restu jika ia akan menikah. Sebagai orang tua ia pasti sangat bahagia dan mendoakan untuk kebaikan anaknya. Namun bukan hanya sekedar doa yang anak sulungnya inginkan, ia juga menginginkan kehadirannya juga Ningsih dan Rio untuk datang ke resepsi pernikahannya.Awalnya Budi menolak dengan berbagai alasan, ia malu karena dengan masa lalunya dengan Rini, apalagi sekarang taraf hidupnya jauh di bawah mantan istrinya. Namun Ari terus memaksanya datang dan malah memberinya sejumlah uang untuk ongkos perjalanan, hal itu membuat Budi merasa sangat malu dan tak berguna. Saat orang tua pada umumnya tak segan menghabiskan uang
Suara sound menggema dalam ruangan aula yang biasanya di pakai untuk lapangan olah raga. Dekorasi berwarna dasar putih terbentang indah di depan disertai kelambu dan hiasan bunga yang hampir memenuhi semua sudut ruangan. Kursi-kursi berwarna putih telah di susun rapi di kelilingi beberapa stand makanan yang telah dipersiapkan pihak penyelenggara pernikahan.Hari ini tak kurang dari lima ratus undangan akan datang menghadiri acara yang diselenggarakan Rini dan Tanto. Mereka terdiri dari keluarga besar, tetangga juga teman kerja Ari dan Tanto yang kemarin tak menghadiri resepsi di rumah Fira.“Kamu cantik,” bisik Ari pada Fira yang kini tengah berjalan beriringan menuju pelaminan.Fira melirik pada laki-laki yang baru beberapa hari menjadi suaminya lalu melayangkan senyum menggoda. Fira yang mengenakan gaun panjang berwarna putih serta rambut yang dicepol tinggi memperlihatkan kalung di lehernya juga wajah bermake up natural tanpa kacamata membuatnya terlihat sangat anggun. Sedangkan A
“Mama, kakak kapan pulang?”Sebuah pertanyaan yang setiap hari tak pernah absen keluar dari mulut Rafif. Semenjak Bagus kuliah, memang hanya dia sendiri yang kini tinggal di rumah bersama Rini dan Tanto. Meski mamanya telah menyertakan Rafif pada berbagai kegiatan ekstrakurikuler agar mempunyai banyak aktivitas, namun tetap saja setiap berada di rumah anak itu akan merasa kesepian. Meski Bagus diterima di perguruan tinggi yang hanya berjarak dua jam dari rumah, namun tak membuat anak itu sering pulang ke rumah dan hanya akan pulang paling cepat dua minggu sekali bahkan pernah sebulan sekali. Hal itu dikarenakan ia mengikuti banyak kegiatan di kampus termasuk olahraga futsal yang mengharuskan ia mengikuti pertandingan atau latihan di akhir pekan.Yang menjadi obat rindu satu-satunya untuk Rafif adalah kedatangan kakak pertamanya yang selalu berkunjung setiap sabtu sore. Biasanya selepas menjemput Fira pulang kerja, Ari selalu menyempatkan diri untuk mampir walau hanya beberapa jam.“M
“Masih mikirin Bagus?” tanya Tanto seraya duduk di samping Rini.Setelah makan malam, biasanya mereka berkumpul di ruang keluarga bersama Rafif untuk mengobrol atau sekedar menonton televisi, namun kali ini Rini memilih untuk masuk ke dalam kamar karena merasa sedikit tak enak badan. Alhasil Tanto terpaksa menyusulnya dan membiarkan Rafif bermain ponsel sendirian di sana. Jurus pamungkas agar anak itu tak selalu berteriak saat merasa sepi di rumah.Rini hanya menganggukkan kepala, setelah mendengar pengakuan anaknya tempo hari, hari-harinya dipenuhi perasaan tak tenang. Ia begitu takut anaknya terus dihantui rasa takut akibat masa lalu. Tak hanya masalah Bagus, Rini juga memikirkan perihal rencana Ari dalam menunda memiliki anak. Ia takut keputusan anak sulungnya itu juga didasari ketakutan akan permasalahan yang bisa saja menimpa keluarga mereka. “Ini semua salahku, Mas,” gumam Rini.“Tak ada yang salah dalam hal ini, semua sudah takdir.” Tanto membawa Rini ke pelukannya. Ia tahu k
Pertandingan baru saja selesai beberapa saat yang lalu dengan hasil yang cukup memuaskan. Meski hanya unggul dua gol, namun Bagus merasa lega karena timnya bisa melaju ke babak selanjutnya.“Aku pulang dulu, ya!” Bagus berpamitan pada semua temannya yang masih mengobrol di parkiran.Bagus segera menutup kaca helmnya dan bersiap menyalakan motor besar selalu menemani hari-harinya yang tak lain adalah motor bekas milik kakaknya. Meski beberapa kali Ayahnya menawari untuk membeli motor baru, namun ia selalu menolaknya karena tak mau terus membebani Ayah sambungnya. Ia bahkan sudah sangat bersyukur bisa berkuliah, sebuah hal yang mustahil baginya jika mamanya tak menikah lagi dengan Ayahnya saat ini.“Bagus selamat, ya!” Bagus menunda menyalakan motonya saat Andin tiba-tiba berdiri di hadapannya. Seperti biasa gadis itu berpenampilan cantik dan selalu mengumbar senyum manis di hadapannya.“Terima kasih, tapi lain kali enggak usah teriak-teriak bisa, enggak? Malu-maluin tahu!” jawab Bagus
Semua keluarga kini tengah berkumpul untuk memastikan kondisi Rini. Ari dan Bagus sengaja pulang untuk memastikan mereka akan mempunyai adik lagi atau tidak. Dengan wajah was-was, Tanto beserta ketiga anak Rini kini duduk berjajar sembari menunggu Rini yang tengah melakukan tes kehamilan bersama Fira.Ari dan Bagus sedikit frustasi setelah Tanto mengabari jika mama mereka mual-mual dan kemungkinan tengah berbadan dua. Tanpa diperintah, keduanya segera datang dan meminta Rini melakukan tes kehamilan. Bahkan Fira yang kondisinya sedang lemah, memaksa ikut karena penasaran dengan kondisi mertuanya.“Asyik, aku mau punya adik!” teriak Rafif yang sudah lama menantikan hadirnya seseorang yang bisa menemaninya di rumah.“Ayah masih tokcer juga,” sindir Ari yang sebenarnya tak ingin lagi memiliki adik.“Ya, mau bagaimana lagi,” jawab Tanto enteng.Dari ketiganya, Baguslah yang paling menampakkan wajah tenang. Baginya punya adik sekaligus keponakan akan membuat keluarganya semakin ramai.“Gima