“Ini suratnya!” seru Carissa berbinar. Zavier yang penasaran mendekat ke arah Carissa. “Ini surat berisi keluargamu, kan?” tanya Zavier yang langsung diangguki oleh Carissa. “Heem, setelah ini aku pasti akan mendapat petunjuknya.” Carissa tersenyum dalam menatap Zavier, lantas perempuan itu membuka surat tersebut. Yang ia butuhkan adalah nama alamat, bukan yang lain. Zavier yang berada di dekat Carissa ikut penasaran. Menatap surat putih yang kini terbuka lebar saat Carissa membukanya. Rumah Singgah. Jl. Tegal Barat- Jakarta pusat. Kening Carissa mengernyit saat alamat itu tertera di sana. Alamat yang tidak ia kenal membuat otaknya dibuat berpikir. “Rumah singgah?” gumam Zavier merasa tak asing dengan nama itu. “Kau tau tempatnya?” Carissa melihat raut Zavier yang tak biasa. Pria itu tampak mengetahui sesuatu. “Aku merasa nama ini tak asing, tapi … aku lupa di mana,” ucap Zavier. Pria itu lantas mengambil alih surat putih yang sebelumnya ada ditangan Carissa. Zavier membaca k
“Zav! Emph!”“Diamlah! Kita sedang ditatap oleh banyak orang,” ucap Zavier membisik di telinga Carissa. Perempuan itu melirik. Benar. Yang dikatakan Zavier benar bahwa sekarang keduanya tengah menjadi pusat perhatian. “Emmh!” Karena mulut Carissa yang masih setia ditutup membuat Carissa menarik tangan Zavier. “gak di tutup juga kali, susah napas nih,” ucap Carissa sedikit cemberut. Zavier terkekeh kecil, “pakai ini,” ucap Zavier seraya menyodorkan sebuah masker dan kacamata.Kening Carissa menngeryit. “Untuk apa?”“Untuk kamu gunakan lah. Kau tau, Alan akan mengikuti kita kalau dia melihat kita.”Carissa bergeming, benar juga. Dengan sigap perempuan itu mengambil masker serta kacamata, memakainya lantas bersedekap dada. “Udah cocok jadi mafia gak?” Pertanyaan Carissa mengundang gelak tawa Zavier. Pria itu tertawa cukup keras. Namun sedetik berikutnya Zavier mengacak rambut atas Carissa. “Udah cocok jadi mafia kok,” ucapnya berhasil membuat Carissa melebarkan pupil matanya. Buka
Sebuah bangunan bercat putih terlihat tinggi dari kejauhan. Bangunan itu terlihat sedikit kuno dan ... tidak terawat. "Zav, beneran ini tempatnya?" tanya Carissa was-was. Ya, pasalnya tempatnya itu berada jauh dari kota, untuk sampai ke sini saja Carissa dan Zavier harus naik delman. Jalan menuju alamat yang ditujukan Zavier memang mengarah ke sini. Hanya saja anehnya kenapa tempat ini begitu jauh dari mana-mana? "Bener ini kok, kan tadi sama Kang delmannya dibilangin, ini memang menuju alamat itu Risa," ujar Zavier mengingatkan. Benar juga. Carissa teringat akan hal itu. "Daripada terus dihantui penasaran lebih baik secepatnya kita ke sana," ujar Zavier membuat Carissa mengangguk. Keduanya berjalan beriringan, hari sudah semakin siang membuat teriak matahari di atas sana menyengat menimbulkan peluh keringat di kening Carissa. Suara burung terdengar nyaring diantara pepohonan pinus yang ada. Ya, di sepanjang jalan ini begitu dipenuhi berbagai pohon pinus, besar dan menjulang ti
Mendadak suasana menjadi mencengkam, semilir angin dingin menusuk sampai ke tulang,melewati Zavier yang diam membeku. Tak kalah dengan Carissa sendiri, ia memegang erat lengan Zavier. “Lebih baik kalian pergi dari sini. Ini bukan tempat kalian,” ucap si kakek terlihat risih akan kedatangan orang asing. “Tadi kau bilang ingin mencari Ibu kalian kan? Sayang sekali, mungkin salah satu keluarga kalian menjadi korban dari kejadian masalalu itu. Jika tidak ingin jadi korban juga, maka cepat minggat dari sini!”Zavier masih dalam keterdiaman, ia membisik kecil pada telinga Carissa. “Lebih baik kita turuti saja ucapan Kakek itu, jika tidak kita akan menjadi korban selanjutnya,” ujar Zavier. Jujur saja, Zavier masih ingin hidup, ia tak ingin mati. Apalagi mati mengenaskan dengan cara tak lazim. “Tapi … aku butuh jawabannya Zav. Aku perlu tau pembenaran.”“Kakek itu sudah memberitahukan, kan? Kalau rumah singgah ini sudah tak berpenghuni? 15 tahun, Rissa, itu bukan waktu yang sedikit.”“Tap
“K--kau … putrinya Aylin!”Baik Zavier maupun Carissa keduanya dibuat terkejut. Apalagi untuk Zavier, laki-laki itu merasa tak asing dengan nama Aylin. “Ma? Mama mau ajak Zavier ke mana?” tanya Zavier kecil. Ia menggenggam erat tangan Winda.“Mama mau ajak kamu kenalan sama anak-anak yang lain. Kamu gak punya banyak teman kan? Pasti kesepian, jadi Mama mau kenalin kamu ke suatu tempat.”Zavier kecil tersenyum binar. “Papa gak pernah izinin Zavier kenal dengan siapapun. Tapi Mama baik banget, Mama izinin Zavier buat kenal dengan orang lain, mencari teman dan berteman dengan mereka, “ ucap Zavier membuat Winda mengulas senyum. Hari ini Winda sengaja mengajak Zavier. Pasalnya ia diizinkan oleh Zayn untuk menghabiskan waktu dengan anaknya ini, hanya sehari setelahnya ia tidak diperbolehkan untuk mengajak main Zavier. Dan inilah kesempatan itu. Winda mengajak Zavier ke sebuah tempat yang tak lain panti asuhan. Sebuah plang besar bernamakan ‘Rumah singgah’ tertera di pintu gerbang utama
“Maksud kakek apa, aku tidak mengerti?” Dahi Carissa mengernyit. “Ikutlah denganku!” ucap Kakek tersebut kemudian menarik lengan Carissa. Saat hendak ditarik Zavier menarik pula lengan Carissa. “Aku ikut!” ujar Zavier penuh penegasan. “Tidak!” Si kakek menjawab dengan tegas pula. “kau tidak ada urusannya dengan kami, lebih baik kamu pergi,” usirnya. . Zavier tampak geram. “aku bodyguardnya! Sebuah kewajiban untukku dalam menjaga keselamatan Carissa!” Mendengar penuturan tersebut Carissa menoleh, mata perempuan itu melebar. Bodyguard? “Zav?”“Jika kau tidak mengizinkanku untuk ikut, maka aku pula tidak mengizinkanmu untuk membawa pergi Carissa!” Zavier masih dalam mode tegas, menatap Kakek tua tersebut dengan kesal. Tak peduli pada siapa ia berbicara, yang terpenting ia harus mengetahui semua maksud ini. Clara? Aylin? Nama itu samar masuk dalam pikirannya, membuat Zavier yakin bahwa ada sangkut pautannya Carissa dengan masalalu yang sempat ia temui. “Kek, tolong izinkan dia untu
“Baiklah, dengarkan ini!” Mendadak ruangan itu terdiam sunyi, tak ada suara, bahkan napas pun terasa ditahan saja. “Sebenarnya … aku tidak akan memberitahukannya selain pada Clara sendiri!” Sudah lama terdiam, serius, dan yang keluar dibibir Erwin hanha kalimat itu? “Kau mengusirku dengan cara halus, heh?” Zavier bersuara. Entah kenapa ia jadi kesal, benar-benar kesal pada sosok pria di hadapannya ini. “Bukan hanya mengusir, tapi kau memang tidak diperlukan untuk kami,” jawab Erwin enteng. Zavier mengepalkan tangannya, saat hendak mengangkat tangan untuk membalas perlakuan Erwin, tangan itu langsung dihentikan oleh Carissa. “Tolong untuk tidak berantem,” ucap Carissa menatap Zavier. Perempuan itu menenangkan Zavier dengan cara mengenggam tangannya. “Tidak usah sungkan, Kak. Katakan saja, Zavier … Zavier pria yang baik. Dia yang sudah menolongku untuk sampai ke sini. Jika bukan karena dia, mungkin aku tidak akan bisa bertemu denganmu ataupun mengetahui kebenaran ini.” Ucapan Ca
Sudah 30 menit berlalu, tapi Carissa belum juga keluar membuat Zavier yang terduduk diam merasakan resah. Beberapa kali Zavier melirik ke arah di mana tadi Carissa pergi dengan Erwin, berharap Carissa segera hadir dan menemuinya. Namun tak urung, Carissa masih tak menunjukkan batang hidungnya. “Ck! Ke mana mereka? Kenapa mereka belum juga ke sini?” ucap Zavier resah. “apa jangan-jangan Erwin menculik Carissa?” Pikiran Zavier berkecamuk akan keadaan Carissa, mengenai hal buruk pun ia pikirkan. “Tidak, tidak mungkin. Risa pasti baik-baik saja.” Zavier menggelengkan kepalanya, menolak keras pikirannya yang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Zavier berdiri dari tempatnya, berjalan ke tempat yang Erwin dan Carissa masuk. Sebuah tempat yang dibatasi sebuah tembok besar, terdapat pintu di tengah-tengah hanya saja Zavier tidak tau cara membuka pintu tersebut. Dicoba pun tidak bisaa, pasalnya pintu tersebut tidak ada knop ataupun gagang pintu. Pintu berbahan kayu itu hanya tergambar polos s