Share

SERPENTE CRUZADA
SERPENTE CRUZADA
Author: RAJJA-M

BAB-(1)

RIO DE JANEIRO, BRAZIL.

Malam itu, hujan turun deras membasahi jalan-jalan sempit di pusat Kota Rio De Janeiro. Lampu-lampu neon yang berkedip-kedip menambah nuansa suram yang menyelimuti gang-gang belakang, tempat di mana bayang-bayang lebih panjang daripada siang hari.

Di salah satu sudut tersembunyi, sebuah klub malam yang ramai berdiri megah, menjadi jantung kehidupan malam yang gemerlap sekaligus sarang bagi mereka yang menjalani kehidupan di bawah bayangan hukum.

Di dalam klub tersebut, dentuman musik yang memekakkan telinga menyatu dengan tawa dan suara obrolan. Namun, di sebuah ruangan VIP yang eksklusif, situasi berbeda terjadi.

Diam-diam di bawah cahaya redup, seorang pria berwajah tegas dengan mata tajam duduk dengan penuh wibawa. Jhon Pierre Mancini, nama yang diucapkan dengan bisikan penuh hormat dan ketakutan, memandang sekeliling dengan tatapan yang bisa membekukan darah.

Di seberangnya, seorang pemuda berusia 19 tahun dengan tangan gemetar berusaha menenangkan diri. “Tolong, Tuan, beri aku satu kesempatan lagi,” suaranya nyaris tertelan oleh kebisingan sekitar.

Jhon Pierre tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah mencapai matanya. “Kesempatan kedua adalah barang mahal di dunia ini. Apa yang membuatmu berpikir bahwa kau layak mendapatkannya?”

Sebelum pemuda itu sempat menjawab, pintu ruangan VIP terbuka dengan keras, memperlihatkan dua pria berpenampilan anggun. Alberto Castillo dan Fabbro Martins, sahabat Jhon, memasuki ruangan. Mereka melangkah dengan penuh percaya diri.

"Jhon!" sapa Alberto dengan nada rendah namun akrab, "apakah kami mengganggu sesuatu?"

Jhon Pierre mengangguk sambil tersenyum tipis. "Tidak, duduklah."

Fabbro Pierre duduk di sebelah Alberto, menatap pemuda yang gemetar di hadapan Jhon Pierre. "Kakak sepupu, siapa teman kita yang satu ini?" tanyanya dengan nada mengejek.

"Seorang anak muda yang mencari kesempatan kedua," jawab Jhon asal sambil memandang pemuda itu dengan tajam. "Tapi dia belum memberi aku alasan yang cukup kuat."

Fabbro tersenyum sambil mengeluarkan sebatang nikotin dari sakunya. "Di mana Mattiro? Apa dia belum datang?”

"Jangan mencarinya. Polisi kebanggaan kita itu pasti sedang sibuk, sibuk mengurus kejahatan," kata Alberto sambil terkekeh. Ia meraih korek api logam milik Fabbro, membakarnya dengan gerakan santai sebelum menyalakan nikotin yang sudah terselip di bibirnya.

Mendengar itu, beberapa orang di dalam ruangan tertawa.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, dan seorang pria berusia awal 40-an masuk dengan senyum lebar. Ramon Sanchez, pemilik klub. "Salam untuk Tuan Jhon," sapanya.

Jhon mengangguk kecil membalas sapaan Ramon, lalu kembali menyesap vodka miliknya.

"Di sini bukan hanya Jhon, Ramon. Ada beberapa pria tampan lain di sini. bagaimana bisa kau tidak menyapa kami?" goda Fabbro.

"Ah, maaf untuk semuanya, salam," kata Ramon.

Semua pria itu tertawa, terkecuali Jhon, yang hanya tersenyum tipis.

"Jadi, Ramon, gadis seperti apa yang kau bawakan untuk kami malam ini? Aku tidak sabar ingin melihat mereka," tanya Fabbro.

"Tenang saja, Tuan Fabbro. Kali ini gadis-gadis dari Timur Tengah, mereka semua sangat manis, kalian pasti akan suka," jawab Ramon. Lalu, ia menghubungi adik perempuannya untuk membawa gadis-gadis tersebut ke ruangan.

Setelah 2 menit, pintu ruangan terbuka lagi. Gadis dewasa yang cantik dengan balutan pakaian seksi memasuki ruangan, diikuti oleh beberapa gadis muda yang segar, sambil membawa nampan yang berisikan minuman alkohol cachaça.

"Calista, kau sangat seksi malam ini." Goda Fabbro sambil mengedipkan satu matanya.

Calista tersenyum. "Terima kasih atas pujianmu, Tuan Fabbro, tapi kau tahu bukan, saya tidak akan melayani Anda?"

Fabbro tertawa geli, lalu menghembuskan sisa asap dari mulutnya. "Dasar anjing liar! Kau begitu penurut pada tuanmu. Aku ini sepupu kandungnya, dia tidak akan marah, jadi tenang saja. Bukan begitu, Jhon?"

"Yah, kenapa tidak?" jawab Jhon.

"Kau dengar sendiri, bukan? Tuanmu mengizinkanku."

"Yah, boleh saja. Lagi pula, aku memiliki penyuntik terbaru yang bisa membuat malam Tuan Fabbro jauh lebih menegangkan," kata Calista tajam, tetapi tidak menghilangkan gaya senyum centilnya.

Mendengar itu, semua orang tertawa, lalu mengejek Fabbro. "Oh, Fabbro, kasian sekali dirimu, lagi-lagi kau ditolaknya."

"Yah, aku sangat kasihan. Nona Calista begitu kejam, dia ingin menyuntikku dengan benda kematiannya. Bagaimana ini, Alberto?" adu Fabbro pura-pura.

"Yah, sedih sekali, Nona Calista. Jika kau tidak ingin dengan sahabatku ini, bisakah kau menyingkir dan membiarkan kami melihat para gadis-gadis muda milikmu?" ucap Alberto.

Calista menyeringai. "Tentu saja, Tuan Alberto." Lalu, dia menyingkir dan membiarkan gadis-gadis tersebut maju. "Gadis-gadisku, antar minuman cachaça itu pada Tuan Muda. Mereka tidak sabar ingin mencicipi rasanya."

Saat Calista selesai berbicara, Jhon bangkit dari sofanya. "Aku pergi dulu."

"Ingin pergi ke mana, Tuan Jhon?" tanya Ramon, "tidak ingin bermain-main dulu?" lanjutnya.

"Tentu, aku ingin bermain juga," jawab Jhon dengan suara rendah, matanya menyorot dua anak buahnya yang berdiri tegap di dekat pintu. Dengan isyarat ringan, dia menyuruh mereka membawa anak muda tersebut. Langkahnya mantap saat dia melangkah keluar dari ruangan yang dipenuhi dengan aroma rokok dan cahaya neon yang redup.

Saat Jhon melangkah keluar, gadis-gadis muda itu menyingkir dari depan pintu dan dengan gugup melirik Jhon yang begitu gagah seperti wujud dewa ketampanan. Mereka semua menelan air liur dengan susah payah. Cuma sedikit melirik saja badan mereka sudah dibuat bergetar. Bahkan nampan yang mereka pegang pun ikut bergetar.

Di luar pintu beberapa pria tegap berpakaian hitam dengan wajah serius mengikuti langkahnya, memantulkan bayangan-bayangan gelap di dinding-dinding terawat klub malam tersebut.

"Kita akan pergi ke mana, Tuan?" tanya Alex, tangan kanan Jhon.

“Sedikit bermain-main dengan anak muda,” jawab Jhon dingin, tatapannya tetap lurus ke depan.

Alex melirik pria muda yang dipegang erat oleh dua anak buahnya. Pria itu memberontak, memohon untuk dilepaskan, tetapi cengkeraman mereka terlalu kuat.

Mata Alex mengamati pergerakan gelisah pria muda itu, ekspresi takut dan marah yang bergantian menghiasi wajahnya. Alex memahami dengan sempurna apa yang diinginkan oleh tuannya.

‘Ini bukan pertama kalinya aku menyaksikan pemandangan seperti ini. Mungkin Jaguar di kandang sedang lapar,’ pikirnya.

Di dalam ruangan orang-orang melihat Jhon dengan beberapa anak buahnya berjalan pergi, bersamaan dengan pintu ruangan yang pelan-pelan mulai tertutup.

"Anak muda yang malang," gumam Alberto pelan. mereka mulai melanjutkan hal yang sudah tertunda tadi.

****

Suuuuuu, plak!

"Ah, apa itu?" Sora melirik ke samping, terkejut mendapati mobil mewah hitam Jaguar XJ yang sedang melintas tiba-tiba berhenti mendadak. Suara rem mendecit diikuti oleh mobil Jeep Wrangler di belakangnya, yang juga ikut mengerem keras, menciptakan kekacauan di jalan yang biasanya ramai.

Sora membola matanya, rasa panik mulai merayap. Ini semua ulahnya. Dalam amarah yang meluap setelah diputuskan sepihak oleh kekasihnya, dia melempar sepatu flatnya tanpa berpikir panjang, tepat ke dalam jendela penumpang mobil Jaguar itu.

Sebuah suara geraman halus terdengar dari dalam mobil Jaguar XJ, memicu detak jantung Sora yang semakin cepat. Tiba-tiba, dorongan untuk melarikan diri menyergapnya. Namun, kakinya terasa berat, seolah ditempel kuat-kuat oleh lem ke aspal yang basah.

Dengan susah payah, dia menelan ludah, matanya terbelalak saat melihat dua pria berpostur tinggi dan tegap keluar dari mobil Jeep Wrangler, berjalan mendekat dengan langkah pasti.

Sora mundur sedikit, mencoba menenangkan diri. "Eh, eh, jangan mendekat, jika tidak, aku akan berteriak!"

Suara hujan semakin deras terdengar, menambah intensitas ketegangan di udara. Jalanan yang biasanya ramai kini entah mengapa menjadi sunyi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status