Share

BAB-(4)

Sore hari di pemakaman São João Batista, dedaunan kering beterbangan dihembus angin, sementara suara gagak yang singgah di pohon tua menjulang tinggi mengisi keheningan. Seorang pria berbalut jas hitam berdiri menghadap batu nisan, sebotol minuman alkohol tergenggam erat di tangannya.

"Aku membawa anggur merah kesukaanmu hari ini, mau minum denganku, Dimitri?" Jhon bertanya, suaranya parau. Kenangan masa lalu berkelebat di benaknya, membawa dia kembali ke usia 15 tahun.

•FLASHBACK•

Jhon muda, seorang yang penurut, sering menjadi sasaran pukulan kakak kandungnya, Marcus. Ketika ia mengadu kepada ayahnya, bukannya mendapat perlindungan, ia justru mendapat amarah dan pukulan tambahan.

Hanya ibunya yang selalu membelanya, meskipun ia sendiri sering disiksa oleh ayahnya. Jhon sering menyaksikan ayahnya berselingkuh, bahkan di depan mata ibunya. Ketidakberdayaannya membuat dia terus berusaha mencari cara agar ayahnya menyayanginya seperti menyayangi kakak laki-lakinya.

Saat kesedihan menghampiri, Jhon biasanya pergi ke pohon tua di belakang rumahnya, tempat ia bisa menangis sepuasnya.

Suatu hari, di tengah kesedihannya, ia mendengar suara yang tidak asing di sampingnya. "Mengapa anak laki-laki ini menangis? Dasar cengeng!" Suara bas itu mengejutkan Jhon. Ia mengangkat kepalanya dan melihat seorang pria dewasa dengan sebotol anggur merah di tangannya.

"Kak Dimitri. Dari mana saja kau? Kapan kau tiba?" tanya Jhon.

Pria itu tersenyum dan mendekati Jhon, lalu duduk di sampingnya. "Baru saja. Kau mau minum denganku?"

Jhon terdiam sejenak, menatap Dimitri. "Tapi aku belum berusia 19 tahun," katanya ragu.

Mendengar itu, Dimitri tertawa lepas hingga terlihat gigi gerahamnya. "Jhon, terkadang mencoba sesuatu tidak perlu menunggu waktu yang tepat. Maju satu langkah di depan akan jauh lebih bagus. Ambil ini dan cobalah." Dimitri menyodorkan segelas anggur merah kepada Jhon.

Dengan ragu-ragu, Jhon menerima gelas itu dan memandang cairan merah muda keunguan, lalu meneguknya. Rasanya pahit dan aneh di lidahnya.

"Bagaimana rasanya?" tanya Dimitri setelah ia juga meneguk alkohol langsung dari botolnya.

"Rasanya aneh, sedikit pahit," jawab Jhon jujur.

"Yah, karena anggur ini mengandung tannin di dalamnya, tapi lama-lama kau akan suka dengan rasa itu. Jadi, kenapa kau menangis?" tanya Dimitri lagi.

"Aku melihat ibu meminum obatnya lagi, aku sangat sedih," jawab Jhon, suaranya bergetar.

"Jadi sebagai seorang anak, apa yang kau lakukan?" tanya Dimitri, menatap Jhon dengan tajam.

Jhon terdiam, bingung harus menjawab apa. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Dimitri mengangguk-angguk. "Apa kau menyayangi Ibu?"

"Tentu saja," jawab Jhon tegas.

Dimitri meneguk lagi alkoholnya, lalu berkata dengan nada serius, "Jika kau menyayanginya, singkirkan orang-orang yang menyakitinya." Setelah mengatakan itu, Dimitri bangkit dan mulai berjalan pergi.

Melihat itu, Jhon dengan cepat ikut berdiri. "Kak Dimitri, mau pergi ke mana?"

"Masuklah ke rumah, sebentar lagi akan turun hujan. Nanti aku akan menemuimu lagi, tapi tidak dengan keadaan dengan mata yang bengkak. Titip salamku pada Ibu," jawab Dimitri tanpa menoleh, terus melanjutkan jalannya.

Ponsel milik Jhon tiba-tiba berdering membuyarkan kenangan itu, dan Jhon kembali ke kenyataan saat ini, di mana angin dingin menyentuh pipinya. Jhon mengambil ponsel tersebut dan mengangkatnya. "Ada apa, Alex?" tanya Jhon.

"Tuan Marcello dari Brasilia ingin bertemu dengan Anda, Tuan. Mereka telah menunggu di Garota De Ipanema, restoran tua di tepi laut," jawab Alex di seberang ponsel.

"Yah, kau pergi dulu ke sana, aku akan menyusul. Jika tidak ingin menunggu, suruh mereka pulang saja," kata Jhon sebelum memutuskan panggilan.

Jhon memasukkan ponselnya ke dalam saku, kemudian menatap batu nisan di hadapannya beberapa detik sebelum menaruh botol alkohol di atasnya. Dia merapikan jas, lalu mulai berbalik badan dan berjalan pergi. Setelah beberapa langkah, tiba-tiba ada yang menghentikannya.

"Tuan, dompet Anda terjatuh."

Jhon berhenti dan berbalik. Seorang gadis muda, dengan rambut yang diikat ekor kuda, kulitnya putih bersih, dan mata yang sangat cantik, tersenyum sambil menyodorkan dompetnya.

"Terima kasih," kata Jhon, dua kata yang paling sulit dan hampir sudah sangat lama tidak ia ucapkan, sambil mengambil dompetnya. Dia menyelipkan dompet itu kembali ke saku jasnya.

"Yah, lain kali berhati-hati," jawab gadis itu, lalu pergi meninggalkan Jhon di sana.

"Gadis ini," gumam Jhon, melihat punggung gadis itu yang semakin menjauh.

Dia berdiri sejenak, menyipitkan kedua matanya seolah sedang memikirkan sesuatu, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya menuju mobil.

Sesampainya di mobil, Jhon menghela napas panjang dan menghidupkan mesin. Dengan pandangan yang fokus, dia melajukan mobilnya menuju restoran tua di tepi laut.

****

Sora berjalan dengan setangkai bunga mawar putih di tangannya, langkahnya tenang melewati beberapa kuburan tua yang tampak sunyi di bawah naungan pohon-pohon besar.

Setelah beberapa saat, ia berhenti di depan batu nisan yang dicarinya. Dengan hati-hati, ia mendekat dan menaruh setangkai bunga mawar itu di atas nisan yang sederhana, tapi terawat.

"Bu, kita berjumpa lagi. Maaf baru menemuimu lagi," kata Sora sambil tersenyum manis. "Aku ke sini ingin mengatakan padamu bahwa aku sudah diterima bekerja sebagai perawat di rumah sakit swasta. Kata Nenek, Ibu dulu seorang perawat, yah? jadi apa Ibu senang aku memiliki pekerjaan yang sama dengan Ibu?" tanyanya lembut, tapi tak ada jawaban di sana, hanya suara burung gagak yang sesekali terdengar di kejauhan.

Sora terdiam, menatap nisan itu dengan tatapan mendalam. Pikirannya tiba-tiba terlintas pada pria yang baru saja ia temui. Entah mengapa, dia merasa seperti pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya, terutama saat melihat matanya yang terasa sangat tidak asing.

Sora menggelengkan kepala dan memijat pelan pelipisnya. "Ah, ada apa denganku? Buat apa juga kupikirkan? Sudahlah, aku harus kembali ke rumah sakit," gumamnya pada diri sendiri. Ia kembali menatap batu nisan itu dan berkata, "Bu, aku pergi dulu, nanti aku akan datang lagi. Apa Ibu ingin bunga krisan untuk kubawa nanti? Umm ... menurut Ibu, warna apa yang bagus? Bagaimana dengan warna kuning dan merah muda? Baiklah, nanti aku akan membawanya untuk Ibu. Sampai jumpa."

Dengan langkah ringan, Sora berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan nisan itu dengan perasaan lega dan berjanji untuk kembali.

****

Mobil milik Jhon berhenti dengan halus di depan restoran tua di tepi laut. Suara deburan ombak dan aroma asin laut menambah kesan nostalgia tempat itu. Jhon melangkah keluar, udara sore yang dingin menyambutnya. Di pintu masuk, Alex sudah menunggu.

Mereka berjalan beriringan menuju ruangan VIP restoran. Setibanya di depan pintu, beberapa pengawal tuan Marcello menatap Jhon dengan pandangan mengintimidasi. Namun, Jhon tidak menunjukkan tanda-tanda gentar. Dengan dingin dan tenang, dia melangkah masuk ke dalam ruangan.

Di dalam, suasana terasa tegang. Marcello, pria berwajah keras dengan senyum yang tampak dipaksakan, berdiri menyambut. "Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga, lama tidak berjumpa, Jhon," ucap Marcello sambil mengulurkan tangannya.

Jhon hanya menatapnya dingin. Tanpa membalas salam itu, dia berjalan menuju sofa di seberang Tuan Marcello. Dengan gerakan santai, tapi penuh keangkuhan, Jhon duduk, menyilangkan kaki dan bersandar.

Dia mengambil sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya dengan korek api milik Marcello yang tergeletak di atas meja. Asap tipis mulai mengepul ketika rokok itu berada di sela bibirnya dan dihisap dalam-dalam.

Marcello hanya tersenyum melihat itu. Dia sudah menduga Jhon akan bersikap seperti ini. Marties kemudian kembali duduk di sofa berwarna cokelat, seolah-olah tidak ada yang terjadi, sementara ketegangan di udara semakin terasa. Ketiga pria itu duduk saling berhadapan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status