"Sebenarnya ada acara apa, sih, Om? Kok aku harus berpakaian seperti ini? Apakah acaranya resmi?" Rentetan pertanyaan itu aku ajukan karena merasa heran ketika Om Do memintaku memakai gaun resmi untuk datang ke rumah Tante Renita. Gaun yang sudah ia siapkan lengkap dengan kerudung, tas dan sepatunya."Jangan bawel, sebaiknya kamu menurut saja! Kamu itu, kalau tidak protes memangnya enggak bisa ya?" sahut pria yang masih sibuk memasang dasi itu. Malam ini Om Do memang terlihat berbeda dari biasanya, aku tadi sempat menatapnya untuk beberapa saat karena heran."Penasaran saja, Om. Aku 'kan pengen tahu," ucapku sambil membetulkan tatanan kerudung. Gaun warna peach yang kupakai malam ini terlihat begitu mewah sementara kerudung senada yang kupakai, kata Om Do ujung kerudungnya tidak boleh dililit ke belakang, tapi harus menutupi dada."Rasa ingin tahu kamu itu memang berlebihan, La. Tapi kamu sendiri ceroboh.""Loh,kok, jadi Lala yang dikomentari?""Aku berbicara fakta.""Om, kita mau per
"Katakan," ucapku lirih."Katakan apa?" tanyanya setengah berbisik."Katakan apa hadiahnya?" Aku menyahut sambil terus menunduk menatap pekerjaanku. Bisikannya barusan sukses membuat aku didera rasa canggung yang berlebihan."Tidak ada hadiah yang paling indah bagi seorang istri yang melayani suaminya dengan sepenuh hati dalam keridhaan. Dan itu bukan dalam hal memasangkan dasi saja, juga termasuk pekerjaan lainnya. Hadiahnya itu adalah surga.""Maksud Om?" Aku memberanikan diri menatap wajahnya sekilas. Entah kenapa tiba-tiba aku seperti merasakan gemuruh yang berbeda dalam dadaku."Seorang istri itu bukan pembantu, tapi ketika dia melayani suaminya tanpa diminta dengan ikhlas, dia akan mendapatkan surga sebagai balasannya. Selain itu, dia akan makin disayang suaminya, dan sudah pasti si suami akan ridho.""Tapi sayangnya aku tidak mencintai Om. Bagaimana aku bisa melakukan semua itu?" Aku mengakhiri ucapanku dengan senyum miring sambil menurunkan tanganku. Pekerjaanku sudah selesai
"Kamu sudah terbiasa pergi ke pesta 'kan?""Biasanya gaunku tidak seperti ini. Dulu gaunku pendek diatas lutut." Aku mendengus, kulirik pria itu pun mengalihkan pandangan sambil menghembuskan nafas kasar."Oke, sorry. Kalau penampilan ini membuatmu tidak nyaman. Tapi seperti yang aku bilang tadi, kamu harus membiasakan diri dengan pakaian seorang muslimah."Mendengar itu aku tidak menjawab, jujur saja ini sangat memberatkan."Sekarang pakai sepatunya dan turunkan ujung gaunnya!""Tapi ... ""Ayo, aku bantu."Om Do mengambil-alih sepatu yang aku pegang bersamaan dengan tas. Lalu dia berlutut dihadapanku untuk membantuku memakai sepatu. Tangannya begitu terasa lembut ketika menyentuh kakiku lalu dengan perlahan dia melakukannya.Perasaan aneh kembali aku rasakan ketika kami bersentuhan. Tuhan, apakah ini? Kenapa aku jadi seperti ini jika berdekatan dan bersentuhan dengannya. Apakah ada yang salah?Ku pejamkan mata sambil menormalkan irama jantungku yang entah kenapa mendadak menjadi ber
"Apa dulu Rendy pernah bercerita tentang aku padamu?" Suara Om Do memecah kesunyian."Pernah. Rendy bilang kalau dia punya seorang Om yang gaje, enggak asik, sok tahu dan suka ngatur-ngatur." Aku berkata jujur, memang itu yang dikatakan oleh Rendy."Ha-ha-ha. Jadi itu penilaian Rendy terhadapku?" Tak kusangka, Om Do malahan tertawa sebagai reaksinya. Kukira dia akan marah atau setidaknya menyangkal."Ya sepertinya begitu.""Kamu percaya?" Dia menoleh sekilas."Percaya. Aku pikir Om-om memang seperti itu.""Dan setelah kamu bertemu dan kenal denganku? Bagiamana?""Memang seperti itu.""Jadi di matamu, aku ini gaje, enggak asik, sok tahu dan suka ngatur-ngatur?""Memang iya," jawabku datar.Aku mendengar pria di sebelahku membuang nafas berat."Baiklah. Mungkin aku harus merubah pandangan itu di matamu. Pertama, aku jelas suamimu jadi stop menganggapku tidak jelas. Kalau aku enggak asik tolong kamu beri tahu bagaimana caranya supaya bisa membuatmu asik. Usia kita terpaut jauh, jadi waja
Rumah tante Renita malam ini nampak ramai. Di halaman depan beberapa mobil terparkir sampai ke pinggir jalan. Aku melirik Om Do begitu mobilnya berhenti. Ada rasa ragu untuk memasuki rumah Tante Renita yang merupakan kakak Om Do. Tentu akan banyak keluarga yang hadir dan sebagian dari mereka memang mengetahui apa yang sudah terjadi antara kami."Tidak apa-apa. Tenang saja, 'kan ada aku." Pria ini sepertinya mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Om Do langsung memberikan kekuatan dan dukungan."Tapi .... ""Ayolah ... tenangkan dirimu. Semua akan baik-baik saja. Jika ada orang yang berkata miring tidak usah ditanggapi." Setelah berkata seperti itu, Om Do turun duluan, sementara aku masih diam tak bergerak sampai pria itu membukakan pintu dan mengulurkan tangannya.Dengan bantuannya, aku ke luar dari mobil lalu berdiri membetulkan gaunku. Pria ini pun menunduk, merapikan ujung gaunku. Semenjak dari ruko, Om Do tidak berhenti memperhatikan aku. Mungkin dia merasa bertanggung jawab karen
Om Do membawa aku berjalan dan menyapa beberapa orang yang sepertinya dia kenal. Aku hanya tersenyum ketika mereka menyapaku dan pria ini memperkenalkan aku sebagai istrinya."Jadi, Nak Faldo sudah menikah? Kenapa tidak mengundang kami?" tanya seorang Ibu sambil mengusap lengan Om Do."Kami memang tidak mengadakan pesta, hanya acara kecil-kecilan. Nanti lah kalau ada rezeki atau kalau kelahiran anak kami. Insya Allah kami akan mengadakan syukuran," jawab Om Do dengan nada rendah."Kamu itu memang dari dulu selalu diam-diam, tapi membuat gebrakan yang luar biasa," puji wanita itu lagi sambil tersenyum bangga."Bude bisa saja." "Iya loh, Nak Lala, Faldo ini orangnya pendiam. Dia tidak suka banyak bicara dan tidak banyak gaya, tapi tahu-tahu duaarr! Seperti ini, dia tidak pernah mengumumkan kalau dia punya pacar atau menjalin hubungan dengan seseorang. Tahu-tahu dia sudah membawa istri yang sangat cantik." Wanita yang dipanggil Bude oleh Om Do itu beralih menatapku sambil tersenyum, aku
"Oh, jangan-jangan kamu pun sudah terbuai oleh rayuan wanita murahan ini. Tapi bagus lah, dia memang cocok sama kamu, Faldo. Hidup dan latar belakang kamu tidak jauh berbeda dengan wanita ini. Tuhan memang Maha adil, memberikan pasangan yang serasi jalan hidupnya," imbuhnya Mbak Sari. Kali ini di tersenyum meski tidak ada manis-manisnya. Kecut."Permisi Mbak, Bude. Terima kasih atas sambutannya." Masih merangkul bahuku, Om Do lalu mengajakku pergi dari hadapan dua wanita itu. Entah apa yang kemudian mereka bicarakan, karena samar-samar, aku masih mendengar mereka bersuara lalu tertawa cekikikan."Jangan dimasukkan ke hati, ya. Mbak Sari memang seperti itu, dia sepupuku."Aku tidak mampu berkata-kata, ucapkan wanita yang disebut bernama Mbak Sari itu membuatku syok. Jika memang keadaanku seperti itu, tidak perlu juga Mbak Sari membahasnya di depan umum. Apalagi secara terang-terangan seperti itu."Tolong kuasai dirimu, kendalikan emosimu, La. Kita sedang berada di tempat umum, kalau ka
"Apa Rendy tidak memberitahu posisinya di mana?""Tidak. Dan setelah itu, nomor yang dia gunakan untuk menghubungi Mbak tidak aktif sampai sekarang.""Berarti Rendy menggunakan nomornya baru?" Tante Renita mengangguk. Aku segera mengeluarkan ponsel dan memperlihatkan nomor yang menghubungiku tempo hari."Apa nomor ini?" Aku menunjukkan pada Tante Renita."Sepertinya iya."Nomor ini juga pernah menghubungi saya tapi langsung tidak aktif begitu saya sampai di tempat yang dia kirimkan." Aku melirik Om Do, karena merasa bersalah sudah berbohong padanya."Kalian janjian?" Tante Renita bertanya lagi."Ya, Rendy meminta bertemu tapi kami tidak sempat bertemu karena ponsel Rendy keburu tidak aktif.""Ya ampun Rend. Kamu di mana, Nak?" Tante Renita kembali terisak."Apa tidak sebaiknya lapor polisi saja, Mbak?" Om Do menimpali."Sudah. Ini sedang diproses.""Kalau begitu mudah-mudahan segera ada titik terang, Mbak.""Aamiin, semoga saja," jawab Tante Renita parau."Lala memang sangat mengkhaw