Alwina benar. Aku terlalu kalut dan shock saat itu. Sehingga aku tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan ponsel Kharisma saja baru aku sentuh semalam. Setelah malam kedua kematiannya."Apa kamu tahu, sejak kapan mereka mengkonsumsi obat-obatan itu?" tanyaku kemudian.Alwina menggeleng. "Entah. Aku rasa itu tidak penting. Aku sudah malas mengurusinya. Aku tidak mau membuang waktu dan pikiranku untuk mencari tahu tentang mereka lagi. Ada kantor ini yang lebih memerlukan waktu serta pikiranku, Dewa!" ucapnya dengan sangat tegas. Setiap jawaban yang meluncur bebas dari bibirnya, seakan mampu membuat bibirku ini menjadi kelu.Baru kali ini, aku bertemu dengan perempuan setangguh Alwina. Meski hatinya telah patah. Tapi semangat hidupnya tetap menyala. Hingga dia mampu berdiri hari ini dengan kepala tegak. Seolah-olah, hanya malam itu saja dia sangat rapuh.Alwina melihat jam tangannya. "Maaf, Dewa. Sudah waktunya aku bekerja. Aku rasa pembicaraan kita pun sudah selesai," ucapnya.Aku menganggu
Nakula bersama Karina? Sedekat itu? Apa aku tak salah lihat?Segera aku mengulurkan tanganku untuk membuka kaca mobil sebelah kiri. Namun, lampu sudah berganti, sehingga kendaraan di belakangku membunyikan klaskon mereka. Aku pun harus melajukan mobilku dengan segera. Selanjutnya, terpaksa aku menepikan mobilku di depan sebuah swalayan.Setelah mobilku berhenti. Lantas aku menghubungi Ibu."Hallo, Bu?" ucapku setelah panggilanku diterima Ibu."Iya, hallo, Wa?""Bu, Nakula udah lakuin apa yang Ibu suruh ke dia kemarin?""Udah, Wa. Naku kemarin malam bawa uangnya dan dia serahin sama Ibu, tiga ratus lima puluh juta."Mataku membulat mendengar perkataan Ibu. Secepat itu mereka membayar hutangnya setelah dua tahun mereka lalai? Aku rasanya tidak percaya. Apalagi dengan yang barusan kulihat, Nakula bersama Karina. Aku rasa mereka tak akan punya uang sebanyak itu saat ini. "Emm, Ibu yakin mereka bayar?" tanyaku pada Ibu."Maksud kamu, Wa? Kemarin malam, jelas-jelas Nakula setorkan uangnya
Sontak alisku bertaut mendengarnya. "Kok bisa?""Iya, Pak. Sepertinya modal toko habis dipakai buat bangun rumah baru, Pak," terangnya semakin membuatku tak mengerti."Rumah baru gimana maksudnya, Mas Bud?"Mas Budi menghela nafas panjang. "Gini, Pak, enam bulan yang lalu. Pak Ken ada bangun rumah di komplek perumahan belakang toko ini. Pembangunannya sekitar dua bulananlah, udah beres itu rumah. Setelah rumah itu beres, toko yang kena imbasnya. Barang-barang mulai berkurang, Pak. Gimana pembeli mau belanja, kalo barang yang dibutuhkan ga ada? Padahal toko lagi rame-ramenya loh, Pak."Aku tertegun mendengarnya. Dua tahun mereka tidak membayar uangnya pada Ibu. Tapi mereka membangun rumah di komplek perumahan. Sedangkan barang-barang di toko ini dibiarkan tak terisi karena kemungkinan modalnya habis untuk biaya bangun rumah baru. Jadi, darimana uang yang Nakula bawa dan berikan pada Ibu?"Tunggu tunggu, Mas Bud. Kenapa mereka harus bangun rumah baru? Rumah mereka emangnya kenapa?""Loh
Selesai sarapan pagi ini. Aku langsung bergegas ke rumah Ibu. Dengan membawa sertifikat toko yang kemarin diberikan Pak Ken. Rumah Ibu hanya terhalang lima rumah lain dari rumahku. Rumah Ibu memiliki dua lantai. Di rumah, Ibu tinggal bersama sepasang suami-istri yang menjadi ART-nya. Juga Nakula.Tapi Nakula jarang di rumah. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di outlet miliknya. Nakula menekuni usaha di bidang kaos distro yang dijualnya secara offline juga online.Outlet kaosnya berupa ruko dua lantai. Lantai bawah sebagai tokonya langsung. Sedangkan lantai dua sebagai tempat produksi kaosnya. Dimulai dari pola. Cutting. Sablon. Hingga penjahitan. Semuanya dilakukan di lantai dua.Darah seorang pebisnis turunan dari almarhum Ayah. Sepertinya memang mengalir dalam diriku juga adikku itu. Di usianya yang baru 24 tahun, Nakula sama sepertiku dulu. Sudah berhasil memiliki usaha sendiri. Mengelola bisnis yang diminati. Menggelutinya dan terus mengembangkan. Sampai akhirnya berdiri, berjal
BRAKKK!Aku terlonjak bangun. Ketika pintu kamarku dibuka kasar dari luar. Baru saja tubuhku rebah malam ini. Setelah selesai menyesap rokok di teras balkon tadi. Nampak Nakula berdiri di ambang pintu kamar.Dia menatapku tajam. Baru kali ini, tatapannya itu begitu menusuk. Dia berjalan masuk ke dalam kamarku dengan cepat."Apa yang udah lo lakuin sama Karina, Bang?!" hardiknya saat ini di hadapanku.Aku mengernyit mendengarnya. "Lakuin apa maksud kamu?" "Ngapain Abang nemuin dia di depan kantornya? Suruh dia jauhin gue. Ngapain, Bang?! Gara-gara lo, Karina mutusin hubungannya sama gue!" teriaknya.Aku turun dari tempat tidur untuk berdiri di hadapannya. "Jadi bener, kamu ada hubungan sama dia? Ck. Baguslah kalau dia tahu diri untuk mengakhiri hubungannya sama kamu!" ujarku."Lo apa-apaan sih, Bang? Ngapain lo recokin hubungan gue sama Karina?" sentaknya padaku."Kamu adik abang, Naku! Abang ga mau kamu ada hubungan sama Karina. Lagian apa sih yang kamu liat dari Karina? Kurus, aroga
Pukul 08.00 pagi.Aku keluar dari kamar setelah berpakaian rapi dan bersiap ke cafe meski sekarang weekend. Menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Lalu menuju ruang makan. Sarapan pagi sudah tersaji seperti biasa. Aku menyendok sedikit nasi dan menyiramnya dengan kuah ikan patin."Pak Dewa," sapa Bu Titi sambil menggendong Davina."Iya?" jawabku. Seraya tetap meneruskan sarapan yang tinggal sedikit."Pak, izin jalan-jalan ya. Bu Ti, Bi Ima, mau ke alun-alun, sama Davina juga. Boleh, Pak?" ujar Bu Titi.Sarapaku sudah habis. Aku lantas meneguk segelas air, lalu mengelap sekitar mulut dengan tissue."Kapan, Bu?" tanyaku kemudian."Paling sebentar lagi, Pak.""Naik apa ke sana?""Nanti pesan taksi online.""Ngapain ke sana, Bi?""Yaa, jalan-jalan aja, Pak. Biar ga jenuh gitu Pak di rumah terus. Bawa main Davina juga Pak. Atau Bapak juga ikut? Sekali-sekali quality time sama Davina, Pak."Aku terdiam mendengar ajakan Bu Titi. Quality time bersama Davina? Seperti yang sering Kharisma tu
POV NAKULA*****[Kita putus!] Pesan singkat yang dikirim Karina seakan meruntuhkan dunia yang tengah kujejaki.Tidak ada angin, tidak ada hujan. Namun pesan singkat itu bak petir yang menggelegar. Segera aku menelponnya, sesaat setelah pesan itu masuk ke nomorku magrib tadi.Ternyata Karina tak terima. Bang Dewa mendatanginya di depan kantor sore tadi. Bang Dewa meminta Karina menjauhiku. Bang Dewa menyamakan Karina dengan Kharisma, kakaknya. Karina pun kukuh ingin putus denganku.Terpaksa aku ke rumah Bang Dewa dan memintanya untuk berhenti mengganggu hubunganku dengan Karin. Dia memang adik Kharisma. Tapi bukan berarti Bang Dewa berhak menilai Karina seperti Kakaknya.Karina perempuan apa adanya. Dia tidak suka berdandan seperti Kharisma. Karina terkesan tomboy dan ceplas ceplos. Tapi, dia bagai langit dan bumi jika disandingkan dengan Kakaknya.Karina tidak pernah mau kuajak bersenang-senang di klub malam. Berbeda dengan Kharisma, yang sering kujumpai ada di klub malam. Bahkan ent
Selesai sarapan pagi ini. Aku masih duduk di kursi meja makan. Tidak buru-buru beranjak untuk menyesap rokok seperti kebiasanku. Selesai merokok. Aku akan segera meluncur ke cafe.Tapi pagi ini, aku putuskan untuk di rumah. Meski sudah dua hari dan menjadi tiga hari dengan hari ini. Aku tidak pergi ke cafe."Jangan terlalu sibuk, Dewa. Kamu itu Bos-nya. Kamu itu owner. Kalau kamu sibuk, apa gunanya kamu punya banyak pekerja dan juga kekuasaan kamu?""Harusnya kamu bisa agak santai dan menikmati waktu kamu lebih banyak bersama Davina di rumah. Kamu ke cafe kalau weekend saja, gunakan waktu kamu untuk membersamai Davina!""Aku saja ada di kantor sampai jam makan siang. Sisanya aku serahkan urusan kantor sama wakilku. Dari siang hingga malam, aku di rumah. Menemani Naga. Meski Naga juga punya pengasuh. Tapi aku ngga mau melewatkan masa tumbuh kembangnya, Dewa!"Petuah yang Alwina berikan saat kami bertemu di alun-alun kota kemarin lusa. Benar-benar membuka pikiranku. Pemikirannya sangat