Sore harinya aku diperbolehkan pulang, Dian mengambil motornya di kantor, sementara aku disuruh menunggu di sini.Tak lama wanita berhijab itu kembali, dia membawa tas dan ponselku sekaligus."Thanks, Yank!""Yee, dah ah, yuk pulang!" ajaknya, gegas aku beringsut turun dari ranjang, rasanya masih sedikit pusing, langkah yang terasa melayang tak membuatku urung beranjak, aku tak tahan dengan bau obat-obatan ini."Kuat?""Kuat dong!""Hmm, sok kuat itu mah, sini aku bantu!" Dian mendumel sembari melingkarkan sebelah tanganku di bahunya, kemudian kami keluar dari ruangan itu bersama, menyusuri lobi rumah sakit.Langkahku terhenti saat ponsel bergetar dari tas, nama Pak Abi tertera di sana, gegas kuangkat panggilan pria itu."Ya, Pak?"[Di mana?]"Masih di RS, Pak,"[Oke, saya ke sana sekarang,]"Eh, nggak usah, ini juga mau pulang sama Dian,"[Benar sama Dian aja? Nggak ada yang lain?]"Iya, emang siapa lagi?"[Brian mungkin,] Astagfirullah, masih aja su’udzon ini orang.[Ya sudah, pulan
Keesokan harinya aku bangun dalam keadaan lebih bugar, kondisi kesehatanku pun sudah sepenuhnya membaik, rasanya ingin masuk kerja karena tidak sakit lagi, tapi mumpung Pak Abi lagi kasih cuti lebih baik aku gunakan untuk belanja dan me time.Gegas aku membersihkan diri, lauk dari eyang aku panaskan kembali, sisa udang asem manis dan ikan tongkol tumis santan masih tersisa banyak, gegas kusendok nasi dari magic com, lalu menyantap makanan sarapan lezat ini seorang diri. Ah, nikmatnya hidup.Setelahnya aku bangkit, penampilan sudah rapi dengan tunik warna army dan celana krem dan hijab warna senada, kuraih tas hitam yang kerap kukenakan lantas memasang sepatu flat warna serupa, Kukeluarkan kendaraan roda dua milikku kemudian melaju pergi. Ini masih jam sepuluh pagi, aku mengendarai motor dengan kecepatan sedang, menikmati euforia pagi tanpa omelan Pak Abi yang tiap hari memekak rungu. Tujuanku kini adalah toko baju terdekat, tak perlu bergaya muluk belanja di butik, tak ada bedanya,
Setelah berita menyenangkan yang kudapat siang tadi, aku langsung menelepon Dian, aku memintanya menginap di rumah malam ini, ingin sekali berbagi kabar gembira itu dengannya, aku yakin dia pasti ikut senang.Setelah shalat Asar, aku langsung berkutat di dapur, memasak beberapa menu makan malam bersama Dian nanti. Kubuka kulkas, langsung mengambil beberapa jenis sayur, sepotong daging dan udang.Gegas aku mengolah semua bahan. Tak lama kemudian, tepatnya jam lima sore; satu kuali kecil sup udang dan semangkuk daging rendang sudah terhidang di meja, aku segera mandi, menunggu Dian pulang kerja.———"Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikum salam!" sahutku. Setengah berlari aku menuju ruang tamu, lalu membuka pintu, Dian tampak baru saja dari kantor, aku mengajak wanita itu masuk."Udah sehat kamu, Han?" tanyanya saat baru menjatuhkan bobot tubuh di sofa, aku mengangguk mengiyakan."Alhamdulillah, pas aku bangun pagi tadi udah nggak pusing lagi," sahutku, wanita berhijab itu tersenyum lega, waja
Silau cahaya surya menyinari seluruh pelosok kota, aku menatap di balik jendela pesawat, sebentar lagi burung besi akan menerbangkan kami ke pulau dewata."Kenapa lihat keluar terus? Takut ya? Baru kali ini naik pesawat?" Aku menoleh pada Pak Abi tatkala mendengar celetukan pria itu."Sudah pernah sebelumnya, Pak," "Kapan? Ke mana?" tanyanya beruntun, aku menyamankan diri saat pesawat mulai landing."Dulu, waktu kerja di perusahaan sebelumnya. Saat itu kami ke Sulawesi," terangku. Pak Abi manggut-manggut. Sombong, mentang-mentang orang kaya, dikiranya aku nggak pernah naik pesawat apa! "Istirahatlah, perjalanan kita masih lama, tiba nanti saya mau ajak kamu jalan-jalan," ucapnya, sebelum aku menyahut dia langsung merebahkan kepalanya memasang kaca mata hitam, lalu menyumpal kedua telinga dengan earphone.Akhirnya aku hanya bisa memendam rasa penasaran, ke mana dia akan mengajakku memangnya? Ah, lihat saja nanti, mataku juga sudah terasa berat, tidur sejenak akan membuatku lebih buga
Aku terkejut melihat kehadiran Ammar dan istri barunya di sini, wanita itu bahkan tak segan menyapa, dapat kulihat sang mantan dilanda kegusaran, dia tampak tidak tenang. Sedangkan Kiara, dia terus saja mencoba bicara pada Pak Abi, seolah mereka adalah sahabat dekat yang sudah lama tidak bertemu, aku salut dia tak menyerah walau Pak Abi terlihat muak dan tak menanggapinya sama sekali, wow! Bravo!"Sayang, sapa dong, mantan istri kamu!" Aku menaikkan alis, apa yang coba dia lakukan sekarang? Membuktikan bahwa suaminya tak menganggapku lagi, seperti yang kukatakan padanya saat itu?"Apa kabar, Hanin?" tanya Ammar dengan netra bergerak gelisah, dia sama sekali tak menatapku."Seperti yang terlihat, saya baik-baik saja," sahutku."Kalian tampak serasi," ucap Kiara, aku hendak membuka mulut, tapi Pak Abi lebih dulu menggantikan sahutanku."Tentu saja, kami akan melangsungkan pernikahan bulan depan, ya 'kan Sayang?" Kami saling pandang, aku menyelami binar matanya, itu berbeda, tidak sama
Dengan penuh keyakinan aku menyuarakan namanya, ini adalah waktu yang tepat, segalanya sudah kuperhitungkan sejak sepuluh menit lalu, aku ingin mengajaknya dimana hanya kami berdua di sana, tapi sepertinya melamar di depan banyak orang akan sangat berkesan untuknya.Hanindiya menaiki panggung setelah aku memanggilnya untuk ketiga kali, wajar saja. Hatinya pastilah syok mendengar julukan baru yang kusematkan untuknya, 'a woman who's so special for me,' semoga dia bisa melihat ketulusan saat aku mengatakannya.Tanpa buang waktu lagi aku langsung menjalankan, rencana, dia tampak masih bingung, pandangannya terus saja melantai, aku yang merasa tak sabar lagi langsung saja berlutut, kubuka kotak beludru itu, dia terpana."Hanindiya Atmojo, will you marry me?" ucapku yakin, netranya semakin melebar, aku tahu dia sangat terkejut. Riuh tepuk tangan beriringan dengan para tamu yang mendukung diriku. "Terima! Terima! Terima!"Dengan sabar aku menanti jawabannya yang akan kupegang sebagai komi
Bangun pagi di Bali seharusnya jadi hal paling menyenangkan, tapi hatiku kini sedang campur aduk, bagaimana akan mendapat euforia itu jika kondisiku se-menyedihkan ini?Lamar, diterima, salah paham, cek-cok, pikir ulang, walhasil digantung hingga perasaan terasa remuk redam. Aaah, sial!Dengan langkah gontai aku menuju kamar mandi, berendam di jakuzzi dengan air hangat mungkin akan membuat pikiran lebih fresh, semoga bayangan Hanin juga ikut lenyap, bersamaan dengan air yang mengalir membasahi tempurung kepala.Namun kenyataan jauh dari ekspektasi, ini sama sekali tak berefek, bayangan wanita itu terus saja menari di pelupuk mataku, bahkan sejak semalam, saat aku tak lagi melihat punggungnya.Wanita berhijab dengan senyum manis yang selalu terlihat tulus, mata almond dengan kornea kecokelatan yang memabukkan, bulu lentiknya bergerak indah setiap dia mengerjap, mana bisa aku melupakannya? Aaargh! Ayolah Hanindiya! Pergi dari hati dan pikiranku sekejap saja, kau boleh kembali nanti, sa
Malam hari aku mengemas pakaian ke dalam koper, besok kami akan kembali ke Jakarta, setelah semuanya aku bersiap, Pak Abi mengajakku jalan malam ini, entah kemana lagi, tapi aku ikut saja, mumpung masih di sini, kapan lagi menikmati Bali?Gamis warna army potongan A line polos, kupadukan dengan hijab warna krem, tak lupa sepatu warna senada, kupulas wajah tipis saja. Pandanganku terhenti pada benda berkilau di jari manis, kilaunya terpantul di cermin, menyapa kornea mata."Ya Allah ... ini sangat indah," gumamku menyentuh mata biru laut itu, entah kapan Pak Abi mempersiapkannya, aku yakin harganya tidak sedikit. Kenapa dia harus melakukan ini semua di saat yang tidak tepat? Tak bisakah dia menunggu hingga kami saling kenal dulu? Kalau sudah begini kita berdua juga yang repot menerima suasana baru yang akan tercipta setelah ini. Aku menggeleng kepala, mengenyahkan bayang yang datang seenaknya, mememuhi pikiran dan penglihatan.Aku raih tas tangan lalu melangkah keluar dari kamar, keti