180“Kertas itu ditulisi, bukan diremas.”Samudra melirik asistennya yang langsung menyambut dan mensejajari langkahnya menuju ruangan utama di Hanggara Enterprise ini. Ternyata, ia tidak betah lama berada di perusahaan ayah Mentari. Bukan apa-apa, rasa bersalahnya pada Ratri kian besar, sementara ia masih belum bisa memutuskan langkah yang ingin diambil.Karenanya setelah memastikan semua aman, ia segera kembali ke perusahaan keluarganya yang lebih butuh perhatian.Hamish yang kebetulan baru keluar dari ruangannya, berpapasan. Wajah sang bos yang kusut membuatnya iba.“Itu muka sudah seperti kertas yang diremas, Bos. Kusut masai.” Hamish menjawab rasa heran sang bos yang mengerutkan kening mendengar ucapannya.Samudra mengembus napas kasar sambil terus berjalan menuju ruangannya.“Apa ini karena mantan istrimu?” tanya Hamish lagi kepo. Kini mereka sudah berada di ruangan Samudra. Hamish menutup pintu dan langsung menghampiri sang bos.Tidak ada jawaban dari Samudra dan itu membuat Ha
181Mentari membuang pandangan sebelum berbalik dan masuk lagi ke dalam rumah. Tanpa sepatah kata pun, wanita itu meninggalkan pria yang masih berdiri di balik pagar.“Bu, kok, tamunya ditinggal?” Mbak Rumi yang ternyata mengejar, heboh bertanya. Wanita itu memasang tampang bingung.“Malas, Mbak. Biarin ajalah.” Mentari menjawab tanpa minat. Wanita itu terus saja berjalan menuju kamar kedua anaknya.“Kok, malas, Bu? Memangnya siapa dia? Ganteng lho tamunya, ya, walaupun sudah ada umur.” Mbak Rumi masih penasaran, membuntuti sampai Mentari duduk di sofa yang ada di kamar si kembar.“Sayang lho, Bu, tamu seganteng itu dianggurin. Jarang-jarang ada tamu ganteng datang ke sini selain Pak Bima.”Mentari mengibaskan tangan tanda jengah, sebelum fokus dengan ponselnya.“Bu ….”“Apa sih, Mbak Rum? Kalau Mbak Rum mau, ambil aja.” Mentari ketus.Kedua bola mata pengasuh itu membulat sempurna.“Beneran, Bu?” tanyanya antusias.“Ya, ambil aja.” Wajah Mentari merengut. “Lagian Mbak kok, heboh bang
182Samudra menyurukkan wajahnya di atas handle stir, saat terdengar suara-suara riang dari rumah Mentari. Tadi setelah mereka semua masuk rumah, ia memutuslan masuk ke mobilnya. Namun, tak serta-merta pergi, pria itu justru menunggu di sana hingga beberapa lama.Entah apa yang ditunggunya. Yang pasti rasanya berat meninggalkan tempat itu, terlebih ada Bima di sana. Rasa tidak rela meraja, bagaimanapun Mentari masih sah istrinya secara hukum. Mereka belum bercerai secara resmi. Lalu, anak-anak itu … mereka anak kandungnya. Lebih tidak rela menyaksikan keduanya sangat dekat dengan laki-laki itu, seolah Bima adalah ayah kandung mereka.Samudra lebih memilih menelan sakit hatinya dengan tetap berada di sana meski tahu risikonya ia semakin tersiksa menyaksikan kemesraan mereka semua.Terbukti tak lama setelah mereka masuk, Bima kembali keluar dengan membawa anak-anaknya. Mereka bermain di teras rumah yang tentu saja dapat terlihat jelas dari posisinya saat ini karena mobilnya terparkir ta
183Samudra menjatuhkan tubuhnya di depan Barra yang memandangnya tidak mengerti. Bayi laki-laki yang duduk sambil memegangi lego berbentuk mobil itu, awalnya menengadah dengan bibir mungilnya yang terbuka. Samudra membungkukkan tubuhnya agar dapat mensejajarkan wajahnya dengan wajah mungil bak miniature dirinya itu. Karena walaupun sudah duduk, tetap saja tubuhnya menjulang.Kini, tangannya terulur ingin menyentuh anak laki-laki yang terus memandanginya dengan asing. Dalam posisi seperti ini, Samudra seolah sedang bercermin. Melihat dirinya sendiri di masa puluhan tahun lalu. Anak itu, benar-benar bak duplikat dirinya.Samudra menelan ludahnya sebelum tanganya yang gemetar benar-benar menyentuh wajah anak itu. Bagai mimpi, akhirnya ia bisa sedekat ini dengan darah daging yang lama diidamkan dan lama pula tidak bersua.Tangan gemetarnya akhirnya menyentuh pipi gembil bayi laki-laki yang masih juga diam dalam ketidakmengertian. Perasaan haru tetiba menyeruak memenuhi dada seiring matan
Bab 1“Bastian, ahhh … lebih cepat lagi–”Aku menajamkan pendengaran begitu tiba di depan pintu kamar Bastian, calon suamiku. Suara-suara aneh dari dalam sana membuat bulu di tubuh ini meremang.“Bas–oh ....”Aku tidak tahan lagi, tubuhku mendadak bergetar hebat karena mendengar suara-suara itu. Suara-suara khas sepasang manusia yang tengah mengarungi lautan kenikmatan.Brak!Kudorong pintu ruangan itu dengan kuat hingga dua orang yang tengah bergumul di atas sofa sontak terperanjat.Sepasang manusia tidak tahu malu itu kompak menoleh ke arahku.Si lelaki langsung loncat menarik diri dari atas tubuh wanitanya dengan gelagapan. Disambarnya bantal sofa untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sementara wanitanya bukan melakukan hal sama, melainkan dengan tidak tahu malu melemparkan senyum penuh kemenangan padaku.Raut puas sangat kentara di sana–aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia bahkan membusungkan dadanya seolah ingin menunjukkan padaku jika tubuhnya baru saja dinikmati calon suamiku.
Bab 2Aku menelan ludah dengan susah payah. Pandangan tajam ini mengabur dengan sendirinya karena kaca-kaca yang mulai menutupi bola mata.Sumpah demi apa pun, hatiku sakit. Sakit karena pengkhianatan Bastian dan Novita, juga karena ucapan busuknya.Aku ingin lebih memaki, tetapi rasanya percuma.Akhirnya aku membalikkan badan tanpa berkata-kata lagi. Lalu membawa kaki ini melangkah keluar. Meninggalkan ruangan yang baru saja digunakan perbuatan terkutuk manusia-manusia laknat itu.“Ini salahmu, kenapa tidak mengunci pintunya?”Langkahku terhenti di depan kamar saat mendengar suara Bastian. Walaupun tidak jelas karena diucapkan dengan mendesis, tetapi telingaku cukup baik menangkapnya.“Mana aku tahu dia mau ke sini?” Itu Novita yang menimpali. “Sudah kubilang lebih baik ke hotel seperti biasa. Tapi kamu malah mau di sini. Salahku di mana?”“Sial!” Bastian mengumpat.Aku memejam dengan kuat. Satu kesimpulan yang dapat diambil dari dialog singkat mereka, jika ini bukan yang pertama dan
Bab 3“Lelucon macam apa ini, Nek?” Bastian yang sekian detik lalu tersentak, kini berdiri. “Bagaimana bisa aku digantikan Om Sam, si laki-laki payah itu?” Lelaki itu melayangkan protes.“Tutup mulutmu, Bas!” Nenek Widya tampak tidak suka dibantah. Matanya melebar walaupun tetap bergaya anggun dan elegan. “Keputusan Nenek sudah bulat. Pernikahan tidak mungkin dibatalkan karena perjodohan ini amanah kakekmu dan kakeknya Mentari. Nenek harus memastikan amanah ini terlaksana sebelum Nenek meninggal.”“Tapi kenapa aku harus digantikan Om Sam, Nek? Dia itu laki-laki payah. Aku yakin dia tidak ingin menikah seumur hidupnya. Dia tidak menyukai perempuan!”“Tutup mulutmu, Bastian Hanggara!” Nenek Widya kembali menegur. “Jika memang kamu tidak bersedia Mentari menikah dengan pria lain, seharusnya kamu jaga sikapmu dan tidak mencoreng nama keluarga seperti ini!”Rahang Bastian mengeras, sementara wajahnya memerah.“Aku tetap tidak terima, Nek.” Bastian terus melayangkan protesnya dengan keras.
Bab 4“Tari, ini Samudra, calon suamimu.”Ingin rasanya aku pingsan lagi dan lagi mendengar penjelasan Nenek Widya.Bagaimana tidak? Aku yang kini duduk di sebuah sofa empuk, diperkenalkan dengan lelaki menyeramkan yang tadi menangkap tubuh ini sebagai calon suamiku.Semua bayangan buruk yang tadi sempat terlintas tentang kepribadian Samudra langsung menempel begitu saja karena sosoknya yang sangat ajaib ini. Tinggi besar—walaupun mungkin tingginya hanya seratus delapan puluh centimeter, tetapi bagiku yang berperawakan mungil, ia sangat tinggi. Menjadi sangat menyeramkan karena rambut gondrongnya yang hanya diikat asal.Jangan lupakan juga bulu-bulu di wajahnya yang dibiarkan tumbuh liar. Bahkan aku yakin jika kulitnya tak pernah bersentuhan dengan pisau cukur selama berbulan-bulan.Jangankan untuk berjabat tangan dengannya, aku bahkan takut untuk sekadar mengangkat wajah dan meliriknya.Alhasil aku hanya menunduk sambil memilin jemari satu sama lain. Tubuhku terasa menggigil berada d