"Kak Jenni mau mengajari aku sopan santun dengan cara apa kalau kakak ipar saja tidak sopan?" "Apa maksudmu, Sano?" "Tadi siapa yang melempar aku botol tupperware itu? Kalau sopan, tidak mungkin melakukannya, kan?" "Kamu melecehkan adikku, salah kalau aku tinggal diam. Sekarang tidak usah banyak drama, aku muak liat wajahmu!" Sano berusaha abai karena tujuannya datang ke sana adalah untuk membujuk Ulfa agar mau kembali dengannya. Biar saja Jenni terus meracau tidak jelas selama Ulfa masih berdiri di tempatnya. Tangannya meraih tangan Ulfa, menggenggamnya erat. Setelah itu, meletakkannya tepat di dada kiri Sano agar Ulfa bisa merasakan sendiri jantung yang berdegup tidak normal sejak tadi. Jika ditanya tentang cinta, sebenarnya Sano masih memiliki rasa itu. Akan tetapi, keinginannya untuk memuaskan diri sendiri membuatnya buta dan berpaling. Sano belum bisa mengendalikan dirinya sampai saat ini. "Jantungku berdetak karenamu, Ulfa. Apa masih tidak percaya kalau aku masih mencintai
Setelah memastikan Sano sudah terlelap, Tantri melanjutkan kalimatnya tadi. Dia tidak akan membiarkan Dita tenang untuk sementara, maka mulai saat ini dia harus membandingkan dia dengan Ulfa agar Dita geram dan mengalah atau bahkan memberinya uang juga.Dia berkacak pinggang, duduk di tempat semula menatap sinis pada Dita yang sejak tadi tidak pernah berhenti menggerutu. Meskipun usia mereka terpaut jauh, Tantri tidak pernah takut melawan selama dia merasa dalam kebenaran. Apalagi tujuannya meminta uang adalah membayar utang yang sudah dua hari ditagih oleh temannya."Mbak, harusnya kamu itu bisa bantu perekonomian keluarga. Kamu kan punya usaha tuh, walau udah lama kagak ngelukis, tetap aja kan di toko ada lukisan? Masa satu pun nggak ada yang laku, gimana ceritanya?"Dita menghembus napas kasar. "Gimana mau laku orang pernah kena kasus, pelanggan pada kabur ke toko yang lain. Kalaupun ada, paling buat ngangsur ke bank yang nggak diselesaikan sama masmu.""Ya masa sih kamu sekere itu
Kamis pagi, Jenni membawa Alea jalan-jalan sekaligus mencari pekerjaan. Sebenarnya repot kalau membawa anak kecil berusia empat tahun, tetapi Alea merengek, sedangkan ibunya harus menjalani masa iddah.Ulfa tidak tahu harus melakukan apa di dalam rumah. Makan, tidur, menonton, mandi, sudah dia lakukan. Tidak ada hal seru untuk menambah warna dalam hidupnya. Saat melirik jam, sudah menunjuk pukul sembilan pagi.Pintu rumahnya terketuk tiga kali, padahal ada bel yang tinggal ditekan. Siapa dia, kenapa kesannya seperti buru-buru? Oh ayolah, tidak mungkin seorang rentenir karena Ulfa tidak punya utang pada siapa pun.Ulfa mendengus, berusaha memaksakan senyum untuk menyambut tamu yang entah siapa. Ulfa akan menerimanya dengan baik asal bukan makhluk tak kasat mata. Daun pintu terbuka perlahan, senyuman Ulfa memudar ketika tahu siapa yang datang.Seorang ibu hamil tersenyum angkuh pada Ulfa. Dia kenapa?"Ngapain ke sini, Dit? Tampangnya kayak orang mau nagih utang aja," tanya Ulfa menekuk
Baru saja Ulfa memejamkan matanya saat sedang menonton televisi, pintu rumahnya kembali terketuk. Dia geram, lalu menebak bahwa yang datang adalah Mahika untuk mencari menantu tercintanya.Entahlah, Ulfa berharap pengetuk pintu itu adalah Jenni dan Alea. Pintu kembali terbuka lebar dan Ulfa harus memutar bola mata malas. Tebakannya salah, ternyata dia adalah Dita. Tanpa disuruh, wanita hamil itu mendorong tubuh Ulfa yang menghalangi jalannya untuk masuk dan duduk di kursi semula."Ngapain balik lagi, hah?"Dita memalingkan wajah. "Aku baru ingat kalau tadi lupa bawa dompet. Tadi ke sini nebeng sama teman. Kamu ada uang buat ongkos pulang nggak?"Ulfa berdecih. Bagaimana mungkin Dita meminta tolong padanya sedangkan wanita itu memalingkan wajah? Apa dia malu meminjam pada wanita yang pernah dia lukai hatinya? Oh ayolah, Ulfa tidak percaya kalau Dita itu masih punya rasa malu setelah berzina dengan suami orang."Ada." Ulfa merogoh kantong celananya, ternyata ada uang lima puluh dan dua
Ulfa baru saja menyelesaikan satu bab ketika hari sudah sore. Tangannya terasa pegal, kepala pun sedikit pening memikirkan alurnya. Namun, yang membakar semangat Ulfa untuk tetap melanjutkan naskahnya di platform digital adalah komentar pedas dari para pembaca.Komentar itu tidak tertuju pada penulis, melainkan tokoh di dalam cerita. Ulfa sangat bahagia karena pembaca budiman itu memberi sumpah serapah pada Sano dan Dita agar tidak pernah bahagia dalam rumah tangganya.Sudah Ulfa duga bahwa ketika orang lain tahu bagaimana dia menjalani rumah tangganya yang menjadi korban perselingkuhan, pasti para ibu-ibu akan langsung respect kecuali mereka yang iri pada Ulfa. Senyum wanita itu masih mengambang sempurna membaca komentar demi komentar para pembaca.[Maaf, aku tidak bisa membalas satu per satu, tetapi aku mengucapkan terimakasih pada kalian karena berkenan mampir ke novel perdanaku. Semoga kalian sehat selalu. Salam dariku.] tulis Ulfa di kolom komentar.Sekarang dia berdiri, keluar d
"Mbak, aku setuju untuk tawaran kerjasama itu, tapi jangan beritahu bapak kalau aku bakal mengganggu Mbak Dita." Suara Tantri terdengar gemetaran. Dia berada di antara dua pilihan yang keduanya menambah sesak di dada."Gampang, asal kamu nggak bohongin aku aja. Kapan kamu ketahuan berbohong, aku yang bakal viralin kamu. Di rumah ini ada CCTV, aku bisa saja melakukan sesuatu yang bisa memberatkanmu, Teri."Tantri menggeleng pelan, bibirnya semakin memucat. Dia tahu Ulfa tidak pernah bercanda dengan ancamannya. Jika Sano, Mahika dan juga Dita mudah dia sudutkan, apalagi dirinya yang hanya seorang mahasiswa."Baiklah, kalau begitu nanti kamu bilang sama keluargamu kalau aku ngasih uang itu dengan sukarela. Ingat, kamu harus memberitahu mereka!" Ulfa mengeja dengan sangat pelan, penuh penegasan pada kalimat terakhir agar Tantri melakukannya.Dia bukan ingin disanjung, Ulfa hanya mau kalau Sano sekeluarga tahu dia sudah bangkit dan tidak seperti dulu lagi. Ulfa disibukkan oleh banyak peker
Tiga bulan berlalu, akhirnya Ulfa bebas dari masa iddah. Selama itu dia menghabiskan waktunya di depan laptop untuk menulis novel. Sudah dua novel yang berhasil dia tamatkan karena Alea tidak lagi rewel selama ada mainan dan juga cemilan. Apalagi beberapa kali Kancana datang untuk mengajaknya jalan-jalan.Penghasilannya lebih dari cukup untuk sekadar makan dan belanja pakaian serta mainan. Ulfa tidak menyangka tulisannya membuahkan hasil yang mengejutkan. Itu dia peroleh dari dua aplikasi menulis.Dalam tiga bulan itu pula, Tantri selalu mengganggu kakak iparnya. Ya, Dita telah melahirkan sosok anak laki-laki yang dinamai Adnan Sano Wijaya.Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Ulfa. Dia segera mengoles lip serum tipis, menyambar tas bahu, kemudian menggandeng tangan Alea yang sudah didandani cantik bagai putri raja dalam Negeri Dongeng."Kirain bakal telat, makanya kelamaan dandan," kata Ulfa begitu masuk ke mobil baru Fajar.Lelaki itu mengulum senyum, tanpa sepatah kata pun. Dia
"Baiklah, aku setuju." Jawaban Sano berhasil membuat Ulfa mengukir senyuman.Wanita itu merogoh tas branded-nya, kemudian menelepon Fajar tanpa memberitahu Sano siapa yang dia hubungi. Toh, dia juga tidak bertanya."Halo, Ulfa? Kamu udah selesai?" tanya Fajar begitu panggilan terhubung."Tidak, maksudku belum. Kamu temani Alea dulu, aku harus ke rumah Ibu Mahika sekarang, nanti pakai gocar. Pokoknya nanti aku jelasin, kamu temanin Alea, ya. Bye!"Ulfa langsung menutup panggilan telepon secara sepihak karena tidak ingin jika Fajar melarangnya. Ulfa tidak bodoh, tentu saja semua yang dia lakukan sudah melalui pertimbangan matang. Pada intinya dia harus menemui Dita untuk membalas hinaannya dulu.Ya, Ulfa menganggap merebut suaminya adalah sebuah penghinaan. Dia tidak peduli, apakah Dita sadar akan perbuatannya atau bagaimana. Pada intinya dia telah melakukan kesalahan dan pantas menerima hukuman. Ulfa sudah memberi mereka peringatan sejak awal, tetapi sepertinya baik Ulfa maupun Sano sa