"Assalamualaikum." Andi dan Larasati menyapa seluruh penghuni rumah itu dengan dada berdebar. Ambar, mami Andi menatap Andi dan Larasati bergantian. Kemudian serta merta berdiri."Waalaikumsalam.""Kamu? Kamu perempuan yang datang merusak rumah tangga anak saya? Berapa tidak tahu malunya kamu!" seru Ambar sambil menuding wajah Larasati yang memucat. "Saya ...""Pelakor kan? Nggak usah menjelaskan diri. Saya sudah paham kamu adalah perebut laki orang. Dasar perempuan nggak tahu malu! Kamu itu cantik. Masa sama lajang nggak laku sih? Kenapa harus mau sama suami orang? Menikah diam-diam tanpa tanpa sepengetahuan istri pertama lagi! Malu-maluin perempuan! Kayak nggak punya harga diri saja!" sembur Ambar. Larasati dan Andi tercengang.'Astaga, sialan nih perempuan bau tanah. Berani-beraninya dia marahin aku. Awas saja ya, anaknya aku buat bucin dan menguasai harta maminya!' umpat Larasati dalam hati. "Mi, jangan begitu. Dia itu istri siriku. Aku sudah menikahi nya dengan sah menurut a
Larasati tercengang mendengar kata-kata Ambar. Dengan tergesa, dia menggoyang-goyangkan bahu Andi. "Mas, Mas. Bangun dulu deh. Kenapa mami kamu nyuruh-nyuruh aku bikin sarapan?" tanya Larasati. Mukanya ditekuk dan terlihat kecut. Andi mengucek-ngucek matanya. Lalu melihat ke arah jam bulat yang menempel di dinding kamar. Sementara itu suara ketukan di pintu kamar berubah menjadi gedoran. "Laras! Bangun kamu! Kamu jangan enak-enakan molor! Kok bisa nggak sungkan sama orang tua?" Andi menatap wajah Larasati. "Kamu tururin apa kata mami dong. Kasihan mami gedor-gedor pintu. Beliau sudah tua. Kamu harus banyak ngalah sama beliau."Bibir Larasati mengerucut. "Ck, Mas. Gimana sih konsepnya? Aku kan istrimu bukan pembantu lho. Kalau bi Inah pulang ke kampungnya, harusnya cari asisten rumah tangga lain dong! Masa aku yang membereskan pekerjaan rumah tangga?" tanya Larasati merajuk. "Nyari ART itu nggak mudah, nanti lah aku cari lagi. Sekarang kamu turutin dulu apa kata mami. Mas nggak i
Andi berjalan di koridor kantor nya dengan dada berdebar. "Duh, kenapa nih si Bos manggil aku?" gumam Andi bingung. Andi berdiri di depan ruangan bosnya dan menata hati beberapa saat. Di kepalanya berkecamuk pertanyaan apa kesalahannya sehingga bos memanggil nya. Tangan Andi terangkat dan mengetuk pintu ruang direktur. "Masuk."Andi lalu masuk ke dalam ruangan Herman, direkrut perusahaan nya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Andi. Herman menatapnya dengan serius. "Duduk, Pak Andi!" Andi menghela nafas lalu duduk di hadapan direktur utama perusahaan mobil itu. Herman menegakkan tubuhnya di kursi lalu menatap Andi dengan serius. "Kami mendapat laporan bahwa kamu dan tim kamu memanipulasi penjualan bulan lalu. Dan perusahaan merugi sampai 500 juta. Dan kamu sebagai ketua hanya ada dua pilihan, kembalikan uangnya atau kamu mau saya laporkan pada polisi."Andi mendelik. Dia baru ingat kalau diam-diam mengambil uang penjualan dari perusahaan nya sebagai tambahan untuk membeli
Beberapa saat sebelumnya, "Lho, kok kamu udah leha-leha sih? Kan cucian belum kamu bereskan? Rumah belum kamu bersihkan?" tanya Ambar mendelik saat melihat Larasati sedang mengecat kuku tangannya. Larasati langsung memandang mertuanya dengan menghela nafas panjang. "Haduh, Tante. Aku kan capek. Masa nggak boleh sih santai bentar. Lagian tuh Te, nggak jaman kalau sekarang itu istri masak. Istri itu yang penting bisa memuaskan suami agar suami nggak melirik ke perempuan lain," sahut Larasati cuek. "Kamu itu capek habis ngapain? Orang cuma masak mie dan telur gosong aja ngeluh. Kamu beda banget sama Mawar!"Mendengar nama Mawar disebut, Larasati yang semula berniat cuek dan acuh tak acuh pada mertuanya menjadi berani. "Duh, saya harus saingan sama lansia? Jelas bedalah saya dengan Mawar. Saya itu masih muda, cantik, seksi, lincah di ranjang, beda sama Mawar, Te. Jangan menyamakan kami dong!"Larasati memajukan bibirnya saat mendengar ocehan Ambar. "Kamu itu apa yang kamu tawarkan p
"Apa? Tidak mungkin Larasati melakukan nya? Dia tidak punya rumah untuk tinggal."Andi terdiam sejenak. "Tunggu dulu. Apa dia kerumah orang tuanya di kampung?""Mami nggak peduli Larasati dimana. Sekarang kamu cari dan suruh dia mengembalikan mobil mami!""Mami tenang dulu. Mami kan masih punya banyak aset. Bisalah beli lagi.""Apa kamu bilang? Enak aja! Itu mobil kesayangan mami. Almarhum papi kamu yang membelikan nya saat kami merayakan anniversary 25 tahun. Pokoknya kamu cari Larasati sampai dapat. Kamu itu juga aneh, kenapa maling dinikahi!""Oke. Siap. Mami tenang dulu.""Kamu ada dimana sih sekarang? Kok gak pulang-pulang?" "Cerita nya panjang. Nanti saja Andi cerita. Yang penting sekarang, Andi masih ada urusan. Nanti Andi telepon lagi, Mi."Andi segera mengakhiri panggilan teleponnya dengan sang mami. Lalu dia mencoba telepon Larasati. "Ah, diblokir! Sialan Larasati. Nanti aku yang urusan sama polisi. Untung pelapornya mau damai. Aku harus mencari sertifikat rumah Larasati u
Mutia menghela nafas panjang saat sudah masuk di dalam mobil milik Aksara sepulang dari kantor polisi. "Apa apa mbak Mut? Kok kayak berat gitu nafasnya?" tanya Aksara. Mutia tersenyum kecut. "Iya, pak. Saya sedang memikirkan alur hidup saya. Bisa-bisa nya jadi calon janda di usia 21 tahun. Nasib.""Yah, namanya juga nasib, Mbak. Kita nggak akan bisa meminta untuk berganti nasib dengan orang lain. Tapi kita bisa meminta agar Tuhan selalu menguatkan bahu kita agar kita selalu kuat menghadapi ujianNya. Ya kan Mbak?"Mutia mengangguk lalu mengacungkan kedua jempolnya ke arah Aksara. "Yap, pak Aksa benar sekali."Aksara lalu melaju kan mobilnya. "Lalu apa yang akan mbak Mutia lakukan sekarang?""Saya ingin ke bank untuk mengirimkan uang pada ibu dan adik saya, lalu ingin membuat mbanking, Pak. Sepertinya setelah saya pikir-pikir mbanking itu perlu sekali jika saya akan bekerja di sebuah instansi atau saat saya akan memulai perkuliahan," sahut Mutia. "Wah mbak Mutia benar-benar mengagum
Di dalam mobil, Aksara memutar lagu Mahalini dan menoleh ke arah Mutia. "Mbak Mut, apa pernah mendengar lagu ini?" tanya Aksara. "Pernah. Larasati pernah memutar lagu itu di hpnya.""Bisa meniru kan lagu ini nggak?" tanya Aksara seraya melajukan mobilnya keluar dari salon. Mata Mutia membeliak. "Apa menirukan lagu ini?" "Iya. Ayo dicoba dulu. Karena kalau Mbak Mutia beneran bisa nyanyi, mbak Mut akan bekerja jadi penyanyi di restoran milik teman saya," ucap Aksara membuat Mutia terkesiap. "Nyanyi di restoran, Pak?""Iya. Makanya anggap saja ini cek sound. Gih, nyanyi dulu, mbak."Mutia menghela nafas panjang dan mulai fokus mendengar kan musik lalu menirukan lagunya.Suara Mutia yang merdu membuat Aksara tersenyum dan terhanyut dalam lirik lagu Mutia. Lelaki itu mendengar kan lagu yang dibawakan oleh Mutia sampai selesai. Aksara bertepuk tangan sekilas saat Mutia menyudahi lagunya. Lalu mengacungkan dua jempol nya di hadapan Mutia. "Sepertinya kamu bakalan diterima kerja, Mbak,
Ridho melongo mendengar ucapan Novela karena setiap mendengar nama Andi, dia langsung teringat pada korupsi dan peristiwa pemukulan Andi pada nya kemarin. "Mas, mas Ridho! Kok melamun sih?" tanya Novela sambil mengibaskan tangannya di hadapan wajah Ridho. Membuat lelaki itu tergagap. "Nggak, aku cuma baru ingat kalau aku kenal dengan papamu, Yang.""Kan benar, kalau kamu pasti kenal papaku karena dia memang sudah lama bekerja di perusahaan itu. Ya sudah lupakan saja. Kita bahas yang lain karena sejak papa ku menikah lagi, aku tidak ingin lagi mengetahui kabar, maupun bertemu dengan nya lagi, Mas."Ridho manggut-manggut. "Yang, aku tahu ini mungkin bukan saat yang tepat untuk mengatakannya karena kamu juga pasti tidak ingin ikut campur dengan urusan papa kamu. Tapi aku merasa perlu mengatakan kabar terbaru tentang ayah kamu di perusahaan papaku. Karena kabarnya kurang bagus."Novela tercengang. Awalnya dia memang tidak ingin mengetahui kabar sedikit pun tentang ayahnya, tapi entah k