"Siapa yang memberi Reza hadiah?" tanyaku pada Rara. Aku tak jadi mandi, langsung saja kuhempaskan tubuh ini di atas sofa."Maaf, Bu. Tadi tetangga sebelah ke sini. Katanya kebetulan ada mobil-mobilan buat ponakannya, tapi ponakannya keburu pindah. Jadi dikasih sama Reza," kata Rara.Aneh banget, baru kenalan udah main ngasih-ngasih aja. Aku takut mereka sebenarnya minta sesuatu dariku."Lain kali kalau mereka ngasih, nggak usah diterima ya, Ra! Soalnya saya juga nggak tau seperti apa orangnya." Aku memberi peringatan pada Rara agar jangan mudah menerima pemberian orang."Baik, Bu. Habisnya tadi maksa ngasihnya. Katanya daripada nggak ada yang mainin. Soalnya itu masih baru banget. Ya, saya akhirnya menerima ini karena bagus juga buat Reza," katanya.Rara benar-benar gadis polos. Dia menganggap setiap orang itu baik. Namun, tidak semua orang itu baik dan benar-benar tulus. "Ya sudah. Nanti lagi, main di dalam saja. Nggak usah keluar segala."Bukannya aku menjaga jarak dengan tetangg
"Iya. Aku habis main aja di Jakarta. Jadi kumampir ke sini. Kamu sama anakmu nggak ada," jawabnya."Ya udah, tunggu ya! Sebentar lagi aku cabut dari sini," kataku.Ia setuju untuk menunggu karena aku bilang kalau akan menitipkan hadiah buat para wisudawati penghuni kost-kostan milikku.***Sampai di rumah, Mas Ari sudah duduk manis di ruang tamu. Ia terlihat semringah. Entah apa yang membuatnya seperti itu."Mas, maaf ya kamu jadi nunggu lama!" ucapku."Nggak apa. Aku juga yang salah, nggak bilang-bilang dulu saat akan berkunjung. Jadi gini deh, kamunya nggak ada," katanya."Mbok, tamuku sudah diberi minum?""Udah ... Ini minum!" Ia mengangkat dua cangkir teh yang sudah habis."Pasti itu teh tanpa gula kan?" tanyaku."Iya dong. Makanya aku bisa meminum dua cangkir seperti ini," katanya."Ya sudah pesan lagi saja minumnya! Aku ganti baju dulu, ya!" ucapku."Silahkan, Sarah."Aku buru-buru ganti pakaian. Kasihan jika Mas Ari menunggu terlalu lama. Setelah itu, aku kembali ke ruang tamu
"Maaf Mas, aku butuh penjelasan darimu," kataku."Kalau memang kamu setuju, aku akan melamarmu dan kita segera menikah," katanya.Seketika aku menyemburkan minuman yang baru saja masuk mulutku."Kenapa tiba-tiba, Mas?" "Memangnya tidak boleh?" tanyanya. "Boleh saja. Tapi ... aku tak tau mau jawab apa kalau ada hal seperti ini," kataku."Sekarang aku benar-benar serius, Sarah. Aku benar-benar ingin menikahimu. Kamu benar-benar berarti buatku," katanya."Tapi, Mas. Aku ini janda loh. Kamu tak pantas mendapatkan wanita sepertiku. Masih banyak gadis cantik dan muda yang lebih dariku, Mas," ucapku."Tidak, Sarah. Aku benar-benar sudah memikirkan ini. Mudah-mudahan aku mendapat jawaban yang memuaskan nanti," ucap Mas Ari.Aku bergeming, kemudian meminum lagi cappucino yang ada di hadapanku. Memikirkan jawaban apa yang harus kuberikan padanya saat ini."Baiklah, akan kupertimbangkan ya, Mas!" jawabku pada akhirnya.Karena posisi kami makan dekat dengan rumah Ibu Almarhum Mas Dafa, aku bern
"Bukan, maksud ibu. Di daerah itu, ibu nggak kenal siapapun kecuali teman ibu. Itu pun udah lama nggak ketemu. Lagian, tak mungkin juga teman ibu ketemu dengan Dafa saat itu," kata ibu.Sepertinya ibu benar-benar menutupi sesuatu. Aku sangat penasaran, tapi tak mungkin kudesak terus. Lebih baik aku mundur saja dulu, biar Ayah yang melanjutkan penyelidikan."Ya sudah, Bu. Karena sudah malam, aku permisi dulu kalau gitu," ucapku."Ya sudah. Kamu pulang sama siapa? Udah malam loh ini," katanya."Ada teman di depan, Bu.""Eh, kamu nggak ibu suguhi. Ya sudah, sebentar. Ibu punya asinan di belakang, kamu bawa ya buat oleh-oleh!" "Aku juga baru bawakan oleh-oleh buat Ibu. Tak usah ibu membawakan untukku, buat ibu saja, Bu," ucapku.Tapi ibu memaksa, ia tetap masuk ke dalam. Otomatis aku menunggunya dulu.Lalu, aku fokus pada ponsel ibu yang tergeletak di meja. Aku tergoda untuk membuka ponsel ibu. Lalu, kusiapkan ponselku untuk memotret jika ada bukti yang bisa kuambil.Saat kulihat di pang
"Sarah, kamu sedang di sini?" ternyata suara Ayah yang membuatku tergerak untuk menengok.Ayah turun dari mobilnya bersama Ibu."Kenapa turun? Ayo jalan terus, sebentar lagi kan sampai rumah," kataku."Nggak, Ayah mau ketemu cucu Ayah di sini," katanya.Kulihat Geri sudah menghilang, tadi dia ada di sini. Oh, mungkin dia sungkan dan langsung pulang."Ya sudah, Yah. Biar kita numpang mobil ayah buat pulang."Kami pun naik mobil Ayah bersama menuju rumahku."Sudah sarapankah ayah dan ibu?" tanyaku karena mereka datang terlalu pagi."Sudah," jawabnya."Sarapan lagi. Aku ada roti Unyil dari Bogor. Ada juga asinan, tapi mungkin nanti saja dimakannya, ya! Agak siangan, maknyus kayaknya," ucapku."Wah, kamu dapet dari mana?" tanya Papa."Asinan dari ibu. Kalau roti beli dijalan saat mau pulang," jawabku.Ayah mengerutkan keningnya, ia mengubah posisi duduk, semakin mendekat padaku."Maksudmu kamu mengunjungi ibunya Dafa?" tanya Ayah."Ya. Tau nggak Yah, Bu, apa yang aku temukan?" "Apa? Duh
"Yah, memangnya Mas Ari sudah punya istri?" tanyaku.Ayah menautkan kedua alisnya, ia malah tertawa. Lalu meminum teh di hadapannya."Bukan Ari, tapi kakaknya, Anto. Ia sudah duda, ia yang akan dijodohkan denganmu. Saat ini ia tinggal di Surabaya," kata Ayah.Aku benar-benar tak habis pikir. Mengapa aku harus menikah dengan kakaknya Mas Ari? Apa karena aku janda? Jadi tak pantas untuk menikah dengan berondong?Pikiran jelek terus saja bersarang di kepalaku."Memangnya anak Om Agus ada berapa, Yah?""Ada dua. Yang mau dijodohkan denganmu anak pertamanya," ucap Ayah. "Mudah-mudahan kamu setuju dengan perjodohan ini," tambahnya.Aku terdiam. Mas Ari sebenarnya juga ingin menikahiku. Bisakah ia meyakinkan orang tuanya agar bisa meminangku?"Aku pikirkan lagi ya, Yah."Setelah itu kami melanjutkan aktivitas bersama. Ayah langsung menghubungi anak buahnya untuk menyelidiki dimana Mas Dafa berada. Termasuk menyelidiki ibu mertua, ia menyimpan sesuatu pastinya.***Saat di kantor, aku menerim
"Memangnya kenapa, Yah?" tanyaku. Aku benar-benar tak mengerti dengan alasan Ayah."Itu karena ... Geri adalah Dafa. Ayah belum memiliki bukti menyeluruh. Tapi, penyelidikan mengarah pada Geri," ungkap Ayah.Irama jantung ini semakin berpacu cepat. Ada rasa takut yang menyelimutiku saat ini. Mengapa semua harus seperti ini?Kenyataan Geri adalah Mas Dafa? Apa bisa kupikirkan dengan akal sehatku sementara wajah mereka memang berbeda. Mas Dafa biasanya mencukur rambutnya sebelum panjang. Ia biasa berambut cepak. Sementara Geri, ia berambut lurus dan dibelah tengah.Wajahnya pun jelas berbeda karena Geri wajahnya mirip artis, ganteng tapi hidungnya nampak bengkak. Aku nggak kepikiran wajahnya hasil operasi plastik.Baru tersadar sekarang, mungkin itu salah satu efek dari operasi plastik. Semua jadi bengkak, jadi wajah berbeda dengan wajah asalnya."Yah, wajah Geri dan Dafa berbeda," ucapku."Dia dan istrinya operasi plastik. Tapi di tempat yang bukan rumah sakit khusus. Ayah kira nanti
"Nggak, Yah. Biarlah hanya aku yang tau mengenai ini. Aku tak mengharapkan ia juga mencintaiku. Cukup dengan perasaanku saja dalam hati ini," sahutku.Ayah mengerutkan keningnya. "Wah, anakku ternyata mencintai orang itu dengan dalam. Kalau kamu mau memperjuangkan cintamu, ayo. Ceritakan pada Ayah, nanti Ayah takkan memaksakan perjodohan ini. Mudah-mudahan kalian nanti jodoh," katanya.Aku tak mungkin bisa mengatakannya. Toh, Ayah merestuiku dengan Anto, tidak dengan Mas Ari."Nggak, Yah. Biarlah kusimpan saja sendiri. Kalau jodoh pun takkan kemana nanti. Yang pasti aku tak mau dengan Mas Anto. Plis Yah jangan paksa aku!" Ayah semakin heran dengan sikapku. Namun ia menerima itu. Aku harus jangan menyesali keputusan nantinya.***Setelah tau kabar dari Ayah, sembunyi-sembunyi aku memasang CCTV di ruangannya Geri. Aku ingin tau kebenaran itu. CCTV dihubungkan dengan ponselku, aku bisa melihat apa yang ia lakukan di sana.Di rekaman hari ini, saat jam istirahat aku melihat ada gambar G