"Nggak bisa, Sarah. Soalnya ia sangat terkait di kasus ini. Semua atas rencana ibunya, jadi ia yang merancang," ucap Ayah."Sangat disayangkan, Yah. Aku kasihan sama ibu. Ia begitu karena sayang pada anaknya. Bisakah Ayah mengeluarkannya?" Ayah mengerutkan dahinya, kemudian matanya menatapku."Tidak!" tegasnya.Kalau Ayah sudah bilang tidak, aku lebih baik diam saja.Lalu Ayahku menerima telepon dari kepolisian, mereka mengabarkan kalau Mas Dafa meninggal kena serangan jantung."Bagaimana ini? Sekarang Dafa meninggal beneran. Mau dibawa ke rumahmu atau gimana?" tanya Ayah.Aku jadi bingung. Selama ini ia dikenal sebagai Geri. Rumahnya juga di sebelah, ibu ditahan. Para ipar jauh, paling adiknya Fania yang bisa kuhubungi."Ya sudah, kita langsung bawa ke pemakaman bisa, yah?" tanyaku pada Ayah. "Karena aku merasa tak enak nanti dengan para tetangga," jawabku."Bisa. Oke kita mandikan sekalian di rumah sakit. Dari sana langsung kita makamkan bareng-bareng," kata Ayah."Baiklah. Aku set
"Siapa mereka, Mas? Mengapa mereka mirip wartawan yang sering meliput berita?" tanyaku."Iya sepertinya mereka memang wartawan. Mungkin kasus Alm Dafa ini sudah terdengar oleh para wartawan, sehingga mereka ingin meliput di sini," ucap Mas Ari.Kemudian Ayah menghampiri kami."Kemarin kebetulan ada yang nanya sama Ayah. Makanya ayah minta mereka datang saja agar semua kebenaran terungkap. Kisah Dafa ini bisa jadi pembelajaran bagi semua pihak, agar tak ada lagi yang bisa mengubah identitasnya seenaknya. Lagipula sejak awal terungkap kemarin, beberapa media cetak online dan offline sudah memberitakannya," ucap Ayah."Iya benar sih, Yah. Tapi kemungkinan nanti aku pun akan terkenal juga kalau seperti ini. Mereka pasti menanyaiku," terkaku. "Aku hanya tak mau kisahku terungkap di media. Nanti aku diberitakan macam-macam lagi, Yah." Aku ketakutan jadinya."Nggak usah khawatir. Nanti kita bisa minta agar tak usah terlalu di ekspos aja. Kalau diwawancarai kamu jawab seadanya, itu lebih baik
Mereka memperkirakan jumlah hukuman sang ibu akan lebih lama dari hukuman sang menantu.Di sana terlihat video dari Ibu dan Ranti yang memakai pakaian tahanan berwarna oranye. Mereka tak mau menatap kamera, tapi hanya bisa menunduk.Aku tak tega melihat ibu. Pasti sangat berat baginya untuk masuk bui. Ia sudah menjadi seorang wanita paruh baya, kemudian punya penyakit tua serta harus kehilangan anaknya juga.Pasti ibu mengalami tekanan psikologis. Aku sangat ingin membantunya karena menanggapi semua ini menggunakan perasaan.Kemudian di hari yang sama, Ayah datang seakan tau apa yang kurasakan. Aku benar-benar butuh berkonsultasi dengan Ayah saat ini. Kedatangannya membuatku lega."Ayah tau kamu pasti sedang memikirkan nasib mantan mertuamu kan?" tanya Ayah."Kok Ayah tau?" tanyaku penasaran."Aku kan Ayahmu, Sarah. Aku sangat-sangat paham. Namun, Ayah inginkan kalau semua ini menjadi pembelajaran bagi ibu mertuamu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya."Ayah memang pria yang tega
Aku terus mengamati keadaan. Setelah terkaget-kaget melihat siapa yang datang, saat ini rasa penasaran berkecamuk dalam dada ini.Ternyata yang datang keluarga Om Agus. Ada Tante Tari, Mas Ari, Mas Anto. Semua lengkap hadir. Aku takut, Ayah masih saja menginginkan agar aku menikah dengan Mas Anto yang jelas-jelas sudah kutolak.Mereka duduk di ruang tamu. Sementara aku jadi tegang dan gemetar di sini. Aku takut sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi.Lalu tanpa dipanggil, asisten rumah tangga di rumah ini menyuguhi minuman dan makanan bagi para tamu. Aku beranjak ke kamar terdekat yaitu kamar yang cmenjadi kamarku di rumah ini.Di dalam kamar, aku menenangkan diri ini, menghela napas dalam-dalam, serta mencoba berpikiran positif."Sarah! Sar." Suara Ibu membuat semuanya menjadi buyar. Ibu mencariku ke seluruh penjuru rumah, beliau tak tahu kalau aku sekarang sedang di dalam kamar."Iya, Bu." Aku mengeluarkan suara juga akhirnya.Kemudian Ibu memasuki kamar ini. Ia duduk di samping ranj
"Baiklah, insya Allah saya terima." Aku menjawab tanpa menatap mata siapapun. Walau seorang janda, rasanya malu jika harus menjawab pertanyaan macam itu. Saat ini pun, rasanya aku ingin memasukkan wajah ini diantara bantal-bantal di kamar."Alhamdulillah." Mereka semua bersyukur dengan jawabanku.Mas Anto dan Mas Ari sama-sama tersenyum. Aku jadi merasa bersalah karena sudah salah sangka di awal.Acara dilanjutkan dengan mengobrol dalam penentuan tanggal pernikahan. Aku manut saja, ikut hasil musyawarah.Dalam diskusi itu, aku tak mau banyak bicara karena aku masih syok dengan acara dadakan ini. Ya, bagiku dadakan karena Ayah juga mendadak memberitahukan padaku serta tak bilang akan ada lamaran. Mungkin maksud Ayah baik, ingin memberikan kejutan padaku.Alhamdulillah, pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi. Karena statusku yang sudah janda, aku meminta pernikahan yang sederhana. Tidak ada pesta mewah nantinya. Semua setuju, aku juga lega jadinya. Alhamdulillah semua berjalan lan
"Bu, ini ada makanan buat ibu. Semoga ibu sehat-sehat ya di sini!""Makasih ya, Sarah. Maafkan kesalahan ibu. Ibu amat sangat menyesal. Semoga kamu memaafkan kesalahan ibu yang amat besar, Sarah," katanya."Aku sudah memaafkan kesalahan ibu. Jadi sekarang yang penting ibu sehat.""Terima kasih, Sarah. Insya Allah ibu ikhlas di sini. Membayar semua perbuatan jahat ibu. Mudah-mudahan tobat ibu diterima," ucap ibu.Kemudian aku duduk di samping ibu. Kubukakan makanan yang dibawa agar ia bisa memakannya sekarang."Bu, kita makan dulu sekarang."Kupersilahkan ibu mengambil nasi dan lauknya. Agar ibu bisa makan enak kali ini. Kurasa makanan di balik jeruji besi pasti rasanya nggak seenak yang kita inginkan.Selama makan, ibu terus meneteskan air matanya. Rasanya akupun sedih saat menatapnya. "Makan yang banyak ya, Bu. Semoga aku nanti bisa nengok ibu kembali," ucapku."Terima kasih sekali lagi, ya, Sarah. Kalau bukan karena kamu, ibu takkan bertahan di sini.""Benarkah, Bu?""Ya, ibu ingin
"Nanti ya. Sebentar lagi, Om Ari jadi papanya Reza.""Hore. Eza suka. Bener ya, Ma!""Bener dong, masa enggak," jawabku.Lalu setelah itu, kami menuju rumah kakek dan neneknya Reza.Kami pun tiba di sana. Mama sedang sibuk menelepon. Sepertinya Mama menelepon sodara-sodara kami di kampung.Aku, Reza dan Rere pengasuh Reza, duduk di ruang tamu. Kuminta ART untuk menyiapkan minum untuk kami."Gimana, Bu? Semua sodara sudah dihubungi semua?" tanyaku."Sudah, Sarah. Tante dan Ommu sudah dihubungi."Alhamdulillah. Terima kasih ya, Bu.""Semua juga sudah siap, termasuk ketring," tambahnya.Akad nikah dan resepsi sederhana diadakan di rumahku. Di sana, kami mengundang para tetangga. Aku tak mau ada pesta mewah karena menurutku tidak terlalu penting.Hal yang terpenting dari sebuah pernikahan bukan pestanya, tapi setelah pesta itu. Mau dibawa kemana bahtera keluarga itu. Makanya di awal kemarin aku juga meminta visi misi Mas Ari, agar pernikahan kami nanti sejalan.Aku tau maunya dia apa, dan
Suara Ayah terngiang di pikiranku, akhirnya terdengar nyata."Eh, iya, Yah.""Sudah lah, tak usah dipikirkan. Kamu pikirkan saja pernikahanmu nanti. Lalu kehidupan kamu setelahnya. Tak usah memikirkan hal lainnya dulu. Biar jadi urusan Ayah," katanya.Luar biasa, ternyata Ayah bisa membaca pikiranku. Kemudian aku mengangguk, menyetujui apa yang dikatakannya.***Beberapa hari ini aku sudah di rumah. Ayah dan ibu setiap hari datang untuk persiapan menjelang hari pernikahan. Aku membantu sebisaku saja. Tak mau memikirkan yang terlalu berat. Karena saat ini ingin merelaksasi otak ini."Sarah, kamu sudah fitting baju akad nikah?""Sudah, Bu. Kemarin sore mereka datang lagi. Alhamdulillah kali ini sudah cocok dengan ukuran badanku.""Bagus.""Sudah siap semua, Bu?" tanyaku memastikan."Sudah. Besok Om dan Tantemu datang. Mereka akan menginap di hotel terdekat. Katanya mau menghadiri akad nikahmu lusa," sahut Ibu."Alhamdulillah. Kenapa nggak nginep di rumah ibu saja?" tanyaku sembari memak