“Kesempatanmu habis. Dia tidak akan membalas perasaanmu.” Ash baru saja berbelok, berjalan menuju kantornya, saat mendengar Ian, sedang bicara pada Ella, di depan pintu kantornya. Ella adalah satu-satunya anggota wanita dalam kesatuan Ash. Ia kemarin juga ikut ke Peru. “Just shut up! Kau berisik!” Ella terlihat kesal, dan menampar bagian belakang kepala Ian. Itu normal, Ian memang bisa membuat siapapun mudah kesal padanya.“Aku serius, kau akan sakit hati kalau terus berharap padanya.” Ian mengeluh sambil mengusap kepalanya. “Aku rasa kau sangat salah kalau mengambil nasehat masalah cinta darinya.” Ash menyahut. Ian dan Ella terperanjat dan Ella tampak pucat saat mengangkat tangannya ke kening—memberi hormat pada Ash. Ia tidak sesantai Ian tentu, kedekatannya berbeda. Pucat itu bukan karena takut tapi, lebih ke arah panik karena seharusnya pembicaraan tadi tidak didengar oleh Ash. “Ini, kau bagi saja.” Ash mengulurkan kotak rapi berpita pink—pada Ella, tapi tangan Ian yang menyam
“Tentu. Saya akan segera berangkat.”Suasana hati Ash yang muram—karena diskusinya dengan Ian yang tidak memuaskan—langsung cerah. Stone baru saja mengatakan kalau ia punya kabar menarik tentang kasus Mae. “Saya bisa mengatakannya lewat telepon, tapi ada hal yang perlu saya perlihatkan.” Stone menyimpan kabarnya sampai mereka bertemu.“OK. Kita bertemu nanti.”Ash menyimpan kembali ponselnya, lalu berjalan ke tengah lapangan, dan meniup peluit. Tangannya terangkat ke atas. Semua tentara yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan, langsung berkumpul di depannya. Berbaris rapi satu lapis, berjumlah hampir seratus orang—minus yang bertugas jaga. Keadaan mereka semua sama—termasuk Ian dan Ella, berkeringat, napas terengah, kumal, dan tentu menderita. Memang itu tujuannya.Ash menyuruh mereka berlari mengelilingi lapangan sebanyak seratus kali tadi. Mereka sudah melakukan separuhnya paling tidak, sudah cukup lumayan. Lapangan itu lebih besar dari ukuran lapangan sepak bola, lima pulu
Ash tidak membacanya dari dokumen Hubert kemarin, karena fokus pada tuntutan. Ia tidak membaca detail bagian itu. “Apa itu? Kenapa…” Ash menjepit mulut Ian dengan tangannya, memintanya diam. “Apa ini berarti Mary akan bebas?” Ash berusaha fokus pada kemajuan. Ash ingin menghapus keterangan itu, dari ingatannya dan dari kenyataan agar tidak ada orang yang tahu. Tetapi sudah terlanjur. Sudah tertulis di banyak dokumen dan sudah banyak orang yang tahu. “Saya sudah mengirim surat otopsi yang asli ini, dan mereka akan menimbang ulang, tapi bukan berarti melenggang bebas. Kemungkinan pembunuhan berencana sudah tidak mungkin, tapi kasus kelalaian yang menyebabkan seseorang meninggal masih sangat bisa.” “Kelalaian bagaimana?” Ian sudah pulih dari tersedak dan heran sekarang. “Bisa jadi korban meminum obat itu atas permintaan tersangka—untuk ‘menghidupkan’ alat….” “Aku paham.” Ash menyela. Tidak perlu mendengar detail lagi. “Dari situ jaksa masih bisa membuat tuntutan. Bukan sengaja,
“Aku akan membuat lebih banyak kalau memang mereka suka.” Mae berdiri akhirnya, tapi tidak lancar. Gerakannya lambat, karena punggungnya sakit. Ia melakukan yoga itu karena alasan yang sama. Anak tiri setan itu tenaganya amat kuat. Benturan pada punggung Mae tadi rupanya cukup kuat. Mae tidak merasakannya saat melarikan diri, tapi setelah sampai dan tenang, Mae menyadari dan berusaha membuatnya menjadi lebih baik dengan melakukan yoga. Melakukan peregangan agar ototnya lemas.“Mae? Apa kau sakit?” Ash tidak lagi berpaling, setelah melihat bagaimana Mae bersusah payah menegakkan tubuh, ia tidak lagi memikirkan hal lain—termasuk bentuk tubuh Mae, dan mendekatinya.“Ada apa?” tanya Ash.“Punggung.” Mae menjelaskan separuh saja lalu duduk di sofa.“Apa punggungmu sakit? Tapi kenapa? Apa karena kue itu? Kau membuat terlalu banyak?”Mae yang sedang berusaha mengelus punggungnya menatap Ash. “Kue?”“Itu… Kau bekerja cukup keras tadi.” Ash hanya melihat bagaimana Mae begitu sigap membuat kue
“Mae?” Ash mengembalikan kesadaran Mae—dengan sentuhan di pipi—yang mudah saja terhanyut setiap kali mengingat monster itu. Mari melihat akhrinya. Mata biru Ash yang menatapnya sangat jernih. Tidak terlihat ingin menikmati, tidak terlihat puas.Bersama kerutan keningnya, Mae hanya melihat khawatir. Peduli, ingin tahu apa yang menimpanya. Mae juga sudah lama tidak melihat itu. Mae harus mengingat dan mencari untuk tahu kalau raut wajah itu adalah bentuk khawatir karena lupa. “Apa sangat sakit? Apa aku salah? ” Ash yang tidak juga mendapat jawaban, tentu semakin panik, mengira Mae semakin sakit karena sentuhannya.“Bukan itu.” Mae menggeleng. “Aku bertemu Dex. Dia…”“Dexter? Dia melakukan ini padamu? ” Ash mencengkram lengan Mae, terkejut, dan murka bersamaan. Ia tidak perlu menebak siapa Dex. Ash melihat nama Dexter dari surat panggilan polisi untuk dirinya. Tidak sulit menyimpulkan siapa. “Kau tahu siapa dia?” Mae terkejut juga pastinya. “Aku melihatnya saat pemakaman itu.” Buk
“Tapi aku tidak bisa mengangkatnya. Ukurannya cukup besar, tapi tetap lincah. Semua bola yang aku lempar ditangkap olehnya, tepat sekali. Oh, namanya Molly. Aku belum menyebutnya kemarin.” Suara Daisy yang bercerita, terdengar terlalu bersemangat, sampai nafasnya berbunyi. Mengerahkan segala tenaga yang dimilikinya untuk mewakili antusias. Mae bisa membayangkan bagaimana cara Daisy saat mengatakannya. Pasti duduk di atas kursi rodanya, sambil mengangkat tangan untuk memperagakan lemparan bola. Daisy selalu ekspresif saat bercerita. Mae berpindah dari dapur, duduk di kursi makan. Punggungnya sudah lebih lumayan, tapi belum bisa dipakai untuk lama berdiri. Daisy bisa sangat lama saat menelepon, lebih baik ia duduk. “Apa dia sangat menurut?” tanya Mae. Seperti biasa, Daisy menceritakan tentang anjing peliharaan dokter Faraday. Mama Carol mengajaknya berkunjung lagi ke sana pagi tadi. “Ya, Poppy terlihat senang sekali saat aku datang. Aku baru membuka pintu taksi, tapi sudah menggongg
“Apa kalian menjual peralatan dapur dari emas?” Mae biasa memakai barang dapur di rumah Barnet yang juga mewah, tapi tidak pernah membeli sendiri. Mae tidak tahu harga peralatan dapur sejatinya. “Tentu tidak, tapi suami Anda memilih yang terbaik dan modern. Saya jamin, setelah ini kegiatan dapur Anda menjadi lebih mudah.” Petugas itu sepertinya dibayar untuk mempromosikan produk juga, selain mengirim dan memasang. Gaya bicaranya persis seperti iklan. “Silakan.” Mae mundur dan membuka pintu selebar mungkin. Memberi ruang saat kardus pertama diangkut masuk. Sore Mae yang tadinya sunyi berubah hiruk pikuk. Ada sekitar lima orang pria yang datang, dan mereka semua masuk ke dapur yang tidak seberapa besar itu, lalu mulai bekerja. Yang pertama, membongkar kompor kuno yang ada di sana. Menggantinya dengan kompor api tiga tungku juga menambahkan induksi satu tungku. Keduanya menempel pada oven yang canggih, Mengkilap dan modern memang. Tapi melihat keduanya, Mae langsung tahu kalau Ash pa
“Jangan! Aku mohon! Aku akan memberikan semuanya!” Dex memohon sambil mengulurkan dompetnya. Tangannya gemetar, menatap orang yang mengancamnya dengan tangan terkepal. Tangan yang tentu saja sudah melayangkan paling tidak tiga pukulan. Wajah Dex tidak lagi dominan pucat putih, tapi ungu dan biru. Ada yang merah juga malah, karena darah. Sudut bibirnya yang baru beberapa saat sembuh, kini kembali robek. Pria yang memakai masker balaclava (masker yang hanya terlihat mata) berwarna hijau, dan kacamata hitam itu, menerima, menarik semua uang Dex yang tersisa di sana, lalu mendengus. “Kau bahkan lebih miskin dariku! Bisa kemana kau dengan lima puluh pound? Hanya lima kali mengumpat saja sudah habis,” ejeknya. “Huh?” Dex yang tadi berlutut sambil menunduk dan memohon, mendongak kebingungan. “Tapi lumayan. Uang ini lebih berguna untukku daripada di tangan anjing lapuk sepertimu.” Pria itu membuang dompet Dex ke bak sampah terbuka yang ada di sampingnya. “Jangan!” Dex berusaha menang