Sabar bangg... Emosian ya kalo soal Mae :))
Dulu Ash memproyeksikan seluruh kebencian yang dipunyainya, hanya kepada Dean, tapi semenjak mendengar Mae menyebut dirinya melakukan kebiasaannya mencari uang itu semenjak umur delapan belas—tanpa sekalipun mengenal pria dalam keadaan wajar, Ash mempunyai objek baru untuk dibenci, yaitu semua pria yang telah bersama Mae.Ash tidak akan memaafkan pria manapun yang bersama Mae—kecuali yang sudah mati. Mereka yang telah membuat Mae menjadi seperti itu. Membuat Mae merasa perlu untuk membuka baju dan mencumbu, saat memerlukan uang. Pria tua hidung belang yang dengan sangat sadar memanfaatkan gadis muda untuk kepuasan adalah setan dalam bentuk lain, dan saat ini, pria seperti itu ada dalam genggaman tangannya. Datang sendiri tanpa harus dicari.“Kau babi busuk!” desis Ash.“Jangan! Jangan! Jangan! Apa yang kau lakukan? Aku mohon lepaskan!” Ian tentu saja dilanda kepanikan luar biasa, dan menarik punggung Ash, beserta tangannya, karena wajah Hubert semakin berwarna ungu—kesulitan bernapa
Ian menyambar dokumen itu dari tangan Ash, dan memeriksanya sendiri, kurang percaya. “Ini gila! Pembunuhan berencana ini terlalu berat. Aku bahkan tidak yakin ayahmu bisa menolongnya.” Ian berbisik lagi—agar Hubert tidak mendengar. Ash masih belum bereaksi, sama sekali tidak menyangka masalahnya akan sebesar ini. Setelah tahu Mae ada di kantor polisi. Ash berharap hanya masalah kesalahpahaman, bukan pembunuhan besar. “Kemarikan.” Hubert meminta dokumen itu lagi karena memang masih diperlukan. “Kenapa kau yang membawa berkas ini?” tanya Ash. Sejak tadi belum paham apa peran Hubert dalam masalah ini. “Aku kekasih…” Hubert diam dan menelan ludah. Membatalkan jawaban itu karena tangan Ash sudah bergerak naik lagi—ditahan oleh Ian, sebelum sampai ke lehernya. “Aku pengacaranya. Mae meminta bantuanku untuk membelanya dalam kasus ini.” Hubert menjelaskan sisanya dengan jujur. “Babi mesum sepertimu rupanya juga bisa menjadi pengacara? Mengejutkan!” Bukan hanya memakai lidah, Ash menanda
“Ini, minum. Aku rasa kau sangat kurang caffeine. Emosi beruntun yang tidak jelas itu mungkin bisa disembuhkan dengan kafein.” Ian mengulurkan kopi di depan Ash, lalu duduk di sampingnya.Air liur Ash nyaris saja menitik. Aroma harum kopi itu sangat menggoda, lidahnya seolah bisa mengecap rasa pahit, gurih, dan sedikit asam dari cairan yang berwarna hitam itu. Tapi Ash menggeleng dan menyingkirkannya. Kalau tidak dimulai sekarang, akan lebih sulit baginya terlepas dari minuman itu. Sekarang saja ia sudah sangat sulit untuk mengatasi dorongan mencandu kafein yang muncul setiap pagi. Kalau menyerah sekarang, maka ia tidak akan pernah bisa berhenti.Ash mungkin bisa menahan diri untuk tidak minum kopi saat bersama Mae, tapi akan ada aroma yang akan dibawanya. Ash bisa menghabiskan enam cangkir kopi biasanya. Aroma kopi tidak pernah lepas darinya. Ada kemungkinan Mae akan mencium aromanya. Itu yang dihindari Ash.“Kau aneh sekali. Kenapa mendadak kau menghindari kopi? ini tidak normal.”
“Ini Mary.” Mae tersenyum, karena memang Mama Carol memintanya untuk tersenyum saat memperkenalkannya pada teman. Teman Mama Carol yang mengundang mereka datang kali ini memiliki mata yang besar, membuka dengan ramah dan tampak tersenyum saat mengusap kepalanya. Mae lebih mudah tersenyum padanya juga.“Dan ini yang sakit?” Pria bermata besar itu berpaling pada Daisy yang ada di atas kursi rodanya. Daisy mengangguk dan menjabat tangan yang terulur padanya. “Daisy.” “Kau malang sekali.” Pria itu mendesah dan menepuk pelan kepala Daisy dengan wajah prihatin. Mama Carol pasti sudah menceritakan apa penyakit Daisy kepadanya. “Daisy sangat kuat tapi, sangat tegar melawan penyakit ini. Aku bangga sekali padanya.” Mama Carol mengecup puncak kepala Daisy, dengan lembut. Pria bermata besar itu mengangguk lagi, dan kembali pada Mae. “Mary, kau tolong bawa Daisy ke sana. Bermainlah di dekat kolam. Jangan jauh-jauh.” Pria itu dengan baik hati memberi izin, sambil menunjuk ke arah kolam. Ada
“Mae, aku sudah memintamu untuk tidak membahasnya.” Ash menggeleng dan menggandeng tangan Mae, turun dari teras kantor polisi itu, sampai masuk ke mobil.“Aku masih ingat, tapi aku tidak ingin percaya.” Mae sejak tadi tidak sedikitpun mengalihkan pandangan dari Ash, yang sekarang kembali berhenti bergerak, batal menghidupkan mobil.“Aku ingin melakukan sesuatu—hal baik untukmu dan kau memilih tidak percaya kalau aku tidak akan meminta apapun? Kau lebih percaya kalau aku meminta tubuhmu. Begitu maksudnya?” Ash bersandar lalu menatap wajah pucat Mae.“Ya, karena masuk akal. Apa yang kau lakukan saat ini sangat tidak masuk akal. Siapa orang yang memberikan ratusan ribu pound tanpa meminta balasan? Keadaan itu hanya dongeng, dan aku benci dongeng.” Mae panjang lebar menjelaskan, nadanya masih menuduh.Ash terdiam, sambil meremas kemudi yang ada di tangannya, karena Mae benar. Dirinya saat ini terlihat tidak meminta imbalan, tapi niatnya tidak semurni itu. Ash melakukan semua itu untuk men
“Aku rasa kau harus makan. Apa kau makan saat di penjara?” tanya Ash.Ia membongkar kotak obat miliknya dan menemukan pereda nyeri. Tapi saat akan memberikannya, Ash meragu.“Aku… makan.” Mae yang sudah duduk di ranjang, mengelus perutnya. Mae tadi tidak merasa lapar, tapi perlahan ingat kalau memang ia tidak menelan makanan apapun semenjak kemarin.Ada makanan yang diantar untuknya, tapi Mae tidak menyentuhnya. Akhirnya dibawa lagi saat jam makan telah lewat. Mae tidak berminat makan, terlalu kalut.“Belum, aku belum makan.” Mae meralat jawabannya sendiri, mungkin itu yang membuatnya pusing.“Sebentar.” Ash meletakkan obat yang di bawanya ke atas meja lalu keluar. Kembali tidak sampai dua menit, membawa bungkusan berwarna hijau tua. Warna yang mengindikasikan kalau bungkusan itu adalah bagian dari peralatan militer yang dibawanya pulang. Memang berasal dari tas yang belum sempat dibongkar Ash semenjak pulang kemarin.“Aku tidak punya makanan lain. Rasanya mungkin keras dan kering, ta
“Apa maksudmu dihentikan?! Aku tidak ingin menghentikannya!” Dex memprotes setelah mendengar keterangan dari polisi yang baru saja menghubunginya lewat telepon itu. Menyebut kalau kasus penyerangannya dihentikan.“Maaf, tapi bukti yang ada ajukan kurang kuat, dan tidak cukup untuk membuat tuntutan.” Polisi itu menjelaskan lagi dan tentu saja Dex mendengus tidak puas.“Apa maksudmu kurang kuat? Aku sudah memberikan bukti autopsi yang jelas. Aku…”“Anda melakukan otopsi setelah beberapa hari penyerangan itu terjadi— tidak langsung saat itu. Kami tidak bisa memakai hasilnya sebagai bukti. Tidak lagi valid.”Dex sangat ingin mengungkap, tapi tahu benar kalau mengumpat pada polisi akan berakibat buruk. Ia Hanya bisa mengepalkan tangan menahan kejengkelan. ia tidak berpikir untuk melakukan otopsi secepat mungkin karena terlalu malu.“Tapi apa kalian sudah memeriksanya? Apa…”“Kami tidak bisa melakukan pemeriksaan apapun kalau buktinya tidak kuat. Hakim tidak menerbitkan surat penangkapann
Mae tadi mengira dirinya sedang bermimpi—atau mungkin sakit kepalanya menjadi semakin parah, karena ia terus mendengar suara pukulan berulang kali. Sampai akhirnya Mae menyadari kalau suara pukulan itu nyata, bukan bagian dari mimpi ataupun sakit kepalanya. Mae juga menemukan sumbernya dengan cepat. Ternyata Ash yang tengah memperbaiki pagar bagian samping. Tidak jauh dari jendela kamarnya Pagar bagian depan rumah itu masih cukup utuh—masih bisa berfungsi dan menutup, tapi untuk bagian samping, hampir semuanya runtuh. Sebenarnya runtuh pun tidak masalah, karena bagian yang runtuh itu tertutupi oleh rumput yang tinggi. Tapi menurut Ash termasuk masalah, karena sekarang ia bekerja keras untuk memperbaikinya. Mae bersandar pada kusen jendela yang terbuka lebar, menikmati teh hangat yang baru saja di bawanya dari dapur, menatap kerja keras yang terjadi di hadapannya. Mae membuka kedua daun jendela yang tingginya hampir sedada itu selebar mungkin, untuk pemandangan yang utuh. Mae meng