Coba dirayu Ash... Pelan2 :))
“Cara… apa…”Mae tidak bisa memberi jawaban, bahkan untuk mengerti saja butuh beberapa saat. Tentu penawaran seperti itu juga belum pernah datang padanya.Biasanya Mae menerima penawaran perhiasan, hadiah, tas, gaun atau barang mewah lainnya, dan tentu penawaran itu bukan pemberian tanpa pamrih. Mae harus memberi balasan atas hadiah itu. Untuk yang ini, sudah pasti Ash tidak memintanya.“Aku tidak pernah merasa harus membuktikan ketulusan pada siapapun, jadi tidak tahu.” Ash mengulang pengakuannya.“Dan kau pikir aku tahu? Aku juga belum pernah merasa harus tahu apakah seseorang tulus,” sergah Mae. Tidak mungkin ia punya jawaban untuk pertanyaan seaneh itu.“Iya juga.” Ash bisa memahami kesulitannya, sekaligus menyadari kalau pertanyaan itu mungkin berlebihan. Ia malah membuat Mae ikut bingung.“Begini saja, apa kira-kira yang paling kau inginkan saat ini? Aku akan memberikannya, tanpa syarat. Hanya aku berikan saja. Tentu dalam bingkai jumlah uang yang aku punya.”Ini lebih mudah seh
“Kau membuat apa? Aromanya harum.” Ash masuk ke dapur, karena seluruh rumahnya kini beraroma manis dan jeruk. Mae baru saja mengeluarkan kue hasil buatannya dari oven.Oven itu tidak rusak ternyata, hanya ada saluran gas di balik pintu yang belum dibuka. Modelnya terlalu kuno sampai Mae tidak tahu cara memakainya. Setelah Ash menunjukkan, kegiatan membuat kue untuk Daisy berjalan lancar.“Lemon layer cake.” Mae mulai menghias kue itu. Ia membelah kue bulat itu menjadi dua, dan menyatukannya lagi memakai whipcream beraroma lemon juga yang sudah dibuatnya.“Kau hobi membuat kue?” tanya Ash—sambil terus mengawasi gerakan Mae yang cekatan. Mae terlihat seperti profesional. Tapi hobi itu tidak terlalu sesuai dengan kehidupan Mae menurut Ash.“Bukan hobi, tapi aku membuatnya untuk Daisy. Ia menyukai kue, tapi tidak bisa sering membelinya. Kue buatan toko terlalu banyak gula dan bahan-bahan yang tidak diketahui. Sekali dua kali tidak masalah, tapi kalau sering, akan lebih aman kalau membuat
“Sebulan?” Mae kecewa tentu. Ia mengira operasi Daisy bisa dilakukan segera setelah ia memberikan uang, bukan harus menunggu lagi.“Ini bukan pembelian, Mae. Kau tidak bisa mendapat barang hanya karena membayar. Aku masih harus memberikan uang ini pada orang yang mengurus daftar donor, agar ia bisa mengubah urutan nama Daisy menjadi nomor satu. Kalau tersedia, Daisy akan mendapat prioritas.” Dokter Faraday menjelaskan dengan lembut dan wajah menyesal.“Prosesnya masih panjang rupanya,” kata Mae dengan muram.“Sebulan itu tidak pasti, asalkan dalam waktu dekat ada donor yang cocok, Daisy bisa langsung dioperasi.” Dokter itu memberikan penghiburan sambil menepuk tangan Mae yang ada di meja. “Aku memberi sebulan itu karena menurut temanku ada donor cukup cocok dengan Daisy sebenarnya, hanya pendonornya masih hidup–koma. Brain dead, hanya ditopang oleh alat bantu medis agar tetap bisa bernafas. Saat ini keluarganya sedang bertikai untuk menentukan nasibnya. Berharap saja mereka bisa cepa
“Kesempatanmu habis. Dia tidak akan membalas perasaanmu.” Ash baru saja berbelok, berjalan menuju kantornya, saat mendengar Ian, sedang bicara pada Ella, di depan pintu kantornya. Ella adalah satu-satunya anggota wanita dalam kesatuan Ash. Ia kemarin juga ikut ke Peru. “Just shut up! Kau berisik!” Ella terlihat kesal, dan menampar bagian belakang kepala Ian. Itu normal, Ian memang bisa membuat siapapun mudah kesal padanya.“Aku serius, kau akan sakit hati kalau terus berharap padanya.” Ian mengeluh sambil mengusap kepalanya. “Aku rasa kau sangat salah kalau mengambil nasehat masalah cinta darinya.” Ash menyahut. Ian dan Ella terperanjat dan Ella tampak pucat saat mengangkat tangannya ke kening—memberi hormat pada Ash. Ia tidak sesantai Ian tentu, kedekatannya berbeda. Pucat itu bukan karena takut tapi, lebih ke arah panik karena seharusnya pembicaraan tadi tidak didengar oleh Ash. “Ini, kau bagi saja.” Ash mengulurkan kotak rapi berpita pink—pada Ella, tapi tangan Ian yang menyam
“Tentu. Saya akan segera berangkat.”Suasana hati Ash yang muram—karena diskusinya dengan Ian yang tidak memuaskan—langsung cerah. Stone baru saja mengatakan kalau ia punya kabar menarik tentang kasus Mae. “Saya bisa mengatakannya lewat telepon, tapi ada hal yang perlu saya perlihatkan.” Stone menyimpan kabarnya sampai mereka bertemu.“OK. Kita bertemu nanti.”Ash menyimpan kembali ponselnya, lalu berjalan ke tengah lapangan, dan meniup peluit. Tangannya terangkat ke atas. Semua tentara yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan, langsung berkumpul di depannya. Berbaris rapi satu lapis, berjumlah hampir seratus orang—minus yang bertugas jaga. Keadaan mereka semua sama—termasuk Ian dan Ella, berkeringat, napas terengah, kumal, dan tentu menderita. Memang itu tujuannya.Ash menyuruh mereka berlari mengelilingi lapangan sebanyak seratus kali tadi. Mereka sudah melakukan separuhnya paling tidak, sudah cukup lumayan. Lapangan itu lebih besar dari ukuran lapangan sepak bola, lima pulu
Ash tidak membacanya dari dokumen Hubert kemarin, karena fokus pada tuntutan. Ia tidak membaca detail bagian itu. “Apa itu? Kenapa…” Ash menjepit mulut Ian dengan tangannya, memintanya diam. “Apa ini berarti Mary akan bebas?” Ash berusaha fokus pada kemajuan. Ash ingin menghapus keterangan itu, dari ingatannya dan dari kenyataan agar tidak ada orang yang tahu. Tetapi sudah terlanjur. Sudah tertulis di banyak dokumen dan sudah banyak orang yang tahu. “Saya sudah mengirim surat otopsi yang asli ini, dan mereka akan menimbang ulang, tapi bukan berarti melenggang bebas. Kemungkinan pembunuhan berencana sudah tidak mungkin, tapi kasus kelalaian yang menyebabkan seseorang meninggal masih sangat bisa.” “Kelalaian bagaimana?” Ian sudah pulih dari tersedak dan heran sekarang. “Bisa jadi korban meminum obat itu atas permintaan tersangka—untuk ‘menghidupkan’ alat….” “Aku paham.” Ash menyela. Tidak perlu mendengar detail lagi. “Dari situ jaksa masih bisa membuat tuntutan. Bukan sengaja,
“Aku akan membuat lebih banyak kalau memang mereka suka.” Mae berdiri akhirnya, tapi tidak lancar. Gerakannya lambat, karena punggungnya sakit. Ia melakukan yoga itu karena alasan yang sama. Anak tiri setan itu tenaganya amat kuat. Benturan pada punggung Mae tadi rupanya cukup kuat. Mae tidak merasakannya saat melarikan diri, tapi setelah sampai dan tenang, Mae menyadari dan berusaha membuatnya menjadi lebih baik dengan melakukan yoga. Melakukan peregangan agar ototnya lemas.“Mae? Apa kau sakit?” Ash tidak lagi berpaling, setelah melihat bagaimana Mae bersusah payah menegakkan tubuh, ia tidak lagi memikirkan hal lain—termasuk bentuk tubuh Mae, dan mendekatinya.“Ada apa?” tanya Ash.“Punggung.” Mae menjelaskan separuh saja lalu duduk di sofa.“Apa punggungmu sakit? Tapi kenapa? Apa karena kue itu? Kau membuat terlalu banyak?”Mae yang sedang berusaha mengelus punggungnya menatap Ash. “Kue?”“Itu… Kau bekerja cukup keras tadi.” Ash hanya melihat bagaimana Mae begitu sigap membuat kue
“Mae?” Ash mengembalikan kesadaran Mae—dengan sentuhan di pipi—yang mudah saja terhanyut setiap kali mengingat monster itu. Mari melihat akhrinya. Mata biru Ash yang menatapnya sangat jernih. Tidak terlihat ingin menikmati, tidak terlihat puas.Bersama kerutan keningnya, Mae hanya melihat khawatir. Peduli, ingin tahu apa yang menimpanya. Mae juga sudah lama tidak melihat itu. Mae harus mengingat dan mencari untuk tahu kalau raut wajah itu adalah bentuk khawatir karena lupa. “Apa sangat sakit? Apa aku salah? ” Ash yang tidak juga mendapat jawaban, tentu semakin panik, mengira Mae semakin sakit karena sentuhannya.“Bukan itu.” Mae menggeleng. “Aku bertemu Dex. Dia…”“Dexter? Dia melakukan ini padamu? ” Ash mencengkram lengan Mae, terkejut, dan murka bersamaan. Ia tidak perlu menebak siapa Dex. Ash melihat nama Dexter dari surat panggilan polisi untuk dirinya. Tidak sulit menyimpulkan siapa. “Kau tahu siapa dia?” Mae terkejut juga pastinya. “Aku melihatnya saat pemakaman itu.” Buk