Arum berasa di depan cermin, ia sedang menyisir rambutnya, dan membersihkan make up tipisnya. Karena ia akhir-akhir ink begitu rajin mencuci muka, setiap mau tidur kulitnya terlihat kencang juga bercahaya. Selesai ia bangkit dan mengambil air wudhu untuk menjalankan shalat isya'. Selesai melantunkan ayat-ayat Allah ia berdoa.'Ya Allah bimbing aku agar bisa menemukan mutiara dibalik semua kesusahan, penuhi hatiku dengan kesabaran. Ya Allah jangan biarkan kesibukan dunia membutakan hatiku. Jangan biarkan hawa nafsu membuatku terperosok dalam maksiat. Tanamkanlah kecintaan terhadap keimanan dalam hati kami dan jadikan iman itu penyejuk kehidupan kami.'Embusan napas teratur Levin menerpa kulit leher Arum. Tangannya melingkar erat di pinggang Arum yang masih duduk. "Kangen, Rum...!"Arum menggeleng melihat tingkah Levin. "Bisa saja, mas ini.""Oh ya, Rum, bagaimana keadaan kakakmu Elang?"DegArum terdiam. "Jaga silaturahmi kan ga papa, Sayang. Lagian aku ga akan cemburu karena aku per
"Bagaimana, sayang? Apa kau nyaman dengan Levin?" tanya Bu Fatma sambil mengaduk bubur kacang hijau buatannya yang masih di atas kompor. "Rasa nyaman itu lebih dari apapun lo, Ma, karena semuanya yang dicari adalah kenyamanan 'kan," jawab Arum tersenyum pada Mamanya. Hanya sebuah perasaan manusiawi ketika kata nyaman terucap, yang jujur tak ingin lagi terulangi. Namun untuk saat ini, Arum yakin kondisinya sudah berbeda. Dan nanti pernikahannya dengan Levin tengah Arum renungi sebagai sesuatu yang sebenarnya tampak seperti sebuah isyarat. "Rum, apa yang kamu ucapkan benar adanya. Namun Mama dan Papa tak salah kan jika menjodohkan kalian?"Arum tersenyum. "Apapun itu pilihan Mama dan Papa yang terbaik.""Ya, mungkin saja Levin sudah jodoh kamu, Nak."Menanggapi perkataan dari sang mama tersebut, terbit seulas senyum yang membawa Arum sedikit mengingat masa lalu. "Mungkin ini berawal dari sebuah kekecewaan, semoga saja Arum dan Levin bisa melewatinya, Ma.""Maksudnya?" "Ya begitulah
Siang yang begitu terik, Zhia dan Naura berusaha mencari alamat yang di berikan tetangga lainnya, kebetulan beliau kerja di perusahaan papanya Arum. Rasa bahagia dirasakan Naura karena bisa menemukan alamatnya bahkan Papanya Elang tak tahu rumah baru Arum. Meskipun alamat rumah agak jauh dari rumah mereka, tapi mereka berdua harus tetap bersyukur karena alamat sudah mereka dapat. Binar-binar bahagia terlihat dari wajah gadis kecil itu, ia tak sabar ingin bertemu dengan Tantenya itu. Naura menggenggam tangan Bundanya dengan tatapan hangat, seraya berada dalam pelukan sang Bunda."Bunda, terima kasih sudah membantu Naura bertemu dengan, Tante Arum ya."Wanita itu mengangguk pelan seraya mengusap rambut panjang Naura. "Iya sayang, sama-sama.""Naura sayang, Bunda."Terlihat wajah wanita itu tersenyum dan memeluk putrinya. "Iya, Bunda juga sayang Naura. Bahkan Zhia selalu tertekan kalau ditanya hal itu. Sewaktu Naura kecil mungkin ia masih bisa dibohongi, oleh papanya, tapi sekarang? Gad
Zhia duduk di tepian kasur kursi sofa besar. Menatap lekat wajah gadis itu dan membuat dadanya berdenyut, menyakitkan. Bayangkan saja Naura begitu dekat dengan Arum wanita berparas cantik juga lembut itu. 'Rasanya sakit sekali dada ini. Maafkan aku, Naura.'Zhia beranjak dari duduknya. Membuka tirai jendela dan melihat hujan rintik-rintik yang belum juga reda. Hujan, hal yang paling dibenci Elang suaminya. Ia harus mengalami kepahitan cinta, padahal dirinya tak bersalah sama sekali. "Nak, kenapa di situ? Ayo diminum," kata Bu Fatma yang membuat Zhia berhenti menatap hujan yang menyedihkan."Terima kasih, Bu.""Tidak. Hanya minuman, Nak."Entah ... hati Mama Fatma merasa menghangat saat berbicara bersama Zhia. Gadis yang lembut hampir sama dengan sifat Arum. Wanita paruh baya itu tersenyum dan berusaha mengobrol dengan Zhia. "Banyak sekali, Bu. Ini saya dan Naura jadi ngrepotin!" kata Zhia. Wanita paruh baya itu tersenyum. Beliau terus memandang Zhia dengan tatapan sedih. Melihat w
Hani menatap nanar pemandangan di depannya, hatinya pun kini tak mampu merasai sakit yang membelenggu, tak dirasakan lagi hangat cinta Damar seperti dulu, haruskah ia memutuskan hubungan dengan Damar. Namun, rasa cintanya kepada Damar semakin menggebu. Dalam diam keputusan kembali, Hani mencoba memanggilnya melalui layar ponselnya, meski telah ratusan kali berakhir sia-sia, Hani mengharap kali ini ada setitik asa agar Damar bisa berubah mesra sepeti dulu. Namun nihil, untuk kesekian kali panggilan Hani kembali diabaikannya.Frustasi ya Hani begitu sakit, ia melempar layar ponselnya itu. Biarlah, hancur seperti dirinya yang kini telah menjadi serpihan kaca yang porak poranda. Toh, keberadaannya tak lagi berguna, Damar tak lagi membalas chatnya ataupun sekedar mengangkat teleponnya. Rasa sakit yang begitu dalam.Apakah dulu Arum merasakan hal yang sama seperti dirinya. Kenapa bisa Damar berubah seperti ini, Hani seperti orang yang linglung, bahkan hartanya tak bisa membeli hati Damar.
Setiap kali berdebat dengan Hani, maka Damar akan kesal sendiri. Sepertinya, dia selalu punya kata-kata yang bisa mematahkan argumen Damar. Namun, rasa penasaran di kepala Hani menuntut untuk selalu melontarkan pertanyaan. Terkadang sampai Hani kesal, karena mungkin suasana hatinya yang tak sinkron Akibatnya, Damar akan marah dan cepat sekali tersulut emosi."Harusnya kita ke Villa saja, Mas."Damar sekilas menatap Hani. " Gak usah protes. Nikmati saja yang ada, kalau tak suka turun saja." Bentaknya membuat Hani merasa kesal. "Maksudku, bukan masalah bagus. Tapi, aku 'kan suka pemandangan indah. Mas," sahutnya lirih. "Gak usah rewel.""Ish! Selalu begitu," desis wanita itu. "Sudah kubilang, aku hanya akan meeting. Bukan dalam rangka liburan bersenang-senang.""Tapi 'kan ...."Hani menggantung ucapan. Sadar kalau ucapannya, tidak akan di tanggapi oleh Damar. "Tapi apa? Kalau merasa tak nyaman, turun.... ""Eh, bukan begitu. Ya ... ya sudahlah, aku menurut saja."Sebenarnya, Hani se
"Rum ...." Panggil Levin. "Eh, sudah pulang. Mas."Arum membawakan tas milik. Levin. "Terima kasih buat buketnya, Mas.""O, buket. Buket apa?"Arum terkejut dan sambil menunggu ucapan suaminya. mengamati wajah terkejut dengan dada berdebar-debar."Lah bukan kah, buket-buket itu dari mu, Mas?" tanya balik Arum. "Coba sini, lihat."Levin tersenyum. Lalu mengajak Arum duduk di kursi, lalu mengamati buket bunga itu. "Enggak mungkin kan, dari Damar. Sayang."Arum menautkan kedua pundaknya. "Entahlah...." Arum semakin penasaran dibuatnya. Bagaimana apakah ini dari kakaknya Elang. Tapi rasanya tak mungkin karena Arum. Sangat percaya dengan sikap Elang yang begitu memegang teguh prinsip. "Ternyata bener, kamu deket sama Elang atau mungkin Damar?""Kok gini, Mas?" Nada Arum bergetar pelan."Apa! Benar kan?"Arum menghela napas. Arum benci saat ia menatap Arum dengan raut penuh dengan kecurigaan. "Astagfirullah ... kau menuduhku, Mas.'"Ya, kenapa? Kamu sendiri, kan, yang selalu bilang, ak
Sopir mengantarkan mereka berdua perempuan cantik berbeda usia itu ke alamat Elindra florist sudah di tangan. Toko bunga yang mengirim bunga kemarin. Mobil berbelok di parkiran toko bunga itu, mereka berdua turun dan memilih bunga. Sembari menunggu waktu luang karena pengunjung toko bunga ini sangat ramai sekali. Aroma wangi bunga-bunga ini menyambut saat Arum masuk ke dalam toko. Begitu sejuk juga bunga-bunga yang begitu fresh tentunya. Seorang pegawai pria itu tersenyum, lalu menghampiri, ke arah Arum juga mamanya. "Pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Sapanya wanita cantik itu ramah."Iya, saya pesan bunga Lili.""Baik, di sebelah sana, Mbak.""Maaf, Mas. Bisakah saya bertemu dengan pemilik toko ini." Arum berusaha bicara dengan hati-hati."Oh, bisa. Sebentar ya, saya panggilkan.""Baik."Lelaki itu segera masuk ke dalam. Ke ruangan yang terlihat wanita cantik sedang sibuk menulis. Arum menunggu sambil mengamati sekeliling dengan dada berdebar-debar. Apakah Elang ataukah Damar.