POV Bella"Terus kamu mau apa? Mau ngadu ke Mas Damar?" Tantangku dengan menatap Rasti penuh intimidasi.Ya, aku sama sekali tak khawatir atau pun takut jika Rasti mengadu yang tidak-tidak ke Mas Damar. Aku ini wanita cerdik. Sudah pasti punya rencana terlebih dahulu sebelum menjalankan misi.Rasti yang melihat tak ada ketakutan di wajahku langsung berlalu begitu saja dengan kesal. Rasain! Enak saja mau minta uang untuk biaya terapi Ibu. Dikira aku akan dengan sukarela memberi gitu? No way! Malah lebih baik Ibu cepat mati saja, agar perhatian Mas Damar hanya untukku. Aku masuk kembali ke kamar, lalu meraih ponsel di atas kasur yang tadi sedang kugunakan untuk merekam video hot-ku. Ya, sebenarnya selama ini aku sering menghabiskan waktu di kamar selama Mas Damar kerja, karena aku sibuk membuat video hot yang nantinya akan kujual dengan harga mahal.Kebetulan sebelum aku menikah dengan Mas Damar, ada seorang mantan pelangganku dulu yang sekarang berdomisli di luar negeri, menawariku
Aku tersenyum penuh arti menanggapi perkataan Dewa."Ayo! Tapi jangan kasar-kasar. Aku sedang hamil."Ia langsung tertegun mendengar penuturanku."Kamu hamil? Hamil anak siapa?" Aku berdecak kesal melihat Dewa yang jadi kepo."Ya anak suamiku lah!" Jawabku dengan wajah yang langsung ditekuk."Oh, ya maaf. Aku kira kamu hamil gak tau bapaknya. Hahaha."Aku memukul keras lengan Dewa yang masih tertawa terbahak mengejekku itu. Kenyataan soal aku tak tahu anak siapa yang kukandung ini, cukup aku saja yang tahu. Aku tak ingin membeberkan hal seperti ini pada satu pun orang, walaupun itu orang yang tak kenal dengan Mas Damar."Tapi, Bell ... Kamu masih melayani orang lain saat sedang hamil begini, memangnya tak takut tertular PMS?" Selidik dewa."Ya aku gak bodoh lah, Wa. Aku pasti minta mereka pakai pengaman.""Waduh! Aku lupa bawa pengaman nih, gimana dong?" Aku berdecak kesal melihat kelakuan Dewa. Dasar cuma modusnya saja itu. Padahal ia hanya pura-pura lupa."Ya sudahlah! Kamu kan pe
Wajah-wajah mereka terlihat terkejut begitu mendengar perkataanku, tak terkecuali Rasti yang baru saja hendak masuk kamar."Bell! Maksud kamu apa? Jangan mengada-ngada hanya karena takut kedokmu terbongkar ya!" Mas Danis terlihat emosi seraya menudingku."Kedok apa maksud, Mas? Memangnya aku punya kedok apa, Mas? Bukannya kalianlah yang selama ini merencanakan sesuatu yang jahat di belakangku dan Mas Damar?" Aku berucap dengan terus berurai air mata."Tunggu, tunggu! Maksud kamu tadi apa, Bell, bilang kalau Mas Damar mengajak kamu berhubungan? Apa dia pernah melecehkan kamu?" Tanya Mas Damar sembari meraih kedua bahuku dan menatapku lekat.Sekilas aku dapat melihat ada kilat kemarahan di bola matanya. Ya, suami mana juga yang tak marah jika mendengar istrinya dilecehkan? Bahkan yang kulihat di berita, seorang aparat negara saja pun bisa menghabisi nyawa orang yang tertuduh melecehkan istrinya. Apalah lagi Mas Damar yang hanya orang biasa.Aku hanya mengangguk lemah menjawab pertanyaan
Masih POV Bella.Mas Damar langsung melepaskan pelukannya dari tubuhku dengan wajah yang terlihat begitu kesal.Ia langsung beralih menuju pintu untuk menyahut panggilan dari Rasti yang semakin keras itu."Ada apalagi sih, Ras? Aku capek, mau istirahat!" Sahut Mas Damar dengan ketus.Terlihat Rasti sedikit melirik ke arahku melalui celah pintu yang dibuka Mas Damar. Tentu dengan sengaja pula aku tak membetulkan pakaian yang sempat tersingkap karena permainan Mas Damar tadi.Ya, hitung-hitung memanas-manasi madu. Supaya ia lebih sadar diri dengan posisinya. Walaupun istri pertama, tapi tetap saja tak pernah dilirik oleh Mas Damar."Tolong Mas Danis, Mas. Dia pingsan di kamar Ibu," ujar Rasti terdengar begitu panik."Astaga, hanya gara-gara Mas Danis pingsan kau mengganggu waktu istirahatku, Ras?" Ucap Mas Damar terdengar kesal.Kupikir Mas Damar akan ikut panik dan langsung menolong kakaknya itu, tapi ternyata aku salah. Ia bahkan tak peduli lagi dengan apa yang terjadi pada kakaknya.
Sepeninggal Mas Damar ke kantor, Rasti pun mulai beraktivitas seperti biasa. Namun kali ini tanpa terdengar sepatah kata pun darinya.Aku tentu kembali masuk ke kamar untuk membuat video-video panas terbaru.Namun belum sempat aku memulai, ponselku sudah berdering duluan tanda ada panggilan masuk.Terlihat pada layar nama Om Daniel tertera di sana. Om Daniel adalah orang yang membeli video-video panas dariku."Ada apa, Om?" Tanyaku begitu panggilan terhubung. Tak biasanya ia menelpon jika bukan karena urusan yang begitu mendesak."Bell, ada seorang pria bule yang ingin memakai jasamu. Dia pelanggan setia semua video-videomu. Dan sudah sejak lama pula dia meminta Om supaya mempertemukanmu dengannya," ujar Om Daniel tanpa basa-basi."Wait, Om! Maksud Om gimana? Dia ingin membookingku begitu? Om kan tahu, kalau aku ini sudah menikah dan sedang hamil pula. Aku sudah jarang menerima bookingan orang-orang, Om," cetusku langsung menolak."Tapi, Bell ... Kali ini ia berani membayar mahal han
"Me-mereka siapa?" Aku bertanya gugup pada Steve yang masih terus memandangiku dengan tatapan datar."Mereka teman-temanku, juga pelangganmu."Tubuhku bergetar hebat mendengar penuturan Steve. Air mata meleleh begitu saja karena ketakutan dan amarah. Apa semua ini rencana Om Daniel? Atau bahkan Om Daniel tak tahu menahu soal hal ini.Aku berusaha mengusap air mata dengan kasar. Aku tak boleh terlihat lemah di hadapan mereka. Walau aku kalah jumlah jika pun harus melawan, tapi tak ada salahnya juga mencoba."Steve, bukankah ini tak sesuai perjanjian? Kembalikan ponselku! Aku akan mencoba menghubungi Daniel terlebih dahulu untuk merundingkan soal ini. Aku tak masalah melayani kalian bertiga, tapi yang jadi masalah ini tak sesuai dengan perjanjian."Selarik senyum sinis tersungging di bibir tipis pria itu. Perlahan ia berjalan mendekatiku yang masih meringkuk di sudut ranjang."Kau pikir Daniel mau menerima teleponmu setelah menerima banyak uang dari kami? Kau itu wanita bo*doh, yang bis
"Dok, saya mohon tolong rahasiakan semua ini dari siapapun. Termasuk dari suami dan keluarga saya. Saya mohon, Dok," pintaku pada dokter berwajah teduh itu.Ia yang seolah mengerti bagaimana syoknya aku menerima kabar itu, terlihat mengangguk dengan penuh tatapan iba. Ia lalu mengangsurkan sebuah ponsel padaku."Ini ... Hubungilah keluarga Mbak dahulu. Supaya mereka tak gelisah. Sebab sudah hampir dua hari Mbak di rumah sakit."Aku terhenyak mendengar penjelasan dokter tersebut. Jadi sudah dua hari aku tak sadarkan diri. Bagaimana ini? Pasti Mas Damar mencari-cariku, karena ponselku tak bisa dihubungi. Alasan apa yang harus kuberikan agar ia tak curiga?Selagi aku berpikir, dokter tersebut pun pamit keluar. Dan setelah berpikir keras, akhirnya aku pun mendapat alasan yang tepat untuk kuberikan pada Mas Damar. Bahkan sepertinya alasan ini akan sangat menguntungkanku.Aku segera mengetik nomor Mas Damar pada ponsel tersebut, dan langsung menghubunginya. Tak berapa lama, terdengar suara
POV RastiAku tertegun mendengar ikrar talak yang diucapkan oleh Mas Damar. Kaget, sudah pasti. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja Mas Damar menceraikanku.Tapi menilik dari sikap Mas Damar maupun Bella, sepertinya ada fitnah baru yang dihembuskan oleh wanita itu. Dan sepertinya fitnah kali ini begitu keji, hingga Mas Damar sampai semarah ini.Aku mengumpulkan semua kekuatan yang kupunya, dan meraih koper yang tadi Mas Damar lemparkan ke hadapanku.Aku tak ingin bertanya apa salahku, dan aku juga tak ingin mengiba lagi pada lelaki dzolim di hadapanku ini. Karena aku tahu, apapun yang kulakukan agar rumah tangga kami bertahan hanya akan sia-sia saja. Lelaki ini sudah buta mata dan hatinya karena Bella.Tak usahkan aku yang orang lain, bahkan Ibu dan saudaranya sendiri saja tak lagi ia percayai."Baiklah, Mas, jika itu keputusanmu. Semoga kau bahagia bersama istri tercintamu itu," ujarku sembari menatap tepat di manik mata Mas Damar. Terlihat memang tak pernah ada cinta di sa