Bencana air bah itu cukup membuat warga di sekitar sana geger. Mereka berbondong-bondong datang ke air terjun guna menyelamatkan Lingga dan rombongannya. Iya. Penjaga air terjun tahu bahwa ada beberapa pengunjung yakni rombongan Lingga yang berwisata ke sana. “Saya sudah melarang mereka ke sana, Pak. Saya bilang air terjun sedang tutup karena cuaca buruk. Tapi mereka ngeyel dan memaksa untuk turun.”“Kenapa bisa kecolongan, sih?”“Jangan salahkan saya, Pak! Saya gak tahu apa-apa. Tadi setelah melarang mereka untuk pergi, saya tinggal ke kamar mandi. Hanya ada Bejo yang menjaga,” ucap salah satu penjaga wisata air terjun.Dua penjaga itu saling menyalahkan satu sama lain. Padahal kenyataannya, mereka berdua telah disuap oleh Clarissa agar mengizinkan rombongannya berenang di sekitaran air terjun. Hal itu melanggar perintah tetua di daerah itu—yang menyuruh wisata air terjun ditutup sementara karena cuaca buruk. Memang sering terjadi air bah seperti ini saat musim hujan.“Sudah, sudah!
Dalam kedalaman hutan yang sunyi, Lingga terbaring tak berdaya di atas ranjang bambu sederhana di rumah pasangan paruh baya, Pak Randi dan Bu Siti. Meskipun dalam keadaan tak sadarkan diri, tubuhnya merasakan ketegangan yang tercipta di sekitarnya. Bu Siti sibuk mempersiapkan ramuan lain, sementara Pak Randi memantau kondisi Lingga.“Baluri ini ke seluruh tubuhnya, Pak!”Bu Siti menyuruh suaminya untuk membaluri tubuh Lingga dengan ramuan berwarna hijau.“Bener-bener ditutupin, Bu?”“Iya. Cepat lakukan! Sebelum anak itu sadar.”Satu jam lamanya pasangan suami istri itu melakukan pekerjaannya. Kini tubuh Lingga benar-benar seperti pepes. Raganya terselimuti ramuan hijau, kemudian dibungkus dengan daun pisang dari kepala hingga kaki. Entah apa maksud pasangan suami istri itu memperlakukan Lingga seperti ini. Ingin mencel4kai ataukah mengobati?"Kasihan anak ini, Bu," ujar Pak Randi dengan suara berbisik.Bu Siti menoleh ke arah suaminya.“Terpaksa, Pak. Kita harus melakukan ini demi keb
“Dimana Sriasih? Kalian sembunyikan dimana dia?”Pak Ariadi beserta antek-anteknya menyambangi kediaman orang tua Sriasih di hutan. Dia marah besar saat mendapati Sriasih menghilang dan kabur dari rumahnya.“Dasar orang misk1n. Gak tahu diri. Anakmu gak becus kerja di rumah saya. Sekarang berani-beraninya dia kabur tanpa menyelesaikan kontrak kerjanya.”Bu Siti dan Pak Randi masih terdiam. Mereka masih menampung semua keluh kesah dan hin4an dari Pak Ariadi.“Udah untung saya terima anakmu bekerja di rumah. Kalau tidak, mau jadi apa dia? Jadi lont3? Sekolah kagak, pinter kagak, cuma modal tubvh s3ksi saja.”Pak Randi mulai bereaksi. Tangannya mengepal—tanda emosi yang mulai memuncak. Dia tak tahan mendengar kata-kata hin4an serta pelec3han yang diucapkan Pak Ariadi terhadap putri kesayangannya.“Mana dia? Jawab!” teriak sang juragan.Bugh!Tanpa pikir panjang, Pak Randi menjawab perintah juragan dengan pvkulan. Dia memvkul wajah Pak Ariadi hingga pria itu tersungkur ke tanah. Antek-ant
“Gak, Pak. Ibu mau di sini saja temani Bapak.”Sepasang suami istri kini saling melepas tangis. Mereka tak bisa hidup tanpa satu sama lain. Tetapi sang lelaki tak tega jika melihat tangis istrinya saat dia meregang nyawa. Untuk itulah Pak Randi menyuruh Bu Siti pergi sebelum dirinya berpulang. Pak Randi tak mau wanitanya melihat raut penderitaan di wajahnya saat tengah di ujung usia.“Jangan ngomong seperti itu lagi, ya, Pak! Ibu gak mau jauh dari Bapak. Kalau Bapak harus berpulang, Ibu juga akan ikut.”Pak Randi meneteskan air mata melihat ketulusan sang istri. Sudah banyak pengalaman hidup yang mereka lalui bersama. Saat senang maupun susah, saat k4ya maupun misk1n. Tapi mereka berdua tak sekalipun saling meninggalkan, saling merendahkan, apalagi saling mengkhianati. Justru setiap cobaan yang datang ke kehidupan mereka, akan dilalui berdua dengan kompak.“Bapak mau makan apa? Biar Ibu bikinin, ya.”Bu Siti menghapus air matanya dan memilih untuk menyiapkan makan untuk suaminya. Sete
“Kita makan dulu di sana, Sri!” ajak Lingga pada teman barunya.Lingga masih memiliki uang sebesar dua ratus ribu rupiah yang dia ambil dari dompet Clarissa kala musibah itu terjadi. Lingga tak punya pilihan lain. Dia sangat memerlukan uang itu agar bisa pergi sejauh mungkin dari lokasi kejadian. Dan kebetulan saat itu, Clarissa menyimpan uang cash di dompetnya. Biasanya wanita itu akan lebih memilih menggunakan kartu debit miliknya ketimbang membawa banyak uang. Lingga tak mungkin mengambil kartu berharga milik Clarissa walaupun dia tahu pin-nya. Karena posisinya pasti akan terlacak oleh Tuan Anthony. Biarlah Lingga dianggap ma-ti atau hilang dalam musibah itu oleh Tuan Anthony.“Ini kota apa namanya, Mas?”Sriasih tak pernah tahu kota ini. Maklum, hidupnya sebagian besar di jalani di hutan dan desanya. Dia tak pernah pergi begitu jauh dari gubuk orang tuanya di hutan.Lingga mengajak Sriasih ke kota yang dekat dengan tempat tinggal keluarga Clarissa. Bukan tanpa sebab dia melakukan
“Ini aku punya kasur lagi satu. Tapi maaf, Mas, cuma muat untuk satu orang saja. Mas gak apa-apa tidur di tikar, ‘kan? Biar kasur ini dipakai Sri aja,” ucap Satria pada Lingga.Lingga mengangguk dan mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya. Malam ini, mereka tak jadi tidur beralaskan lantai berkat Satria. Ternyata pria bertubuh jangkung yang tangan kanannya penuh ta-to, cukup baik pada mereka. Tapi Lingga terus memperingatkan Sri untuk berhati-hati. Dunia ini semakin kejam. Orang yang dianggap baik bisa saja merupakan seekor kancil berakal licik.“Kamu harus tetap hati-hati sama orang-orang di sekitarmu, Sri. Termasuk denganku. Hal ini bukan berarti aku memiliki niat buruk padamu. Tapi aku hanya mengingatkan padamu untuk selalu waspada. Jangan terlalu polos bila hidup di kota!”Setelah mengucapkan Itu, Lingga pun berpamitan untuk tidur di tikar yang ada di pojok ruangan. Sedangkan kasur tipis yang diberikan Satria untuk Sri juga berada di pojok lain ruangan. Mereka membatasi ja
“Duuuh … padahal rencananya aku mau cari kerja hari ini, tapi Mas Lingga gak memberi izin untuk keluar kamar. Bagaimana, nih?”Sriasih merasa bosan ada di kamar, terlebih lagi dia tak punya hiburan untuk menemani dia di dalam kamar.Matahari semakin meninggi. Kini cahayanya telah masuk sepenuhnya lewat celah-celah jendela. Sriasih mulai merasa gerah. Sudah lebih dari 1 jam Lingga meninggalkannya, tapi sampai sekarang tak ada tanda-tanda dia akan pulang.“Ya ampun, aku kebelet.”Sriasih memegang bagian tubuhnya yang ada di bawah perut. Mencoba menahannya untuk sesaat. Tapi semakin ditahan, hal itu justru semakin mengganggunya. Dia hingga membuat gerakan mengapit kedua kakinya untuk menahan rasa itu. Tapi ca-iran kuning itu seolah berada di ujung tanduk, hampir keluar.“Sudah lah. Aku keluar sebentar aja,” gumam Sri.Dia membuka pintu kamar dan mendongakkan kepalanya keluar. Celingak-celinguk melihat situasi di luar kamar. Tak ada orang. Setelah dirasa aman, dia pun menarik tubuh sepenu
“Wah, Mas-nya tampan sekali.”Bulan menoleh ke belakang. Dia mendapati seorang perempuan paruh baya yang memandang suaminya dengan penuh kekaguman. Bahkan rasa kagumnya itu disampaikannya secara terang-terangan.“Kalian penghuni baru di komplek ini, ya?” Ibu-ibu itu menghampiri Bulan dan suaminya, Lingga. Tetangga yang belum dikenalnya itu terus memperhatikan Lingga dari atas sampai bawah. Tentu saja dengan mata berbinar dan senyum terkembang. Bulan merasa risih akan tatapan wanita itu.“Iya. Kami penghuni baru di komplek ini.”“Ooh … kalian ngontrak apa beli? Setahu saya, rumah ini milik Nyonya Darmi.”“Kami membelinya, Bu,” ucap Bulan sekenanya saja. Sebab kesan pertama bertemu tetangga barunya itu tak cukup baik. Hal itu yang menyebabkan Bulan tak begitu suka berlama-lama berbicara dengannya.“Oh, ya. Kenalin ... nama saya Sulis.”Wanita itu menyodorkan tangannya pada Lingga. Entah sengaja atau tidak, Bulan seperti diabaikan.“Eh, iya, Bu. Nama saya Lingga. Salam kenal, ya. Dan in