Share

Salah Tetangga
Salah Tetangga
Author: celotehcamar

Puja-Puji

“Wah, Mas-nya tampan sekali.”

Bulan menoleh ke belakang. Dia mendapati seorang perempuan paruh baya yang memandang suaminya dengan penuh kekaguman. Bahkan rasa kagumnya itu disampaikannya secara terang-terangan.

“Kalian penghuni baru di komplek ini, ya?”

Ibu-ibu itu menghampiri Bulan dan suaminya, Lingga. Tetangga yang belum dikenalnya itu terus memperhatikan Lingga dari atas sampai bawah. Tentu saja dengan mata berbinar dan senyum terkembang. Bulan merasa risih akan tatapan wanita itu.

“Iya. Kami penghuni baru di komplek ini.”

“Ooh … kalian ngontrak apa beli? Setahu saya, rumah ini milik Nyonya Darmi.”

“Kami membelinya, Bu,” ucap Bulan sekenanya saja. Sebab kesan pertama bertemu tetangga barunya itu tak cukup baik. Hal itu yang menyebabkan Bulan tak begitu suka berlama-lama berbicara dengannya.

“Oh, ya. Kenalin ... nama saya Sulis.”

Wanita itu menyodorkan tangannya pada Lingga. Entah sengaja atau tidak, Bulan seperti diabaikan.

“Eh, iya, Bu. Nama saya Lingga. Salam kenal, ya. Dan ini istri saya, Bulan.”

Lingga memperkenalkan Bulan sebagai istrinya. Raut wajah wanita itu sedikit berubah. Seperti ada kekecewaan yang menyeruak di kepalanya.

“Jadi Mbak ini istri Nak Lingga?” tanya Bu Sulis sembari menunjuk Bulan.

“Iya, Bu.”

Entah kenapa, Bulan tak suka dengan respon suaminya yang masih berusaha ramah pada tetangga aneh itu.

“Oooh … saya kira dia kakak kamu. Soalnya Mbak ini terlihat lebih tua. Gak serasi sama Nak Lingga.”

'Kurang ajar. Berani-beraninya ibu-ibu komplek ini menghina fisikku di depanku.'

Bulan membatin. Jika amarah bisa dilihat dengan kasat mata, mungkin tubuh Bulan saat ini dikelilingi oleh api.

“Eh, he … Umur istri saya memang lebih tua, Bu. Lebih tua 3 tahun dari saya. Tapi menurut saya, dia masih terlihat sangat cantik, kok. Bahkan banyak yang mengatakan saya beruntung memilikinya.” Lingga membela istrinya di depan tetangga aneh itu.

“Oooh, gitu. Sepertinya Nak Lingga seumuran anak saya, ya. Kalau disandingkan, mungkin kamu lebih cocok dengan anak saya. Mau dikenalin, gak?”

Bu Sulis sudah siap menggaet tangan Lingga dan membawa pria itu ke rumahnya.

Tapi Bulan yang sedari tadi hanya diam, lantas menarik tangan sang suami ke dalam rumah. Dia meninggalkan wanita tua itu sendirian di depan rumahnya. Hatinya benar-benar kesal dan geram. Kesan pertama bertemu dengan tetangga baru, dia justru harus terpancing emosi. Basa-basi macam apa itu? Hanya baik pada Lingga dan tidak pada Bulan.

--------------------

Siang berubah menjadi malam. Pasangan suami istri yang baru saja menempati rumah barunya, terlihat bersantai di ruang tamu. Lelah seharian menaruh barang-barang di rumah itu.

“Mas, kok laper, ya? Kita pesen makanan dulu, yuk!" ajak Bulan pada Lingga. Dia belum sempat memasak makan malam. Selain bahan makanan yang belum dibeli, dirinya juga merasa sangat lelah.

“Eh, jangan mesen lewat online, Sayang! Mending kita keluar aja. Sekalian jalan-jalan malam,” usul sang suami yang langsung disetujui sang istri.

“Ayo, Mas!" ajak Bulan pada suaminya.

“Yakin mau pakai baju itu? Kita, 'kan mau keluar, Sayang.”

“Gak apa, Mas. Toh, deket-deket sini. Baju ini juga bagus, kok. Ayo, aku udah laper.”

Bulan tak peduli akan penampilan dirinya yang hanya memakai baju tidur lusuh kesukaannya. Dia hanya perlu menutupinya dengan jaket dan siap untuk pergi keluar rumah.

Tok

Tok

Tok

Baru saja ingin pergi jalan-jalan menghirup udara malam, pintu rumah mereka tiba-tiba diketuk. Mereka kedatangan tamu. Tapi siapa tamu itu?

Ceklek

Bulan membuka pintu. Sang suami juga ada di samping dirinya.

“Loh, Bu Sulis?” tanya Bulan.

“Halo, Nak Lingga. Ini loh anak saya. Cantik, ‘kan?”

Bu Sulis tak memedulikan sapaan Bulan dan justru langsung beralih ke Lingga. Bahkan ia tak segan-segan memperkenalkan anaknya pada pria itu.

“Ayo, Nesi … kenalan sama Nak Lingga!”

Bu Sulis memaksa anaknya untuk mengulurkan tangan pada Lingga. Sedangkan sang anak yang bernama Nesi terlihat tertunduk dan tersenyum malu.

Bulan sangat geram melihat semua ini. Saat dia melihat Nesi mulai mengulurkan tangan ke arah suaminya, dengan tujuan berkenalan, Bulan langsung mengambil tindakan. Dia menyambut uluran tangan wanita itu dan mencengkramnya dengan kuat.

“Aww … sakit, Mbak.” Wanita lemah gemulai itu berteriak kesakitan.

“Eh, ini apa-apaan? Kenapa kamu membuat anak saya kesakitan?” Ibunya marah dan menegur Bulan.

“Pergi kalian dari sini!” usir Bulan dengan nada yang masih dipelankan.

“Sudah, Sayang! Jangan emosi! Jangan buat keributan dengan tetangga baru.” Lingga mencoba menenangkan sang istri.

Mendengar ucapan sang suami, justru Bulan kian meradang. Bisa-bisanya sang suami tak marah melihat istrinya diperlakukan seperti ini pada orang lain. Dia justru disuruh untuk mengalah pada orang-orang kurang ajar itu. Apa mereka tak makin ngelunjak?

“Iya nih. Mbak Bulan ini marah-marah terus dari tadi siang. Apa Nak Lingga sering diperlakukan seperti ini olehnya? Tahan, Nak?” tanya Bu Sulis, seolah memprovokasi Lingga.

“Bu. Tolong, ya! Saya benar-benar lelah. Malas untuk berdebat apalagi Ibu itu orang tua. Jadi saya mohon dengan sangat. Ibu pulang saja! Ajak juga anak Ibu itu. Suami saya gak mau kenalan,” usir Bulan pada Bu Sulis.

“Kamu ngusir saya?”

Bulan mengangguk lemah. Dia benar-benar malas untuk berdebat.

“Kamu juga setuju sama istrimu, Nak? Ngusir saya?” Kini Bu Sulis bertanya pada Lingga.

Karena tak mau mencari masalah dengan istrinya, Lingga lantas mengangguk, mengiyakan pertanyaan tetangganya.

“Jadi suami jangan lembek, Nak! Kalau istrimu salah jangan dibela. Istrimu itu terlalu lancang dan gak sopan sama orang lain,” ucap Bu Sulis, seolah menasehati Lingga.

“Ayo, Nes! Kita pulang!”

Setelah kepergian tetangga aneh itu dari hadapan mereka, Lingga lantas mengajak istrinya berbicara. Dia menyuruh Bulan untuk lebih bersabar menghadapi orang-orang seperti itu.

“Kamu enak nyuruh sabar, Mas. Karena kamu gak ngerasain apa yang aku rasain. Atau kamu justru menikmati semua ini? Dipuji dan diidam-idamkan oleh Ibu dan anak itu?”

Bulan langsung menyampaikan uneg-uneg yang ada di hatinya pada sang suami. Dia benar-benar tak suka dengan sikap sang suami yang seolah menyalahkan dirinya. Menganggap dirinya adalah wanita yang emosian. Padahal, semua ini wajar. Siapa yang tak emosi jika diremehkan seperti ini?

“Iya … iya, aku minta maaf. Ayo kita berangkat sekarang, keburu malam nih. Nanti dagangnya pada tutup,” ucap Lingga mengalihkan topik.

“Gak usah. Aku udah gak selera.”

Sang istri justru meninggalkan Lingga sendirian di depan rumah. Wanita itu memilih masuk ke dalam kamarnya dan tidur. Dengan perasaan berkecamuk serta lapar yang tertahan, dia mencoba untuk menutup matanya. Berusaha mengundang kantuk agar dirinya bisa terbang ke alam mimpi.

----------------------

Pagi-pagi buta, Bulan sudah bangun dari tidurnya. Dia lantas memesan makanan lewat aplikasi online. Ingin memuaskan dahaga dan lapar yang sempat tertahan kemarin … sekalian mencarikan sarapan untuk suaminya.

Tiiing

Setelah menunggu selama tiga puluh menit, akhirnya ada notifikasi di ponselnya yang memberitahukan tentang kedatangan sang kurir makanan. Secepat kilat, Bulan menghampirinya ke depan rumah.

Ceklek

“Apa-apaan ini?”

Sesaat setelah membuka pintu rumah, Bulan langsung emosi. Bukan dengan kurir makanan tapi dengan kondisi di depan teras rumahnya. Dia menutup hidungnya rapat-rapat. Begitu pun dengan sang kurir.

“Ini, Mbak.” Karena menyadari sang pemesan sedang emosi, kurir itupun cepat-cepat menyerahkan pesanannya pada Bulan. Tak perlu menagih uang lagi karena Bulan sudah membayarnya lewat aplikasi. Hal itu memudahkan si kurir bisa cepat lari dan tak mau terlibat masalah.

“Astaga. Siapa yang buang kotoran kucing ini di sini?” Bulan kembali meradang.

--------------------

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status