“Wah, Mas-nya tampan sekali.”
Bulan menoleh ke belakang. Dia mendapati seorang perempuan paruh baya yang memandang suaminya dengan penuh kekaguman. Bahkan rasa kagumnya itu disampaikannya secara terang-terangan. “Kalian penghuni baru di komplek ini, ya?” Ibu-ibu itu menghampiri Bulan dan suaminya, Lingga. Tetangga yang belum dikenalnya itu terus memperhatikan Lingga dari atas sampai bawah. Tentu saja dengan mata berbinar dan senyum terkembang. Bulan merasa risih akan tatapan wanita itu. “Iya. Kami penghuni baru di komplek ini.” “Ooh … kalian ngontrak apa beli? Setahu saya, rumah ini milik Nyonya Darmi.” “Kami membelinya, Bu,” ucap Bulan sekenanya saja. Sebab kesan pertama bertemu tetangga barunya itu tak cukup baik. Hal itu yang menyebabkan Bulan tak begitu suka berlama-lama berbicara dengannya. “Oh, ya. Kenalin ... nama saya Sulis.” Wanita itu menyodorkan tangannya pada Lingga. Entah sengaja atau tidak, Bulan seperti diabaikan. “Eh, iya, Bu. Nama saya Lingga. Salam kenal, ya. Dan ini istri saya, Bulan.” Lingga memperkenalkan Bulan sebagai istrinya. Raut wajah wanita itu sedikit berubah. Seperti ada kekecewaan yang menyeruak di kepalanya. “Jadi Mbak ini istri Nak Lingga?” tanya Bu Sulis sembari menunjuk Bulan. “Iya, Bu.” Entah kenapa, Bulan tak suka dengan respon suaminya yang masih berusaha ramah pada tetangga aneh itu. “Oooh … saya kira dia kakak kamu. Soalnya Mbak ini terlihat lebih tua. Gak serasi sama Nak Lingga.” 'Kurang ajar. Berani-beraninya ibu-ibu komplek ini menghina fisikku di depanku.' Bulan membatin. Jika amarah bisa dilihat dengan kasat mata, mungkin tubuh Bulan saat ini dikelilingi oleh api. “Eh, he … Umur istri saya memang lebih tua, Bu. Lebih tua 3 tahun dari saya. Tapi menurut saya, dia masih terlihat sangat cantik, kok. Bahkan banyak yang mengatakan saya beruntung memilikinya.” Lingga membela istrinya di depan tetangga aneh itu. “Oooh, gitu. Sepertinya Nak Lingga seumuran anak saya, ya. Kalau disandingkan, mungkin kamu lebih cocok dengan anak saya. Mau dikenalin, gak?” Bu Sulis sudah siap menggaet tangan Lingga dan membawa pria itu ke rumahnya. Tapi Bulan yang sedari tadi hanya diam, lantas menarik tangan sang suami ke dalam rumah. Dia meninggalkan wanita tua itu sendirian di depan rumahnya. Hatinya benar-benar kesal dan geram. Kesan pertama bertemu dengan tetangga baru, dia justru harus terpancing emosi. Basa-basi macam apa itu? Hanya baik pada Lingga dan tidak pada Bulan. -------------------- Siang berubah menjadi malam. Pasangan suami istri yang baru saja menempati rumah barunya, terlihat bersantai di ruang tamu. Lelah seharian menaruh barang-barang di rumah itu. “Mas, kok laper, ya? Kita pesen makanan dulu, yuk!" ajak Bulan pada Lingga. Dia belum sempat memasak makan malam. Selain bahan makanan yang belum dibeli, dirinya juga merasa sangat lelah. “Eh, jangan mesen lewat online, Sayang! Mending kita keluar aja. Sekalian jalan-jalan malam,” usul sang suami yang langsung disetujui sang istri. “Ayo, Mas!" ajak Bulan pada suaminya. “Yakin mau pakai baju itu? Kita, 'kan mau keluar, Sayang.” “Gak apa, Mas. Toh, deket-deket sini. Baju ini juga bagus, kok. Ayo, aku udah laper.” Bulan tak peduli akan penampilan dirinya yang hanya memakai baju tidur lusuh kesukaannya. Dia hanya perlu menutupinya dengan jaket dan siap untuk pergi keluar rumah. Tok Tok Tok Baru saja ingin pergi jalan-jalan menghirup udara malam, pintu rumah mereka tiba-tiba diketuk. Mereka kedatangan tamu. Tapi siapa tamu itu? Ceklek Bulan membuka pintu. Sang suami juga ada di samping dirinya. “Loh, Bu Sulis?” tanya Bulan. “Halo, Nak Lingga. Ini loh anak saya. Cantik, ‘kan?” Bu Sulis tak memedulikan sapaan Bulan dan justru langsung beralih ke Lingga. Bahkan ia tak segan-segan memperkenalkan anaknya pada pria itu. “Ayo, Nesi … kenalan sama Nak Lingga!” Bu Sulis memaksa anaknya untuk mengulurkan tangan pada Lingga. Sedangkan sang anak yang bernama Nesi terlihat tertunduk dan tersenyum malu. Bulan sangat geram melihat semua ini. Saat dia melihat Nesi mulai mengulurkan tangan ke arah suaminya, dengan tujuan berkenalan, Bulan langsung mengambil tindakan. Dia menyambut uluran tangan wanita itu dan mencengkramnya dengan kuat. “Aww … sakit, Mbak.” Wanita lemah gemulai itu berteriak kesakitan. “Eh, ini apa-apaan? Kenapa kamu membuat anak saya kesakitan?” Ibunya marah dan menegur Bulan. “Pergi kalian dari sini!” usir Bulan dengan nada yang masih dipelankan. “Sudah, Sayang! Jangan emosi! Jangan buat keributan dengan tetangga baru.” Lingga mencoba menenangkan sang istri. Mendengar ucapan sang suami, justru Bulan kian meradang. Bisa-bisanya sang suami tak marah melihat istrinya diperlakukan seperti ini pada orang lain. Dia justru disuruh untuk mengalah pada orang-orang kurang ajar itu. Apa mereka tak makin ngelunjak? “Iya nih. Mbak Bulan ini marah-marah terus dari tadi siang. Apa Nak Lingga sering diperlakukan seperti ini olehnya? Tahan, Nak?” tanya Bu Sulis, seolah memprovokasi Lingga. “Bu. Tolong, ya! Saya benar-benar lelah. Malas untuk berdebat apalagi Ibu itu orang tua. Jadi saya mohon dengan sangat. Ibu pulang saja! Ajak juga anak Ibu itu. Suami saya gak mau kenalan,” usir Bulan pada Bu Sulis. “Kamu ngusir saya?” Bulan mengangguk lemah. Dia benar-benar malas untuk berdebat. “Kamu juga setuju sama istrimu, Nak? Ngusir saya?” Kini Bu Sulis bertanya pada Lingga. Karena tak mau mencari masalah dengan istrinya, Lingga lantas mengangguk, mengiyakan pertanyaan tetangganya. “Jadi suami jangan lembek, Nak! Kalau istrimu salah jangan dibela. Istrimu itu terlalu lancang dan gak sopan sama orang lain,” ucap Bu Sulis, seolah menasehati Lingga. “Ayo, Nes! Kita pulang!” Setelah kepergian tetangga aneh itu dari hadapan mereka, Lingga lantas mengajak istrinya berbicara. Dia menyuruh Bulan untuk lebih bersabar menghadapi orang-orang seperti itu. “Kamu enak nyuruh sabar, Mas. Karena kamu gak ngerasain apa yang aku rasain. Atau kamu justru menikmati semua ini? Dipuji dan diidam-idamkan oleh Ibu dan anak itu?” Bulan langsung menyampaikan uneg-uneg yang ada di hatinya pada sang suami. Dia benar-benar tak suka dengan sikap sang suami yang seolah menyalahkan dirinya. Menganggap dirinya adalah wanita yang emosian. Padahal, semua ini wajar. Siapa yang tak emosi jika diremehkan seperti ini? “Iya … iya, aku minta maaf. Ayo kita berangkat sekarang, keburu malam nih. Nanti dagangnya pada tutup,” ucap Lingga mengalihkan topik. “Gak usah. Aku udah gak selera.” Sang istri justru meninggalkan Lingga sendirian di depan rumah. Wanita itu memilih masuk ke dalam kamarnya dan tidur. Dengan perasaan berkecamuk serta lapar yang tertahan, dia mencoba untuk menutup matanya. Berusaha mengundang kantuk agar dirinya bisa terbang ke alam mimpi. ---------------------- Pagi-pagi buta, Bulan sudah bangun dari tidurnya. Dia lantas memesan makanan lewat aplikasi online. Ingin memuaskan dahaga dan lapar yang sempat tertahan kemarin … sekalian mencarikan sarapan untuk suaminya. Tiiing Setelah menunggu selama tiga puluh menit, akhirnya ada notifikasi di ponselnya yang memberitahukan tentang kedatangan sang kurir makanan. Secepat kilat, Bulan menghampirinya ke depan rumah. Ceklek “Apa-apaan ini?” Sesaat setelah membuka pintu rumah, Bulan langsung emosi. Bukan dengan kurir makanan tapi dengan kondisi di depan teras rumahnya. Dia menutup hidungnya rapat-rapat. Begitu pun dengan sang kurir. “Ini, Mbak.” Karena menyadari sang pemesan sedang emosi, kurir itupun cepat-cepat menyerahkan pesanannya pada Bulan. Tak perlu menagih uang lagi karena Bulan sudah membayarnya lewat aplikasi. Hal itu memudahkan si kurir bisa cepat lari dan tak mau terlibat masalah. “Astaga. Siapa yang buang kotoran kucing ini di sini?” Bulan kembali meradang. --------------------Saat mengamati keadaan sekitar, Bulan tak melihat hal atau orang yang mencurigakan. Komplek perumahan ini memang tak memiliki pagar hingga orang-orang yang ingin bertamu ataupun berbuat tak baik bisa langsung menuju teras rumah.Sepertinya orang-orang di komplek ini masih ada di dalam rumahnya masing-masing. Tak ada yang keluar saat Bulan sedang marah-marah karena kotoran kucing misterius.Harusnya, saat-saat seperti ini, dia bisa menghirup udara segar dengan dalam. Tapi sekarang mana bisa? Kotoran kucing ini mengganggu penciuman.“Gila. Pagi-pagi sudah dikasi tugas bersihin kotoran kucing. Gak tahu apa aku lagi lapar. Kalau kutahu siapa pelakunya, kan kuhajar.” Bulan ngedumel sambil terus membersihkan kotoran itu.“Sayang, kamu di sini, toh?” Lingga sudah bangun dan dia mendapati istrinya sedang menyapu di teras rumah.“Aku laper, Sayang,” lanjut Lingga.“Aku sudah beliin sarapan, Mas. Itu masih kugantung di gagang pintu. Aku bersihin kotoran kucing ini. Pagi-pagi udah diteror.”“Hah
“Sudah pas. Sekarang tinggal dibagikan ke tetangga terdekat.”Sepulang kerja, Bulan begitu sibuk menyiapkan bolu buatannya untuk dibagikan ke tetangga---berkenalan dengan orang-orang di lingkungan perumahan ini. Tentu Bu Sulis termasuk dalam daftar-nya. Walaupun hatinya masih jengkel, tapi dia tetap berusaha untuk berbasa-basi dengan memberikan kue bolu buatannya.“Nanti aku kasi aja kue ini, trus pulang. Malas juga bertatap muka apalagi berbincang lama dengan mereka,” gumam Bulan saat dia memikirkan langkah apa yang mau diambil saat pergi ke rumah Bu Sulis.Satu per-satu tetangga dikunjungi. Ternyata mereka semua sangat ramah dan menyambut baik kedatangan wanita itu. Sikapnya jauh berbeda dengan tadi pagi. Saat melihat keributan antara Bulan dan Bu Sulis.“Salam kenal Mbak Bulan. Semoga betah ya di sini. Main-main saja ke sini kalau bosen di rumah.”Rata-rata begitulah ucapan basa-basi dari pemilik rumah yang Bulan datangi satu per satu. Kini kue-nya tersisa dua. Satu untuk keluarga
“Weekend ini lu mau kemana, Lan?”Pertanyaan itu terlontar dari mulut teman-temannya. Biasanya Bulan paling semangat bercerita tentang liburan akhir pekan yang akan dia jalani. Tapi minggu ini berbeda. Bulan terlihat lesu dan jarang bicara. Hal itu tentu dikarenakan masalah dengan tetangga barunya.“Gak tahu, nih. Kayaknya di rumah aja. Lagi males kemana-mana.”Biasanya Bulan paling senang saat tiba akhir pekan. Kalaupun harus di rumah saja bersama suaminya, dia tetap bahagia. Aman dan tentram. Tapi di lingkungan baru ini, sepertinya dia tidak bahagia. Enggan kalau-kalau tetangganya kembali membuat ulah. Belum lagi sang suami yang tak bisa bersikap tegas dan justru menyambut baik kehadiran mereka. Bagi Bulan, tak apa bersikap cuek untuk orang-orang seperti mereka.“Gue duluan, ya, Lan.”“Ya … ya. Gue juga dah mau pulang.”Bulan bekerja di salah satu bank swasta yang cukup terkenal. Memiliki jabatan sebagai credit analyst. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan serta menganalisis data
“Ini terakhir kalinya aku mau meladeni Bu Sulis, Mas. Aku harus beri peringatan pada Ibu dan anak itu. Mereka tidak boleh mengganggu kita lagi,” gumam Bulan seorang diri.Tanpa pikir panjang, dia lantas mendatangi Bu Sulis. “Apa-apaan ini?” tanya Bu Sulis.“Kalau mau bertamu, yang sopan dong, Mbak!” timpal Nesi.“Kalian gak nyadar? Kalian sendiri setiap bertamu selalu gak sopan. Aku ke sini cuma mau ngasi peringatan sama kalian! Jauhi suamiku! Jangan ganggu rumah tanggaku!”“Siapa yang ganggu? Nak Lingga sendiri senang menerima kami. Suamimu itu sudah bosan berumah tangga dengan wanita tua dan mandul kayak kamu.”Bagai disambar petir, Bulan merasa sakit hati dengan ucapan Bu Sulis. Genggaman tangannya semakin kuat. Ingin sekali meninju wanita paruh baya itu.Beberapa tetangga mulai mengintip dari rumahnya masing-masing. Bulan kembali jadi tontonan.“Kasihan Nak Lingga. Masih muda, sukses kerja di bank, dan juga tampan. Sayang kalau menikah dengan wanita yang lebih tua. Apalagi kamu t
Sudah dua hari ini Bulan dan Lingga tak saling bicara. Hidup seatap namun tak saling tatap. Bulan tetap melayani kebutuhan suaminya sebelum dan sepulang kerja. Dia juga mencoba untuk bersikap biasa saja. Bahkan sering mencoba mengajak berbaikan. Tapi Lingga selalu menghindarinya. Sampai akhirnya Bulan lelah dan lebih memilih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan.“Kamu kenapa, Lan? Lagi sakit?”Bulan menggeleng. Dia tak menatap lawan bicaranya. Justru lebih memilih berpangku tangan di meja kerjanya.“Mukamu pucet banget. Ada masalah?”Teman-temannya berusaha menghibur dan mencari tahu apa yang terjadi. Tapi Bulan tetap menutup diri. Mengatakan dirinya baik-baik saja. Hingga akhirnya orang-orang di sekitarnya pergi dan memberi ruang untuk Bulan menyendiri.TriiingTriiingTriiingTiba-tiba ada telepon dari ibu mertuanya. Sebenarnya Bulan masih enggan berbicara dengan siapapun. Tapi ini berbeda. Telepon ini dari mertuanya.SreetBulan menggeser layar di ponselnya. Dia menerima telepon me
“Tolong kuenya bawa keluar lagi, Nak! Banyak tetanggamu yang hadir.”Sesuai perintah Mama Mery, Bulan pun membawa kue-kue lainnya ke ruang tamu—tempat orang-orang berkumpul.Senang rasanya melihat tamu-tamu datang dengan wajah gembira. Mereka pun tertawa dan menikmati kudapan dengan senang. Bulan menengok ke arah luar. Para lelaki termasuk suaminya juga asik bercengkrama dan tertawa. Dalam hatinya, Bulan menginginkan semuanya baik-baik saja. Tetangga aneh serta isu adanya orang ketiga di pernikahan mereka, diharapkan hanyalah sebuah mimpi. Bulan tak ingin jika rumah tangganya mulai rapuh sejak pindah ke rumah baru.“Tetangga depan gak diundang, Lan?”Sella menggeser tempat duduknya agar lebih dekat dengan Bulan. Dia pun menanyakan soal keluarga Bu Sulis yang tak terlihat batang hidungnya.“Aku malas datang ke sana untuk memberi undangan langsung, Mbak. Hatiku terlalu sakit. Jika mereka datang, akan kuterima. Jika tidak, juga tak masalah. Lagipula, aku sudah mengabari lewat grup WA. S
“Ibu mau tinggal di sini dulu, Lan,” ucap Lingga pada Bulan.Tak masalah. Toh, Bu Ines adalah mertua yang baik. Selalu menganggap Bulan seperti anaknya sendiri. Mungkin hanya perkataan sang mertua tadi malam sedikit menyinggung hati Bulan. Selebihnya, semua normal. Baik-baik saja.“Ya, sudah. Aku berangkat kerja dulu. Kamu gak kerja, Mas?”“Enggak. Ngambil cuti lagi sehari.”“Oooh ….” Bulan hanya merespon seperlunya saja. Pernikahannya benar-benar di ambang kehancuran. Bahkan Bulan sudah tak ingin menggebu-gebu mempertahankan pernikahan ini. Untuk apa? Suaminya sudah jauh berubah. Nafkah bathin tak diberikan selama ini. Lingga juga selalu mengabaikannya beberapa hari ini. Bulan lelah. Lelah berjuang sendiri. Sekarang dia pasrah dan berserah pada Sang Pemilik Cinta.“Eh … tunggu!”“Apa lagi, Mas?”“Kamu gak bikinin aku dan Ibu sarapan?”“Ooh … maaf, Mas. Aku buru-buru. Kamu bisa masak, 'kan? Atau beli saja,” ucap Bulan tak peduli.Dia tak benar-benar cuek. Bulan hanya ingin Lingga sada
“Ngapain Mas Lingga pergi sama keluarga Bu Sulis? Aku merasa benar-benar dikhianati.” Bulan mencoba menguji kejujuran sang suami. Dia mencari kontak sang suami dan memencet tombol panggil. Lama tak mendapat jawaban. Bulan harus mengulang kegiatan itu sampai tiga kali. Akhirnya pada percobaan ketiga, Lingga menerima panggilan teleponnya.“Halo ….” Sangat singkat. Hanya itu yang diucapkan Lingga dari seberang sana.“Mas, kamu jadi jalan-jalan sama Ibu?” Bulan berusaha setenang mungkin. Berpura-pura tak terjadi apa-apa. Berpura-pura tak tahu apa-apa.“Jadi … kenapa memangnya?”Wah pintar sekali bersandiwara. Tadi saat ingin menukar kendaraan, Lingga berubah sikap menjadi lebih mesra dan baik pada istrinya. Tapi kini, dia kembali cuek—-seperti sebelum-sebelumnya. Bulan hanya tersenyum kecut. Dia semakin mantap untuk meninggalkan suami. Tapi dia perlu bukti yang lebih banyak untuk membongkar kedok sang suami.“Jalan-jalan kemana, Mas? Bisa gak nunggu aku sebentar? Aku mau ikut, dong. Kerj