Share

Diratukan

“Tolong kuenya bawa keluar lagi, Nak! Banyak tetanggamu yang hadir.”

Sesuai perintah Mama Mery, Bulan pun membawa kue-kue lainnya ke ruang tamu—tempat orang-orang berkumpul.

Senang rasanya melihat tamu-tamu datang dengan wajah gembira. Mereka pun tertawa dan menikmati kudapan dengan senang.

Bulan menengok ke arah luar. Para lelaki termasuk suaminya juga asik bercengkrama dan tertawa. Dalam hatinya, Bulan menginginkan semuanya baik-baik saja. Tetangga aneh serta isu adanya orang ketiga di pernikahan mereka, diharapkan hanyalah sebuah mimpi. Bulan tak ingin jika rumah tangganya mulai rapuh sejak pindah ke rumah baru.

“Tetangga depan gak diundang, Lan?”

Sella menggeser tempat duduknya agar lebih dekat dengan Bulan. Dia pun menanyakan soal keluarga Bu Sulis yang tak terlihat batang hidungnya.

“Aku malas datang ke sana untuk memberi undangan langsung, Mbak. Hatiku terlalu sakit. Jika mereka datang, akan kuterima. Jika tidak, juga tak masalah. Lagipula, aku sudah mengabari lewat grup WA. Seharusnya mereka tahu.”

“Bagus lah kalau gak dateng, Lan. Lihat lah wajah orang-orang di sini! Semuanya sangat senang berkumpul bersama tanpa mereka. Kami sudah sangat jarang mengadakan kumpul-kumpul bersama karena ada keluarga itu di komplek ini. Si tukang rusuh.”

Bulan menepuk paha Sella sembari tersenyum. Seolah mengisyaratkan tetangganya itu untuk diam. Sudah cukup membahas orang-orang tak tahu diri itu. Bulan ingin menikmati saat-saat tenang ini tanpa mereka.

“Bagus rumahnya, Nak. Lingkungan dan tetangga-tetangga kamu juga baik dan ramah. Mama jadi tenang setelah melihat langsung. Tak perlu khawatir lagi soal kalian. Kalian berdua tetap bahagia, ya! Dan semoga secepatnya diberikan momongan,” ucap Mama Mery pada sang putri.

Bulan hanya tersenyum tipis. Mama Mery tak tahu kalau Bulan telah mengalami banyak hal. Bersitegang dengan tetangga depan rumah hingga kecurigaannya pada sang suami. Dia tak baik-baik saja. Tapi bibirnya terasa kelu tiap ingin bercerita pada wanita hebat di sampingnya.

“Halo … selamat malam. Kalian semua sudah berkumpul? Kok gak nunggu kami?”

“Silahkan duduk, Bu … Nes! Pasti acaranya bakal lebih meriah kalau ada kalian,” ucap Lingga mempersilahkan tamunya untuk duduk.

Bulan kembali menghela nafas kasar yang diikuti oleh semua orang di ruangan itu. Sepertinya mereka satu hati. Merasa tak nyaman akan kedatangan Bu Sulis dan anaknya.

Bulan juga tak habis pikir dengan sikap sang suami yang seolah-olah meratukan mereka. Tak ada satupun tamu yang dia sambut dengan begitu riang. Hanya mereka berdua. Sampai-sampai Lingga meninggalkan tempat duduknya di luar dan ikut masuk ke ruang tamu—-dimana para wanita berkumpul. Semua ini hanya demi mengantarkan nenek sihir dan juga kurcacinya ke hadapan Bulan.

“Wahhh kue-nya banyak sekali, Nes. Kayaknya kamu bisa buat semua ini deh. Dan rasanya pasti lebih enak. Iya, ‘kan, Nak Lingga?” tanya Bu Sulis.

Baru saja datang, mereka sudah mulai memancing api amarah.

“Iya, Bu. Tentu Nesi bisa buat lebih enak dari ini. Aku gak tahu kenapa Bulan memilih beli di luar ketimbang meminta bantuanmu untuk membuatkan semua ini,” bela Lingga pada tetangganya itu.

“Oh, iya, Bu. Kenalin. Ini Bu Sulis dan Nesi. Mereka berdua pengganti Ibu di sini. Kami sudah seperti keluarga. Begitu perhatian pada Lingga. Tapi sayangnya, ada yang tak suka dengan keramahan mereka,” sindir Lingga pada sang istri. Setelah itu, dia lantas memperkenalkan dua orang itu pada sang Ibu. Bu Ines selaku Ibunda Lingga, tersenyum ramah menyambut perkenalan.

Di sisi lain, Bulan mulai meradang. Mama Mery serta Sella yang ada di sisi kanan dan kiri Bulan, sadar akan rasa perih di dada wanita itu.

“Anak saya cantik, ‘kan, Bu?” ucap Bu Sulis mempromosikan anaknya pada Bu Ines.

Bulan geram dan berkata:

“Tolong yang gak berkepentingan, keluar dari sini! Saya mau mengadakan syukuran rumah bukan ajang promosi anak.”

Para tamu menoleh ke arah Bulan, lalu lanjut ke arah Bu Sulis. Sepertinya mereka mengerti maksud perkataan Bulan ditujukan pada siapa.

Beruntung Bu Sulis tak lagi berceloteh hingga tuan rumah bisa melanjutkan acaranya.

Kini tibalah mereka di penghujung acara. Saatnya pembagian makanan bagi para tamu.

Bulan, Mama Mery, serta dibantu oleh beberapa tetangga mulai mengambil bungkus makanan di dapur untuk selanjutnya dibagikan ke semua orang yang datang.

Bulan sempat mencari mertuanya. Kemana dia? Kenapa tak membantunya? Ternyata Bu Ines sedang ditawan oleh nenek sihir bernama Bu Sulis. Entah apa yang dibicarakan oleh mereka. Terlihat serius dan terkadang melihat ke arah Bulan.

“Nak, itu tetanggamu yang terakhir datang memang seperti itu? Mama kok merasa aneh dengan mereka. Hati-hati ya, Nak! Mereka seperti orang yang iri dengki.”

Mama Mery memperingatkan anaknya. Tanpa ia sadari, Bulan sudah lebih dulu memasang tameng untuk dirinya sendiri. Iya. Hanya untuk dirinya sendiri. Karena suaminya sudah tak mau dilindungi dengan tameng itu.

Tanpa sadar, keramaian di rumah Bulan mulai berkurang. Hanya tersisa Sella dan dua orang tetangga yang sedari tadi membantu di belakang.

“Lan, aku pamit, ya. Bingkisannya sisa lima. Mau aku yang kasi ke Bu Sulis apa kamu?” tanya Sella.

“Bagi saja untuk kalian bertiga, Mbak. Jangan sisakan mereka!”

“Serius, Lan?”

Tentu saja. Bulan tak sudi berbagai dengan orang-orang seperti mereka. Dia tak peduli lagi akan omongan orang tentang ini. Tapi sepertinya tetangga lain pun akan setuju dengan keputusan Bulan.

“Ya, sudah, kami pulang dulu, ya, Lan. Sisa dua bingkisan lagi akan kami berikan untuk security depan,” ucap Sella.

“Wahh, iya. Aku lupa. Untung masih kebagian. Terima kasih, ya, Mbak.”

“Iya. Kamu yang sabar ngadepin mereka. Fokus sama diri sendiri dan keluargamu saja! Kalau perlu apa-apa, cari aku!”

Bulan mengangguk. Merasa sangat diperhatikan. Berterima kasih pada orang-orang baik yang senantiasa mengerti kondisi hatinya.

Setelah semua tamu pulang terkecuali Bu Sulis dan anaknya, Bulan langsung bergabung dengan sang mama di dapur. Papa juga sudah masuk ke kamarnya. Ia merasa lelah.

“Lan, mana bingkisan buat Bu Sulis?”

Lingga menghampirinya ke dapur. Bukannya membantu istrinya, dia malah menanyakan bingkisan untuk Bu Sulis.

“Sudah habis,” jawab Bulan cuek. Dia terus melanjutkan aktivitasnya di dapur.

“Habis? Kok bisa? Kamu kan tahu masih ada tamu di rumah ini. Apa-apaan sih kamu?”

“Loh, kok nyalahin aku? Itu kan tamu kamu, bukan tamuku. Ya kamu dong yang memperhatikan kebutuhan mereka! Jangan minta dilayani terus! Memangnya aku pembantu dan ibu peri kalian? Sekali triiing bisa memenuhi keinginan kalian? Enak saja,” ucap Bulan ketus.

Mama Mery hanya terdiam. Tak ikut campur apalagi menasehati. Dia tak menyalahkan putrinya yang berbicara seperti itu pada Lingga. Dia mengerti sakit hatinya.

“Gak jelas,” ucap Lingga dan berlalu dari dapur.

Bulan hampir menangis namun ditahan.

'Ngapain aku nangis? Sayang kalau air mataku terbuang hanya karena orang-orang seperti mereka.'

Begitulah isi pikiran Bulan saat ini.

“Bulan … lain kali, jangan begitu sama tamu! Mereka sudah meluangkan waktu untuk datang ke acara kita. Sebagai gantinya, kita juga harus menghargai mereka dengan memberikan pelayanan yang terbaik.”

Bulan termangu. Dia tak habis pikir dengan ucapan ibu mertuanya. Bu Ines tiba-tiba datang dan menasehatinya. Ikut memojokkan Bulan seperti Lingga. Penyampaiannya memang lembut tapi mengena di hati.

Sihir apa yang diberikan Bu Sulis pada Ibu dan anak ini? Hingga Bu Ines dan Lingga begitu meratukannya?

--------------------

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status