Share

Siap-siap Jadi Janda

Sudah dua hari ini Bulan dan Lingga tak saling bicara. Hidup seatap namun tak saling tatap. Bulan tetap melayani kebutuhan suaminya sebelum dan sepulang kerja. Dia juga mencoba untuk bersikap biasa saja. Bahkan sering mencoba mengajak berbaikan. Tapi Lingga selalu menghindarinya. Sampai akhirnya Bulan lelah dan lebih memilih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan.

“Kamu kenapa, Lan? Lagi sakit?”

Bulan menggeleng. Dia tak menatap lawan bicaranya. Justru lebih memilih berpangku tangan di meja kerjanya.

“Mukamu pucet banget. Ada masalah?”

Teman-temannya berusaha menghibur dan mencari tahu apa yang terjadi. Tapi Bulan tetap menutup diri. Mengatakan dirinya baik-baik saja. Hingga akhirnya orang-orang di sekitarnya pergi dan memberi ruang untuk Bulan menyendiri.

Triiing

Triiing

Triiing

Tiba-tiba ada telepon dari ibu mertuanya. Sebenarnya Bulan masih enggan berbicara dengan siapapun. Tapi ini berbeda. Telepon ini dari mertuanya.

Sreet

Bulan menggeser layar di ponselnya. Dia menerima telepon mertuanya.

“Halo, Nak. Ibu ganggu, ya? Kamu masih di kantor?”

Terdengar suara lembut dari seberang sana. Ibu mertuanya memang sangat baik. Bahkan terkadang memanjakan dirinya. Hal itu yang menyebabkan Bulan merasa tak enak hati karena belum bisa menghadirkan cucu di tengah-tengah mereka.

“Oh, enggak, Bu. Kenapa, Bu? Ini Bulan lagi istirahat, kok.”

“Kapan syukuran rumah baru kalian? Ini sudah hampir satu minggu berjalan, loh. Ibu dan Mama Papamu sepakat untuk menjenguk kalian besok. Bagaimana kalau syukurannya diadakan besok? Kalian bisa, Nak? Soal makanan, serahkan pada Ibu dan Mama. Kalian hanya perlu mengambil cuti sehari saja.”

Bulan terpaku. Dia hampir lupa kalau belum mengadakan syukuran. Apalagi suasana hatinya saat ini sedang tak baik. Dia juga masih perang dingin dengan suaminya.

“Kamu bilangin ini ke Lingga, ya! Tadi Ibu telepon gak diangkat terus.”

Bingung. Bagaimana cara mengatakan semua ini ke Lingga? Dirinya saja selalu diabaikan. Bahkan suaminya menolak untuk bertatap muka dengan istrinya.

Sebenarnya Bulan bingung. Apa kesalahannya? Jika merunut ke belakang, harusnya Bulan yang marah dan ngambek pada sang suami. Karena Lingga jelas-jelas membela tetangganya itu dan bahkan ingin menafkahinya. Suaminya sudah gila dan tak masuk akal. Tapi kenapa justru Bulan yang tidak diacuhkan seperti ini? Ingin mencoba berbaikan, tapi Bulan seolah mengemis cinta. Lingga benar-benar masih bersifat kekanak-kanakan.

“Nak … Nak. Kamu lagi sibuk, ya? Ya, sudah. Ibu cuma mau ngasi tahu itu aja. Ibu tutup teleponnya, ya.”

“Oh, ya, Bu. Sampai ketemu besok, ya,” ucap Bulan sebelum telepon benar-benar tertutup.

Hari ini Bulan terpaksa lembur agar besok bisa mengambil izin. Dia tak ingin pekerjaannya menumpuk setelah libur. Beberapa berkas juga telah diserahkan ke atasannya. Dia mendapat lampu hijau. Diberi izin untuk tak masuk kantor selama dua hari.

“Lan, emm … gimana, ya.”

Kantor semakin sepi tapi Bulan masih berjibaku dengan berkas di meja kerjanya. Tiba-tiba ada salah satu teman lelakinya yang menghampiri dirinya. Berbisik dan celingak-celinguk seolah tak ingin ada yang menguping pembicaraan mereka.

“Apa? Kamu aneh banget. Memangnya ada apa, sih? Mau ngajak aku ngegosip? Udah lah, Sur! Aku lagi sibuk nih.”

Sebelum mendengar perkataan Surya lebih lanjut, Bulan sudah menolak ajakan temannya untuk berbincang. Kepalanya masih pusing. Diterpa berbagai masalah.

“Gini loh, Lan. Sebenarnya aku gak enak mau ngomong gini. Tapi aku cuma mau mastiin aja ke kamu.”

“Mastiin apa? Ya udah sih, ngomong aja!”

Pandangan Bulan masih terfokus dengan tumpukan berkas di hadapannya.

“Tadi aku ketemu Lingga.”

Mendengar nama suaminya disebut, Bulan pun menghentikan aktivitasnya. Dia menoleh ke arah Surya dengan tatapan heran.

“Aku lihat dia sama cewek lain di rumah sakit. Sangat mesra.”

Bagai disayat pisau belati. Hatinya terasa sangat perih.

“Rumah sakit?”

Dia harus tegar. Tak boleh menangis. Dia harus mendengar lebih jelas tentang semua ini.

“Iya. Tadi aku sempat jenguk teman ke rumah sakit dekat sini. Gak disangka-sangka ternyata ketemu Lingga juga. Aku juga sempat menyapanya. Dia terlihat santai dan mengatakan kalau itu adalah sepupunya. Tapi aku tetep gak percaya. Makanya aku coba mastiin ke kamu. Maaf, ya, Lan. Bukan bermaksud buat kamu overthinking. Tapi kamu temen aku. Rasanya aku memang harus ngomong ini ….”

“Ada buktinya?”

Bulan memotong ucapan Surya dan meminta bukti nyata dari temannya.

“Ini. Tapi muka cewenya gak kelihatan. Hanya tampak samping saja. Itupun ditutupi oleh orang-orang yang lewat.”

Bulan memperhatikan foto itu secara seksama. Dia tak bisa menerka-nerka siapa perempuan itu. Fotonya memang tak menampakkan wajah. Tapi setelah diperbesar tampilannya, Bulan melihat ada tato kupu-kupu di bagian tengkuk wanita itu.

“Jangan langsung dihakimi, Lan! Kamu cari tahu dulu kebenarannya. Siapa tahu itu memang sepupunya yang kamu gak kenal,” ucap Surya mencoba menasehati. Dia dalam keadaan dilema. Di satu sisi tak ingin membuat temannya merasakan hidup dalam kecurigaan. Tapi di sisi lain, Surya juga tak ingin Bulan dikhianati lebih lama. Karena dia yakin kalau perempuan yang bersama Lingga siang tadi bukanlah sepupunya.

Tak masuk akal jika sepupu Lingga tak diketahui oleh Bulan. Mereka sudah menikah selama empat tahun. Semua keluarga Lingga telah Bulan kenali. Apalagi keluarganya yang tinggal di kota ini. Bisa dihitung dengan jari. Tentu Bulan tahu. Kalaupun itu sepupunya dari luar kota, seharusnya Bulan juga tahu sosok itu. Dan satu lagi. Rumah sakit. Kenapa mereka bertemu di rumah sakit?

“Makasi, Sur.”

Selepas kepergian Surya dan rekan kerja yang lain dari kantor itu, Bulan kini merenung seorang diri. Dia tak bisa lagi fokus dengan pekerjaannya dan memutuskan untuk pulang.

Di perjalanan, dia kembali berpikir:

'Apa tadi siang Mas Lingga gak kerja? Kenapa dia bisa sama perempuan itu? Dia juga tak memakai baju security. Lalu? Siapa perempuan itu? Apakah dia sepenting itu bagi Mas Lingga? Ya ampun, Mas. Kenapa kamu selalu membuatku penasaran?'

Tiiing

Tiba-tiba terdengar notifikasi pesan di ponsel Bulan. Ada satu pesan masuk.

Awalnya wanita itu tak merespon. Dia enggan meladeni nomor tak dikenal. Paling ini spam. Atau hanya pesan iseng dari penipu online.

Tiiing

Tiiing

Tiiing

Bukannya berhenti, kini malah makin banyak pesan masuk dari nomor yang sama ke ponsel Bulan. Dia mulai penasaran. Siapa pengirim pesan-pesan ini? Dan apa isinya?

Bulan lantas mencari tempat berhenti untuk melihat pesan itu. Dia sangat penasaran akan pesan dari nomor tanpa nama. Itu artinya dia tak kenal dengan si penerima.

Ada tiga foto masuk. Setelah dibuka, terpampanglah foto Lingga dengan perempuan itu. Seperti foto yang diperlihatkan Surya padanya. Namun ini dari sudut yang berbeda. Wajah perempuan itu selalu ditutupi oleh objek lain. Hanya terlihat bagian sampingnya saja.

Selain foto itu, ada juga satu pesan masuk yang mengiringi foto itu … bertuliskan:

[Siap-siap jadi janda.]

--------------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status