Share

Aku Gak Bisa, Mas

“Ini terakhir kalinya aku mau meladeni Bu Sulis, Mas. Aku harus beri peringatan pada Ibu dan anak itu. Mereka tidak boleh mengganggu kita lagi,” gumam Bulan seorang diri.

Tanpa pikir panjang, dia lantas mendatangi Bu Sulis.

“Apa-apaan ini?” tanya Bu Sulis.

“Kalau mau bertamu, yang sopan dong, Mbak!” timpal Nesi.

“Kalian gak nyadar? Kalian sendiri setiap bertamu selalu gak sopan. Aku ke sini cuma mau ngasi peringatan sama kalian! Jauhi suamiku! Jangan ganggu rumah tanggaku!”

“Siapa yang ganggu? Nak Lingga sendiri senang menerima kami. Suamimu itu sudah bosan berumah tangga dengan wanita tua dan mandul kayak kamu.”

Bagai disambar petir, Bulan merasa sakit hati dengan ucapan Bu Sulis. Genggaman tangannya semakin kuat. Ingin sekali meninju wanita paruh baya itu.

Beberapa tetangga mulai mengintip dari rumahnya masing-masing. Bulan kembali jadi tontonan.

“Kasihan Nak Lingga. Masih muda, sukses kerja di bank, dan juga tampan. Sayang kalau menikah dengan wanita yang lebih tua. Apalagi kamu tak bisa memberikannya anak.”

Ini tak bisa dibiarkan. Seolah dikuasai oleh setan, Bulan pun tak sadar mengangkat tangannya dan bersiap untuk menampar mulut pedas Bu Sulis.

Tapi ternyata ….

“Mbak Bulan, jangan gegabah! Lihat Nesi! Dia mengarahkan teleponnya ke sini. Sepertinya dia merekam.”

Beruntung ada Mbak Sella mendekat dan mencegah Bulan melakukan hal-hal yang bisa mengancam kebebasannya. Sella mencoba menenangkan wanita yang sedang dikuasai api amarah itu.

“Apa? Kamu mau menamparku? Tampar saja! Dasar gak sopan. Kurang ajar.”

Kata-kata menyakitkan masih saja keluar dari mulut Bu Sulis. Sebenarnya terbuat dari apa hati ibu dan anak ini? Tega sekali mengganggu ketenangan orang lain---orang yang sama sekali tak mencari masalah dengan mereka.

“Ayo ke rumahku dulu, Mbak! Ayo!”

Dengan sedikit memaksa, Sella pun menarik tangan Bulan untuk mengikutinya ke rumah. Dia ingin menyelamatkan Bulan dari tingkah aneh keluarga itu.

“Ini, Mbak! Tenangkan diri dulu!”

Sella menyuguhkan segelas teh untuk Bulan. Baik sekali. Bulan merasa diperhatikan. Ada teman yang mengerti dirinya. Beberapa hari ini sejak kedatangannya ke komplek ini, Bulan memang merasa stress. Dia juga tak memiliki pendukung atau sekadar menenangkan batinnya. Suaminya, Lingga, benar-benar tak bisa diharapkan. Dia justru menikmati puja-puji yang diberikan ibu dan anak itu pada dirinya.

“Memangnya gak ada yang menasehati atau meminta tolong orang berwenang untuk berbicara dengan kedua orang itu, Mbak? Kenapa kalian diam saja? Mereka sudah mengganggu ketenangan kita,” ucap Bulan pada Sella.

“Kamu gak tahu, Lan. Kami sudah berkali-kali menegur mereka. Bahkan berdebat seperti kamu tadi. Bu Sulis juga sempat dipenjara karena ketahuan merusak barang milik tetangga di sini. Tapi beliau tak jera-jera juga.”

Huft. Bulan membuang nafas kasar. Membuang semua emosi yang mengganjal sejak tadi.

“Pak Handi juga gak bisa dikasi tahu.”

“Pak Handi? Handi siapa?”

“Pemilik rumah yang ditempati mereka.”

“Apa? Jadi mereka cuma ngontrak? Bukan pemilik rumah itu?”

Sella mengangguk. Bulan baru tahu kalau tetangga anehnya hanya mengontrak di sana. Sebenarnya lebih gampang untuk meminta mereka pergi dari lingkungan ini. Tentu saja atas permintaan pemilik rumah. Namun sayang, seperti yang dikatakan Sella, pemilik rumah itu tetap tak mau mengusir mereka. Entah apa alasannya. Pak Handi selalu tak percaya akan omongan tetangga. Dia selalu memandang Bu Sulis dan anaknya ada di pihak yang benar. Orang lain hanya dianggap iri dan akhirnya memfitnah.

“Kalian gak punya bukti nyatanya, Mbak? Kan bisa diliatin ke Pak Handi.”

“Semuanya sudah kami lakukan, Lan. Bahkan membeberkan semua bukti ke Pak Handi. Tapi nyatanya apa? Tetap seperti ini. Sampai akhirnya semua bosan dan memilih untuk cuek dan tak mau peduli permasalahan mereka. Mungkin hal itu yang menyebabkan orang enggan ikut campur saat melihat kamu dan mereka bertengkar.”

Cukup lama Bulan bercengkrama dengan Sella. Hingga akhirnya perutnya mulai keroncongan. Tawaran makan sudah dilakukan oleh Sella tapi Bulan menolaknya. Dia memilih untuk pulang ke rumah.

Sesampainya dia di rumah, kepalanya kembali pusing. Piring-piring kotor masih berserakan di meja makan. Bekas makan Lingga dan tetangga aneh itu. Bulan memutuskan untuk bersikap tak peduli. Biar suaminya saja yang membereskan semua itu.

“Darimana saja kamu, Lan?”

Lingga menunggu istrinya di depan TV.

“Abis main ke tetangga. Sudah ya, Mas. Aku mau makan dulu. Lapar.”

“Sama tetangga lain bisa berbaur. Sama Bu Sulis dan Nesi susah sekali bersikap ramah. Kamu jadi istri jangan terlalu cemburuan.”

Bulan mengurungkan niatnya membuka bungkusan jajanan yang tadi dibelinya dan belum sempat dibuka.

“Apa katamu, Mas? Coba lihat aku!”

Lingga tak mau menatap Bulan. Tapi mulutnya masih bergerak seolah menggumamkan sesuatu. Seperti anak kecil.

“Jangan kayak anak kecil, Mas! Kalau mau ngomong sesuatu, sampaikan dengan baik!”

“Iya, oke. Aku mau ngomong sama kamu.”

Lingga mengambil tempat duduk di samping Bulan.

“Aku cuma kasihan sama Bu Sulis dan Nesi, Sayang.” Cara bicaranya kembali melembut.

“Nesi itu anak yatim. Mereka cuma hidup berdua. Sedangkan kerjanya juga serabutan. Hanya menerima pesanan kue lewat online. Mereka merasa kalau aku bisa dijadikan anak bagi Bu Sulis dan abang bagi Nesi. Apa salahnya kita memperlakukannya sebagai keluarga?”

“Kamu gak salah ngomong gini, Mas?” tanya Bulan sembari menyendok batagor yang tak lagi gurih.

“Apalagi kita berdua anak tunggal. Kamu juga sempat membayangkan punya adik cewek, ‘kan? Nah … sekarang ada Nesi. Anggap saja dia adikmu. Kalau kita punya apa-apa, bagi ke mereka. Bila perlu kita beli kebutuhan apapun itu untuk dua keluarga. Satu untuk kita. Dan satu lagi untuk mereka.”

Bulan tak menjawab dan justru mempercepat makannya. Dia seperti kerasukan. Makan dengan lahap dan penuh nafsu. Hanya dalam beberapa menit saja, satu bungkus batagor dan es doger ludes. Berpindah ke perut Bulan.

Setelah menghabiskan makanannya dan membersihkan tangan juga mulut, Bulan lantas kembali duduk di dekat suaminya.

“Gini, Mas. Sepertinya kamu masih belum menjadi pria dewasa. Pemikiranmu masih seperti anak kecil. Mudah terpengaruh. Mudah dihasut. Ingat, Mas! Rumah tangga kita hanya ada kamu dan aku. Tidak ada orang ketiga maupun ke-empat. Mereka bukan siapa-siapa. Bukan keluarga ataupun saudara kita. Untuk apa kamu perhatian sama mereka? Buka mata dan telingamu! Kamu gak sadar kalau istrimu selalu direndahkan dan diremehkan oleh mereka? Sekarang bisa-bisanya kamu minta aku untuk memenuhi kebutuhan mereka. Enggak, Mas. Aku gak bisa. Gak akan bisa.”

Bulan berdiri dari tempat duduknya. Dia ingin mandi dan lanjut tidur. Malas berdebat soal orang-orang tak penting dalam hidupnya.

“Ya, sudah. Kalau kamu gak mau menanggung kebutuhan hidup mereka … izinkan aku sendiri yang membantu mereka. Aku gak tega melihat mereka menderita dan kesepian seperti itu.”

Bulan menghentikan langkahnya namun tak menoleh ke belakang. Tak terasa matanya mulai basah oleh air bening yang menetes ke pipi. Jengah. Dia mulai pasrah akan sikap sang suami yang hari ke hari mulai berubah. Tiba-tiba berubah. Sejak bertemu dengan tetangga depan rumah.

--------------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status