“Sudah pas. Sekarang tinggal dibagikan ke tetangga terdekat.”
Sepulang kerja, Bulan begitu sibuk menyiapkan bolu buatannya untuk dibagikan ke tetangga---berkenalan dengan orang-orang di lingkungan perumahan ini. Tentu Bu Sulis termasuk dalam daftar-nya. Walaupun hatinya masih jengkel, tapi dia tetap berusaha untuk berbasa-basi dengan memberikan kue bolu buatannya. “Nanti aku kasi aja kue ini, trus pulang. Malas juga bertatap muka apalagi berbincang lama dengan mereka,” gumam Bulan saat dia memikirkan langkah apa yang mau diambil saat pergi ke rumah Bu Sulis. Satu per-satu tetangga dikunjungi. Ternyata mereka semua sangat ramah dan menyambut baik kedatangan wanita itu. Sikapnya jauh berbeda dengan tadi pagi. Saat melihat keributan antara Bulan dan Bu Sulis. “Salam kenal Mbak Bulan. Semoga betah ya di sini. Main-main saja ke sini kalau bosen di rumah.” Rata-rata begitulah ucapan basa-basi dari pemilik rumah yang Bulan datangi satu per satu. Kini kue-nya tersisa dua. Satu untuk keluarga Bu Sulis, dan satu lagi untuk rumah di samping tetangga aneh itu. Bulan tak tahu siapa namanya. “Sini ... apa sini dulu, ya?” Bulan bingung. Dia menunjuk rumah Bu Sulis dan rumah di sebelahnya secara bergantian. “Ah, ke sini dulu, deh. Bu Sulis terakhir saja biar aku bisa langsung lari ke rumah.” Dengan langkah yang mantap, Bulan pun pergi ke rumah yang satunya. Tangannya mulai mengetuk pintu rumah tetangga. Lama tak ada sahutan. Hingga saat ingin mengulang ketukan untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba gagang pintu terlihat bergerak. Bunyi kunci diputar dari dalam pun terdengar di telinga Bulan. Ada kepala menyembul dari celah pintu yang sedikit terbuka. Bulan melambaikan tangan dan mulai memperkenalkan diri. Pintu berderit. Celahnya semakin lebar. Kini nampak seorang pria tampan, mungkin seusia Lingga tersenyum manis pada Bulan. Namun beberapa saat kemudian, dia mulai celingak-celinguk seolah menghindari sesuatu. “Maaf mengganggu, Mas. Saya Bulan. Ini ada sedikit kue untuk Mas. Sekaligus mau memperkenalkan diri sebagai tetangga baru,” ucap Bulan sembari memberikan satu wadah plastik yang berisi kue bolu pandan. “Wah … makasi banyak, Mbak. Nama saya Arga. Salam kenal ya, Mbak Bulan.” Arga tersenyum kecil pada Bulan. Sangat manis. Bahkan dalam persekian detik, Bulan sempat terpana dan lupa kalau dia adalah wanita bersuami. Namun pikiran itu langsung ditepisnya. Dia menarik diri kembali ke dunia nyata. Ke status sebenarnya---sebagai istri Lingga yang tak boleh mengagumi pria lain sedikitpun. “Maaf, Mbak. Saya harus masuk ke dalam lagi, ya. Terima kasih kue-nya. Semoga kita ketemu lagi nanti.” Arga kembali masuk ke dalam rumahnya. Meninggalkan Bulan sendirian di depan pintu. Masih termangu—merasa heran akan sikap pria itu yang terlihat ketakutan. 'Ah sudah lah. Ngapain aku mikirin pria itu? Mending aku bawakan kue terakhir ini pada si aneh.' Huft. Bulan menghembuskan nafas kasar. Mengumpulkan tenaga untuk bertemu keluarga Bu Sulis. Langit semakin gelap dan tak nampak bintang sedikitpun. Sepertinya mendung. Bulan harus cepat-cepat mengantarkan kue terakhir lalu bersantai di rumah bersama suaminya. Tok Tok Tok Pintu diketuk oleh Bulan. Jantungnya berdebar. Dia sangat gugup. Atau mungkin sibuk menerka-nerka tentang tingkah tetangganya satu itu kali ini. Tingkah di luar nalar yang selalu membuat Bulan mengelus dada. Selalu membuat Bulan melatih kesabaran. Ceklek Pintu dibuka. Terlihat sosok Nesi keluar dari dalam rumah. “Eh … Mbak … Mbak ….” Wanita itu berusaha keras mengingat nama Bulan. Karena dirasa lama, akhirnya si pembawa kue pun memperkenalkan dirinya lagi. “Bulan ….” “Oh iya … Mbak Bulan. Istrinya Mas Lingga, ‘kan, ya?” Nama pria gampang sekali diingat. Tapi nama lawan bicara yang sejenis seakan lupa dalam sekejap. “Iya,” ucap Bulan singkat. “Oh iya, Mbak. Ada apa, ya?” “Ini … saya mau ngasi ini.” Tanpa basa-basi, Bulan pun memberikan satu wadah plastik berisi kue buatannya. Tapi Nesi tak langsung menerimanya. Dia mengamati lebih dulu makanan yang dibawa Bulan. “Kenapa, Mbak? Ada yang aneh?” tanya Bulan. “Ini diterima, ya!" Agar cepat, Bulan pun membuka jemari tangan kanan Nesi dan meletakkan wadah plastik berisi kue itu di sana. Sekarang, kue itu telah berpindah tangan. “Ini bolu pandan, ya, Mbak?” tanya Nesi. “Oh … iya.” “Mbak buat sendiri atau beli?” “Aku buat sendiri. Kenapa?” Mendengar perkataan Bulan, Nesi pun langsung membuka penutup wadah dan mencomot satu potong kue yang ada di dalamnya. Dia menggigitnya sedikit, lalu dikunyah. Lama dinikmati. Seolah ingin meresapi setiap bagian di kue itu secara detail. “Kurang manis, Mbak. Warnanya juga kurang mencolok jadi gak terlihat menarik. Pucat. Aku sering buat kue kayak gini loh, Mbak. Dijamin lebih enak. Mau aku buatin, Mbak? Atau mau diajarin? Aku punya banyak waktu luang kok, Mbak,” ucap Nesi dengan senyum terkembang. Begitu bangga akan dirinya sendiri. Tapi tidak dengan Bulan. Dia justru merasa sangat jengkel diperlakukan seperti itu. Seolah ikut ajang pencarian bakat memasak dan dikomentari oleh juri. Bukan itu yang Bulan cari. “Ilmu semacam ini mahal loh, Mbak. Kalau Mbak belajar sama aku, gak perlu bayar. Nanti aku juga ajarkan cara buat beberapa macam kue. Dijamin enak. Pasti Mas Lingga suka. Resep ini sudah ada turun-temurun di keluargaku. Mbak beruntung karena menjadi salah satu orang yang akan kuajarkan resep itu. Buat kue gak boleh sembarangan. Apalagi mau dikasi orang. Hanya bermodalkan YouT*be? Ga akan enak. Mending belajar langsung pada ahlinya.” Mulut Nesi hingga berbusa hanya untuk membangaakan dirinya di depan Bulan. Tak menyangka, gadis yang terlihat lugu dan kalem malam kemarin, kini mulai terlihat aslinya. Sangat pantas menjadi anak Bu Sulis. Sama-sama pandai bersilat lidah. “Gimana, Mbak? Mau?” Sudah cukup lama Bulan mendengarkan celotehan Nesi. Kini waktunya dia undur diri. Meninggalkan wanita itu sendirian dengan rasa bangganya ... sebelum pemimpin pasukannya datang dan bergabung dengan mereka. Jika itu terjadi, bisa-bisa Bulan bisa mati di tempat. “Aku gak mau. Sudah, ya. Aku mau pulang.” Baru saja ingin membalikkan badan tapi tangan kiri Bulan dicengkram kuat oleh Nesi. Membuat dia berbalik kembali. “Aku belum selesai ngomong, Mbak.” “Tolong lepasin!” titah Bulan dengan mata mendelik. “Aku punya banyak waktu luang, Mbak. Kapan Mbak mau diajarin? Besok? Atau sekarang saja aku ikut ke rumah Mbak, ya.” Ini sudah mencapai puncak. Bulan tak mau lagi meladeni kegilaan ini. “Mau apa kamu ke rumah saya? Mau tebar pesona sama suami saya? Itu yang kamu mau? Dari kemarin, kamu dan Ibumu menguji kesabaran. Saya wanita karier. Sibuk dengan urusan pekerjaan dan juga keluarga. Saya tak punya waktu luang sebanyak kamu. Saya bukan pengangguran seperti kamu.” Kata-kata itu diucapkan Bulan dengan lantang. Bersamaan dengan kata terakhirnya, Bulan juga melepaskan tangannya dari cengkraman Nesi. Selanjutnya pergi—kembali ke rumahnya. Ditemani gerimis yang mulai turun. Setidaknya, hujan akan membuat suasana hatinya lebih tenang. “Ya, sudah. Ini lihat, Mbak! Aku gak mau menerima pemberianmu. Kue jelek begini dikasi orang.” Bulan menengok ke belakang. Dia melihat Nesi membuang kue yang dia berikan ke tempat sampah. --------------------“Weekend ini lu mau kemana, Lan?”Pertanyaan itu terlontar dari mulut teman-temannya. Biasanya Bulan paling semangat bercerita tentang liburan akhir pekan yang akan dia jalani. Tapi minggu ini berbeda. Bulan terlihat lesu dan jarang bicara. Hal itu tentu dikarenakan masalah dengan tetangga barunya.“Gak tahu, nih. Kayaknya di rumah aja. Lagi males kemana-mana.”Biasanya Bulan paling senang saat tiba akhir pekan. Kalaupun harus di rumah saja bersama suaminya, dia tetap bahagia. Aman dan tentram. Tapi di lingkungan baru ini, sepertinya dia tidak bahagia. Enggan kalau-kalau tetangganya kembali membuat ulah. Belum lagi sang suami yang tak bisa bersikap tegas dan justru menyambut baik kehadiran mereka. Bagi Bulan, tak apa bersikap cuek untuk orang-orang seperti mereka.“Gue duluan, ya, Lan.”“Ya … ya. Gue juga dah mau pulang.”Bulan bekerja di salah satu bank swasta yang cukup terkenal. Memiliki jabatan sebagai credit analyst. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan serta menganalisis data
“Ini terakhir kalinya aku mau meladeni Bu Sulis, Mas. Aku harus beri peringatan pada Ibu dan anak itu. Mereka tidak boleh mengganggu kita lagi,” gumam Bulan seorang diri.Tanpa pikir panjang, dia lantas mendatangi Bu Sulis. “Apa-apaan ini?” tanya Bu Sulis.“Kalau mau bertamu, yang sopan dong, Mbak!” timpal Nesi.“Kalian gak nyadar? Kalian sendiri setiap bertamu selalu gak sopan. Aku ke sini cuma mau ngasi peringatan sama kalian! Jauhi suamiku! Jangan ganggu rumah tanggaku!”“Siapa yang ganggu? Nak Lingga sendiri senang menerima kami. Suamimu itu sudah bosan berumah tangga dengan wanita tua dan mandul kayak kamu.”Bagai disambar petir, Bulan merasa sakit hati dengan ucapan Bu Sulis. Genggaman tangannya semakin kuat. Ingin sekali meninju wanita paruh baya itu.Beberapa tetangga mulai mengintip dari rumahnya masing-masing. Bulan kembali jadi tontonan.“Kasihan Nak Lingga. Masih muda, sukses kerja di bank, dan juga tampan. Sayang kalau menikah dengan wanita yang lebih tua. Apalagi kamu t
Sudah dua hari ini Bulan dan Lingga tak saling bicara. Hidup seatap namun tak saling tatap. Bulan tetap melayani kebutuhan suaminya sebelum dan sepulang kerja. Dia juga mencoba untuk bersikap biasa saja. Bahkan sering mencoba mengajak berbaikan. Tapi Lingga selalu menghindarinya. Sampai akhirnya Bulan lelah dan lebih memilih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan.“Kamu kenapa, Lan? Lagi sakit?”Bulan menggeleng. Dia tak menatap lawan bicaranya. Justru lebih memilih berpangku tangan di meja kerjanya.“Mukamu pucet banget. Ada masalah?”Teman-temannya berusaha menghibur dan mencari tahu apa yang terjadi. Tapi Bulan tetap menutup diri. Mengatakan dirinya baik-baik saja. Hingga akhirnya orang-orang di sekitarnya pergi dan memberi ruang untuk Bulan menyendiri.TriiingTriiingTriiingTiba-tiba ada telepon dari ibu mertuanya. Sebenarnya Bulan masih enggan berbicara dengan siapapun. Tapi ini berbeda. Telepon ini dari mertuanya.SreetBulan menggeser layar di ponselnya. Dia menerima telepon me
“Tolong kuenya bawa keluar lagi, Nak! Banyak tetanggamu yang hadir.”Sesuai perintah Mama Mery, Bulan pun membawa kue-kue lainnya ke ruang tamu—tempat orang-orang berkumpul.Senang rasanya melihat tamu-tamu datang dengan wajah gembira. Mereka pun tertawa dan menikmati kudapan dengan senang. Bulan menengok ke arah luar. Para lelaki termasuk suaminya juga asik bercengkrama dan tertawa. Dalam hatinya, Bulan menginginkan semuanya baik-baik saja. Tetangga aneh serta isu adanya orang ketiga di pernikahan mereka, diharapkan hanyalah sebuah mimpi. Bulan tak ingin jika rumah tangganya mulai rapuh sejak pindah ke rumah baru.“Tetangga depan gak diundang, Lan?”Sella menggeser tempat duduknya agar lebih dekat dengan Bulan. Dia pun menanyakan soal keluarga Bu Sulis yang tak terlihat batang hidungnya.“Aku malas datang ke sana untuk memberi undangan langsung, Mbak. Hatiku terlalu sakit. Jika mereka datang, akan kuterima. Jika tidak, juga tak masalah. Lagipula, aku sudah mengabari lewat grup WA. S
“Ibu mau tinggal di sini dulu, Lan,” ucap Lingga pada Bulan.Tak masalah. Toh, Bu Ines adalah mertua yang baik. Selalu menganggap Bulan seperti anaknya sendiri. Mungkin hanya perkataan sang mertua tadi malam sedikit menyinggung hati Bulan. Selebihnya, semua normal. Baik-baik saja.“Ya, sudah. Aku berangkat kerja dulu. Kamu gak kerja, Mas?”“Enggak. Ngambil cuti lagi sehari.”“Oooh ….” Bulan hanya merespon seperlunya saja. Pernikahannya benar-benar di ambang kehancuran. Bahkan Bulan sudah tak ingin menggebu-gebu mempertahankan pernikahan ini. Untuk apa? Suaminya sudah jauh berubah. Nafkah bathin tak diberikan selama ini. Lingga juga selalu mengabaikannya beberapa hari ini. Bulan lelah. Lelah berjuang sendiri. Sekarang dia pasrah dan berserah pada Sang Pemilik Cinta.“Eh … tunggu!”“Apa lagi, Mas?”“Kamu gak bikinin aku dan Ibu sarapan?”“Ooh … maaf, Mas. Aku buru-buru. Kamu bisa masak, 'kan? Atau beli saja,” ucap Bulan tak peduli.Dia tak benar-benar cuek. Bulan hanya ingin Lingga sada
“Ngapain Mas Lingga pergi sama keluarga Bu Sulis? Aku merasa benar-benar dikhianati.” Bulan mencoba menguji kejujuran sang suami. Dia mencari kontak sang suami dan memencet tombol panggil. Lama tak mendapat jawaban. Bulan harus mengulang kegiatan itu sampai tiga kali. Akhirnya pada percobaan ketiga, Lingga menerima panggilan teleponnya.“Halo ….” Sangat singkat. Hanya itu yang diucapkan Lingga dari seberang sana.“Mas, kamu jadi jalan-jalan sama Ibu?” Bulan berusaha setenang mungkin. Berpura-pura tak terjadi apa-apa. Berpura-pura tak tahu apa-apa.“Jadi … kenapa memangnya?”Wah pintar sekali bersandiwara. Tadi saat ingin menukar kendaraan, Lingga berubah sikap menjadi lebih mesra dan baik pada istrinya. Tapi kini, dia kembali cuek—-seperti sebelum-sebelumnya. Bulan hanya tersenyum kecut. Dia semakin mantap untuk meninggalkan suami. Tapi dia perlu bukti yang lebih banyak untuk membongkar kedok sang suami.“Jalan-jalan kemana, Mas? Bisa gak nunggu aku sebentar? Aku mau ikut, dong. Kerj
Tiga hari berlalu sejak Bulan membuntuti pergerakan suaminya lewat aplikasi di ponselnya. Kini dia juga tak hanya menyadap mobil mereka tapi juga ponsel suaminya.Bulan memang sengaja untuk bersikap biasa saja hanya untuk mendapat bukti yang lebih banyak. Pesan yang masuk di ponsel Lingga, bisa dilihat juga oleh Bulan. Mungkin ini perbuatan yang tak sopan, tapi dia tak punya pilihan lain.Bu Ines selaku mertua, juga semakin berubah. Ia seperti Lingga kedua. Bicaranya semakin irit. Tingkahnya pada sang menantu pun tak sehangat dulu.“Bu … besok kan hari Minggu. Mumpung aku libur dan Ibu masih di sini, gimana kalau kita jalan-jalan bareng?” tanya Bulan pada sang mertua.“Gimana, Mas? Ini waktu yang tepat. Katanya kamu mau ngajak aku jalan-jalan. Udah lama loh kita gak keluar bareng.” Kini Bulan beralih pada sang suami. Sedikit manja untuk memancing sang suami.Bulan memperhatikan reaksi mereka berdua dengan baik. Lingga diam-diam memberi kode pada ibunya lewat lirikan mata. Bulan tahu p
Setelah sekian lama tak ada pesan dari wanita lain ke ponsel suaminya, hari ini Bulan justru mendapatkan pesan beruntun. Suami dan wanita selingkuhannya saling bertukar kabar membicarakan pernikahan mereka besok. Pernikahan yang dilangsungkan secara diam-diam—di belakang dirinya.“Tega banget kamu, Mas. Kamu mau menduakanku.”Bulan menyimpan semua bukti-bukti itu dengan tangan gemetar. Marah, kesal, dan kecewa menjadi satu. Kini semuanya telah benar-benar nyata. Kecurigaannya tentang sang suami, benar adanya. Bulan hanya perlu satu bukti lagi. Foto pernikahan Lingga dan wanita itu besok.“Sabar, Lan. Kuatkan dirimu untuk satu hari lagi. Setelah itu, kamu bebas terbang kemanapun,” ucap Bulan menguatkan diri.CeklekMendengar pintu kamar terbuka, Bulan langsung sembunyi dibalik selimut. Menghapus semua air mata yang sempat menetes ke pipi. Dia harus terlihat baik-baik saja.“Sayang … kok udah pake selimut aja?”Punggung Bulan yang tertutup selimut, diraba oleh Lingga. Dulu, sebelum keka