Share

Ancaman Tetangga

Saat mengamati keadaan sekitar, Bulan tak melihat hal atau orang yang mencurigakan. Komplek perumahan ini memang tak memiliki pagar hingga orang-orang yang ingin bertamu ataupun berbuat tak baik bisa langsung menuju teras rumah.

Sepertinya orang-orang di komplek ini masih ada di dalam rumahnya masing-masing. Tak ada yang keluar saat Bulan sedang marah-marah karena kotoran kucing misterius.

Harusnya, saat-saat seperti ini, dia bisa menghirup udara segar dengan dalam. Tapi sekarang mana bisa? Kotoran kucing ini mengganggu penciuman.

“Gila. Pagi-pagi sudah dikasi tugas bersihin kotoran kucing. Gak tahu apa aku lagi lapar. Kalau kutahu siapa pelakunya, kan kuhajar.” Bulan ngedumel sambil terus membersihkan kotoran itu.

“Sayang, kamu di sini, toh?” Lingga sudah bangun dan dia mendapati istrinya sedang menyapu di teras rumah.

“Aku laper, Sayang,” lanjut Lingga.

“Aku sudah beliin sarapan, Mas. Itu masih kugantung di gagang pintu. Aku bersihin kotoran kucing ini. Pagi-pagi udah diteror.”

“Hah? Kotoran kucing? Memangnya di sini ada kucing liar?”

“Aku gak tahu, Mas. Sepertinya semua ini ulah orang jail. Kotorannya saja terbungkus kresek. 2 kresek hitam. Kalau ini ulah kucing liar, masa iya dia bungkus kotorannya dulu? Gak mungkin sebanyak ini juga. Pokoknya gak masuk akal deh.”

Bukannya membantu atau menenangkan sang istri, Lingga justru kembali masuk ke rumah sembari menenteng kresek berisi sarapan yang sudah dipesan oleh Bulan sebelumnya.

Sedangkan Bulan masih berjibaku dengan kotoran kucing yang mengganggu penciuman. Rasa lapar dan amarah adalah perpaduan yang pas untuk menjadikan seseorang berubah serupa singa. Seram dan siap untuk menerkam siapapun.

“Akhirnya selesai juga. Aku mau makan dulu lah.”

Setelah bersih, Bulan lantas masuk ke rumah dan bersiap untuk makan. Tapi sebelum itu, dia harus mencuci tangannya berulang kali. Walaupun tak terkena kotoran secara langsung, tapi Bulan tetap merasa jijik dan perlu membasuh tangannya berulang kali.

Semua sudah selesai. Bulan tak sabar untuk makan. Tapi apa yang terjadi? Makanan yang baru dia pesan, habis tak bersisa. Kesal kembali melanda. Dipanggilnya sang suami yang baru saja masuk ke dalam kamar mandi.

Tok

Tok

Tok

“Mas … Mas. Kamu habisin sarapannya?” tanya Bulan dari balik pintu.

“I … iya. Maaf, Sayang. Aku kelaperan. Kamu pesan lagi, ya!"

Mudah sekali Lingga berbicara seperti itu pada istrinya. Tentu hal ini membuat sang istri kecewa. Bagaimana tidak? Dari kemarin Bulan merasa lelah secara fisik dan mental. Tak ada yang mengerti dirinya. Dia hanya berharap rasa laparnya segera teratasi, tapi lagi-lagi Bulan harus dikecewakan. Saat ini oleh suaminya. Hal yang terlihat sepele tapi berdampak besar bagi orang yang sudah sangat lapar.

Tok

Tok

Tok

Belum juga bisa menenangkan emosi, Bulan harus kembali dikejutkan dengan ketukan pintu depan. Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?

Ceklek

“Mana Nak Lingga?”

Benar-benar tak memiliki sopan santun. Sang istri yang membukakan pintu, tapi suaminya yang ditanya. Tetangga Bulan satu ini memang aneh. Seringkali menguji kesabaran Bulan. Padahal mereka baru 1 hari tinggal di perumahan ini.

“Ada apa, ya, Bu?”

Alih-alih mempersilahkan masuk, Bulan justru bersidekap dada dan bermaksud menginterogasi tetangganya. Pintu masuk juga benar-benar dihalangi menggunakan kedua kaki yang direntangkan hingga masing-masing menempel dengan sudut pintu bawah.

“Eh, apa-apaan ini? Kamu mau ngajak ribut lagi? Ini masih pagi loh, Mbak,” ucap Bu Sulis pada Bulan.

“Maaf, Bu. Saya belum makan dari kemarin loh.”

“Loh, memang apa hubungannya?”

“Jangan sampai … Ibu saya terkam. Saya sangat kelaparan. Bisa berubah menjadi siluman harimau,” ucap Bulan dengan tatapan nyalang.

Bukannya merasa takut atau tak enak hati, Bu Sulis justru tertawa sambil menyodorkan mangkuk yang dia bawa ke depan wajah Bulan. Tercium harum wangi masakan dari dalam sana.

“Apa ini?” tanya Bulan.

'Apakah aku sudah keterlaluan dengan Bu Sulis? Nyatanya di saat aku kelaparan seperti ini, dia datang sebagai penyelamat. Membawa mangkok berisi makanan.' Begitu lah isi pikiran Bulan saat ini.

“Ini bubur ayam spesial buat Nak Lingga. Tolong nitip, ya! Saya tahu kalau Mbak Bulan gak bakal ngasi saya izin untuk masuk.”

Ternyata perkiraan Bulan salah. Makanan ini hanya diperuntukkan untuk Lingga, bukan dirinya. Terlihat jelas kalau tetangganya ini hanya mementingkan Lingga. Sungguh di luar nalar.

'Apa yang mereka rencanakan untuk suamiku?'

Jederr

Tanpa pikir panjang, Bulan pun menutup pintu rumahnya tanpa mengambil semangkok bubur dari tangan Bu Sulis. Dia benar-benar geram. Dia tak peduli akan ketukan pintu yang berulang dan semakin keras. Baginya, Bu Sulis sudah kelewat batas.

Sembari menunggu giliran mandi dengan sang suami, Bulan pun memilih menghidupkan kompor dan memasak mie instan yang hanya tersisa dua buah. Iya. Dia memang belum sempat belanja dari kemarin. Rencananya nanti sepulang bekerja dia akan mampir ke pasar dan minimarket untuk membeli kebutuhan dapur.

Bulan memakan mie itu dengan lahap. Perutnya akhirnya terisi.

Bertepatan dengan mie yang habis dan tak bersisa, Lingga pun keluar dari kamar mandi. Suami Bulan itu bersiul dengan riang. Seolah tak peduli akan keadaan istrinya yang sangat kelaparan dan diterpa cobaan beruntun.

Pukul tujuh kurang sepuluh menit, pasangan suami istri itu telah siap berangkat ke kantor. Lingga pergi bekerja menggunakan motor karena jalan menuju kantornya sering macet. Maka dari itu dia lebih nyaman memakai sepeda motor untuk mempermudah perjalanannya. Sedangkan Bulan pergi ke kantor menggunakan mobil. Nanti, setelah keluar dari gerbang perumahan, mereka akan berpisah. Pergi ke kantor melalui arah yang berbeda.

“Nak Lingga. Tunggu!”

Bulan mengurungkan niatnya untuk melajukan mobilnya. Dia ingin melihat interaksi antara Bu Sulis dan suaminya dari dalam mobil. Apalagi yang akan dilakukan ibu-ibu itu pada suaminya?

“Iya, Bu … kenapa?” Lingga terlihat ramah dengan tetangganya itu.

“Ini ada bekal buat kamu. Kue brownies buatan Nesi. Tadi saya sempat ke sana mau bawain bubur, tapi buburnya malah dibuang oleh Mbak Bulan.”

Mendengar semua itu, Bulan lantas turun dari mobilnya hendak menasehati tetangganya.

“Maaf, Bu. Tadi Ibu bilang apa, ya? Saya buang bubur buatan Ibu? Pegang saja enggak dapat, Bu. Jangan jadi tukang fitnah, ya! Dari kemarin Ibu ingin mengadu domba saya dan suami saya, ya?”

Tetangga yang lainnya terlihat mencuri pandang dan mencuri dengar dari depan rumah masing-masing. Tapi tak ada satupun yang mau ikut campur---melerai atau sekadar menyapa mereka yang sedang berdebat.

“Loh, siapa yang fitnah kamu? Memang benar kok bubur buatan saya tak sampai ke tangan Nak Lingga tadi pagi.”

“Iya benar. Tapi saya tidak membuangnya. Tolong bedakan mana membuang dan mana yang tidak menerima. Pegang saja gak dapet, Bu. Lagian, siapa yang mau menerima pemberian dari tetangga aneh seperti Ibu? Maaf ya, Bu. Saya harus jujur seperti ini,” ucap Bulan.

“Lihat, ‘kan, Nak? Istrimu itu memang tidak sopan. Gak punya adab.”

Enteng sekali Bu Sulis berucap seperti itu. Menjatuhkan nama baik Bulan di hadapan suami dan orang banyak.

Tanpa pikir panjang, Bulan lantas mengambil kembali wadah plastik berisi kue dari tangan Lingga. Dia memberikannya kembali pada Bu Sulis dengan paksa.

“Cepat pergi ke kantor, Mas!” suruh Bulan pada suaminya. Setelah sang suami hilang dari pandangan matanya, Bulan baru bisa bernafas lega dan kembali ke mobilnya.

“Dasar gak punya sopan santun. Saya pastikan kamu tak akan bahagia. Ingat itu!” ancam Bu Sulis.

---------------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status