Saat mengamati keadaan sekitar, Bulan tak melihat hal atau orang yang mencurigakan. Komplek perumahan ini memang tak memiliki pagar hingga orang-orang yang ingin bertamu ataupun berbuat tak baik bisa langsung menuju teras rumah.
Sepertinya orang-orang di komplek ini masih ada di dalam rumahnya masing-masing. Tak ada yang keluar saat Bulan sedang marah-marah karena kotoran kucing misterius. Harusnya, saat-saat seperti ini, dia bisa menghirup udara segar dengan dalam. Tapi sekarang mana bisa? Kotoran kucing ini mengganggu penciuman. “Gila. Pagi-pagi sudah dikasi tugas bersihin kotoran kucing. Gak tahu apa aku lagi lapar. Kalau kutahu siapa pelakunya, kan kuhajar.” Bulan ngedumel sambil terus membersihkan kotoran itu. “Sayang, kamu di sini, toh?” Lingga sudah bangun dan dia mendapati istrinya sedang menyapu di teras rumah. “Aku laper, Sayang,” lanjut Lingga. “Aku sudah beliin sarapan, Mas. Itu masih kugantung di gagang pintu. Aku bersihin kotoran kucing ini. Pagi-pagi udah diteror.” “Hah? Kotoran kucing? Memangnya di sini ada kucing liar?” “Aku gak tahu, Mas. Sepertinya semua ini ulah orang jail. Kotorannya saja terbungkus kresek. 2 kresek hitam. Kalau ini ulah kucing liar, masa iya dia bungkus kotorannya dulu? Gak mungkin sebanyak ini juga. Pokoknya gak masuk akal deh.” Bukannya membantu atau menenangkan sang istri, Lingga justru kembali masuk ke rumah sembari menenteng kresek berisi sarapan yang sudah dipesan oleh Bulan sebelumnya. Sedangkan Bulan masih berjibaku dengan kotoran kucing yang mengganggu penciuman. Rasa lapar dan amarah adalah perpaduan yang pas untuk menjadikan seseorang berubah serupa singa. Seram dan siap untuk menerkam siapapun. “Akhirnya selesai juga. Aku mau makan dulu lah.” Setelah bersih, Bulan lantas masuk ke rumah dan bersiap untuk makan. Tapi sebelum itu, dia harus mencuci tangannya berulang kali. Walaupun tak terkena kotoran secara langsung, tapi Bulan tetap merasa jijik dan perlu membasuh tangannya berulang kali. Semua sudah selesai. Bulan tak sabar untuk makan. Tapi apa yang terjadi? Makanan yang baru dia pesan, habis tak bersisa. Kesal kembali melanda. Dipanggilnya sang suami yang baru saja masuk ke dalam kamar mandi. Tok Tok Tok “Mas … Mas. Kamu habisin sarapannya?” tanya Bulan dari balik pintu. “I … iya. Maaf, Sayang. Aku kelaperan. Kamu pesan lagi, ya!" Mudah sekali Lingga berbicara seperti itu pada istrinya. Tentu hal ini membuat sang istri kecewa. Bagaimana tidak? Dari kemarin Bulan merasa lelah secara fisik dan mental. Tak ada yang mengerti dirinya. Dia hanya berharap rasa laparnya segera teratasi, tapi lagi-lagi Bulan harus dikecewakan. Saat ini oleh suaminya. Hal yang terlihat sepele tapi berdampak besar bagi orang yang sudah sangat lapar. Tok Tok Tok Belum juga bisa menenangkan emosi, Bulan harus kembali dikejutkan dengan ketukan pintu depan. Siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Ceklek “Mana Nak Lingga?” Benar-benar tak memiliki sopan santun. Sang istri yang membukakan pintu, tapi suaminya yang ditanya. Tetangga Bulan satu ini memang aneh. Seringkali menguji kesabaran Bulan. Padahal mereka baru 1 hari tinggal di perumahan ini. “Ada apa, ya, Bu?” Alih-alih mempersilahkan masuk, Bulan justru bersidekap dada dan bermaksud menginterogasi tetangganya. Pintu masuk juga benar-benar dihalangi menggunakan kedua kaki yang direntangkan hingga masing-masing menempel dengan sudut pintu bawah. “Eh, apa-apaan ini? Kamu mau ngajak ribut lagi? Ini masih pagi loh, Mbak,” ucap Bu Sulis pada Bulan. “Maaf, Bu. Saya belum makan dari kemarin loh.” “Loh, memang apa hubungannya?” “Jangan sampai … Ibu saya terkam. Saya sangat kelaparan. Bisa berubah menjadi siluman harimau,” ucap Bulan dengan tatapan nyalang. Bukannya merasa takut atau tak enak hati, Bu Sulis justru tertawa sambil menyodorkan mangkuk yang dia bawa ke depan wajah Bulan. Tercium harum wangi masakan dari dalam sana. “Apa ini?” tanya Bulan. 'Apakah aku sudah keterlaluan dengan Bu Sulis? Nyatanya di saat aku kelaparan seperti ini, dia datang sebagai penyelamat. Membawa mangkok berisi makanan.' Begitu lah isi pikiran Bulan saat ini. “Ini bubur ayam spesial buat Nak Lingga. Tolong nitip, ya! Saya tahu kalau Mbak Bulan gak bakal ngasi saya izin untuk masuk.” Ternyata perkiraan Bulan salah. Makanan ini hanya diperuntukkan untuk Lingga, bukan dirinya. Terlihat jelas kalau tetangganya ini hanya mementingkan Lingga. Sungguh di luar nalar. 'Apa yang mereka rencanakan untuk suamiku?' Jederr Tanpa pikir panjang, Bulan pun menutup pintu rumahnya tanpa mengambil semangkok bubur dari tangan Bu Sulis. Dia benar-benar geram. Dia tak peduli akan ketukan pintu yang berulang dan semakin keras. Baginya, Bu Sulis sudah kelewat batas. Sembari menunggu giliran mandi dengan sang suami, Bulan pun memilih menghidupkan kompor dan memasak mie instan yang hanya tersisa dua buah. Iya. Dia memang belum sempat belanja dari kemarin. Rencananya nanti sepulang bekerja dia akan mampir ke pasar dan minimarket untuk membeli kebutuhan dapur. Bulan memakan mie itu dengan lahap. Perutnya akhirnya terisi. Bertepatan dengan mie yang habis dan tak bersisa, Lingga pun keluar dari kamar mandi. Suami Bulan itu bersiul dengan riang. Seolah tak peduli akan keadaan istrinya yang sangat kelaparan dan diterpa cobaan beruntun. Pukul tujuh kurang sepuluh menit, pasangan suami istri itu telah siap berangkat ke kantor. Lingga pergi bekerja menggunakan motor karena jalan menuju kantornya sering macet. Maka dari itu dia lebih nyaman memakai sepeda motor untuk mempermudah perjalanannya. Sedangkan Bulan pergi ke kantor menggunakan mobil. Nanti, setelah keluar dari gerbang perumahan, mereka akan berpisah. Pergi ke kantor melalui arah yang berbeda. “Nak Lingga. Tunggu!” Bulan mengurungkan niatnya untuk melajukan mobilnya. Dia ingin melihat interaksi antara Bu Sulis dan suaminya dari dalam mobil. Apalagi yang akan dilakukan ibu-ibu itu pada suaminya? “Iya, Bu … kenapa?” Lingga terlihat ramah dengan tetangganya itu. “Ini ada bekal buat kamu. Kue brownies buatan Nesi. Tadi saya sempat ke sana mau bawain bubur, tapi buburnya malah dibuang oleh Mbak Bulan.” Mendengar semua itu, Bulan lantas turun dari mobilnya hendak menasehati tetangganya. “Maaf, Bu. Tadi Ibu bilang apa, ya? Saya buang bubur buatan Ibu? Pegang saja enggak dapat, Bu. Jangan jadi tukang fitnah, ya! Dari kemarin Ibu ingin mengadu domba saya dan suami saya, ya?” Tetangga yang lainnya terlihat mencuri pandang dan mencuri dengar dari depan rumah masing-masing. Tapi tak ada satupun yang mau ikut campur---melerai atau sekadar menyapa mereka yang sedang berdebat. “Loh, siapa yang fitnah kamu? Memang benar kok bubur buatan saya tak sampai ke tangan Nak Lingga tadi pagi.” “Iya benar. Tapi saya tidak membuangnya. Tolong bedakan mana membuang dan mana yang tidak menerima. Pegang saja gak dapet, Bu. Lagian, siapa yang mau menerima pemberian dari tetangga aneh seperti Ibu? Maaf ya, Bu. Saya harus jujur seperti ini,” ucap Bulan. “Lihat, ‘kan, Nak? Istrimu itu memang tidak sopan. Gak punya adab.” Enteng sekali Bu Sulis berucap seperti itu. Menjatuhkan nama baik Bulan di hadapan suami dan orang banyak. Tanpa pikir panjang, Bulan lantas mengambil kembali wadah plastik berisi kue dari tangan Lingga. Dia memberikannya kembali pada Bu Sulis dengan paksa. “Cepat pergi ke kantor, Mas!” suruh Bulan pada suaminya. Setelah sang suami hilang dari pandangan matanya, Bulan baru bisa bernafas lega dan kembali ke mobilnya. “Dasar gak punya sopan santun. Saya pastikan kamu tak akan bahagia. Ingat itu!” ancam Bu Sulis. ---------------------“Sudah pas. Sekarang tinggal dibagikan ke tetangga terdekat.”Sepulang kerja, Bulan begitu sibuk menyiapkan bolu buatannya untuk dibagikan ke tetangga---berkenalan dengan orang-orang di lingkungan perumahan ini. Tentu Bu Sulis termasuk dalam daftar-nya. Walaupun hatinya masih jengkel, tapi dia tetap berusaha untuk berbasa-basi dengan memberikan kue bolu buatannya.“Nanti aku kasi aja kue ini, trus pulang. Malas juga bertatap muka apalagi berbincang lama dengan mereka,” gumam Bulan saat dia memikirkan langkah apa yang mau diambil saat pergi ke rumah Bu Sulis.Satu per-satu tetangga dikunjungi. Ternyata mereka semua sangat ramah dan menyambut baik kedatangan wanita itu. Sikapnya jauh berbeda dengan tadi pagi. Saat melihat keributan antara Bulan dan Bu Sulis.“Salam kenal Mbak Bulan. Semoga betah ya di sini. Main-main saja ke sini kalau bosen di rumah.”Rata-rata begitulah ucapan basa-basi dari pemilik rumah yang Bulan datangi satu per satu. Kini kue-nya tersisa dua. Satu untuk keluarga
“Weekend ini lu mau kemana, Lan?”Pertanyaan itu terlontar dari mulut teman-temannya. Biasanya Bulan paling semangat bercerita tentang liburan akhir pekan yang akan dia jalani. Tapi minggu ini berbeda. Bulan terlihat lesu dan jarang bicara. Hal itu tentu dikarenakan masalah dengan tetangga barunya.“Gak tahu, nih. Kayaknya di rumah aja. Lagi males kemana-mana.”Biasanya Bulan paling senang saat tiba akhir pekan. Kalaupun harus di rumah saja bersama suaminya, dia tetap bahagia. Aman dan tentram. Tapi di lingkungan baru ini, sepertinya dia tidak bahagia. Enggan kalau-kalau tetangganya kembali membuat ulah. Belum lagi sang suami yang tak bisa bersikap tegas dan justru menyambut baik kehadiran mereka. Bagi Bulan, tak apa bersikap cuek untuk orang-orang seperti mereka.“Gue duluan, ya, Lan.”“Ya … ya. Gue juga dah mau pulang.”Bulan bekerja di salah satu bank swasta yang cukup terkenal. Memiliki jabatan sebagai credit analyst. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan serta menganalisis data
“Ini terakhir kalinya aku mau meladeni Bu Sulis, Mas. Aku harus beri peringatan pada Ibu dan anak itu. Mereka tidak boleh mengganggu kita lagi,” gumam Bulan seorang diri.Tanpa pikir panjang, dia lantas mendatangi Bu Sulis. “Apa-apaan ini?” tanya Bu Sulis.“Kalau mau bertamu, yang sopan dong, Mbak!” timpal Nesi.“Kalian gak nyadar? Kalian sendiri setiap bertamu selalu gak sopan. Aku ke sini cuma mau ngasi peringatan sama kalian! Jauhi suamiku! Jangan ganggu rumah tanggaku!”“Siapa yang ganggu? Nak Lingga sendiri senang menerima kami. Suamimu itu sudah bosan berumah tangga dengan wanita tua dan mandul kayak kamu.”Bagai disambar petir, Bulan merasa sakit hati dengan ucapan Bu Sulis. Genggaman tangannya semakin kuat. Ingin sekali meninju wanita paruh baya itu.Beberapa tetangga mulai mengintip dari rumahnya masing-masing. Bulan kembali jadi tontonan.“Kasihan Nak Lingga. Masih muda, sukses kerja di bank, dan juga tampan. Sayang kalau menikah dengan wanita yang lebih tua. Apalagi kamu t
Sudah dua hari ini Bulan dan Lingga tak saling bicara. Hidup seatap namun tak saling tatap. Bulan tetap melayani kebutuhan suaminya sebelum dan sepulang kerja. Dia juga mencoba untuk bersikap biasa saja. Bahkan sering mencoba mengajak berbaikan. Tapi Lingga selalu menghindarinya. Sampai akhirnya Bulan lelah dan lebih memilih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan.“Kamu kenapa, Lan? Lagi sakit?”Bulan menggeleng. Dia tak menatap lawan bicaranya. Justru lebih memilih berpangku tangan di meja kerjanya.“Mukamu pucet banget. Ada masalah?”Teman-temannya berusaha menghibur dan mencari tahu apa yang terjadi. Tapi Bulan tetap menutup diri. Mengatakan dirinya baik-baik saja. Hingga akhirnya orang-orang di sekitarnya pergi dan memberi ruang untuk Bulan menyendiri.TriiingTriiingTriiingTiba-tiba ada telepon dari ibu mertuanya. Sebenarnya Bulan masih enggan berbicara dengan siapapun. Tapi ini berbeda. Telepon ini dari mertuanya.SreetBulan menggeser layar di ponselnya. Dia menerima telepon me
“Tolong kuenya bawa keluar lagi, Nak! Banyak tetanggamu yang hadir.”Sesuai perintah Mama Mery, Bulan pun membawa kue-kue lainnya ke ruang tamu—tempat orang-orang berkumpul.Senang rasanya melihat tamu-tamu datang dengan wajah gembira. Mereka pun tertawa dan menikmati kudapan dengan senang. Bulan menengok ke arah luar. Para lelaki termasuk suaminya juga asik bercengkrama dan tertawa. Dalam hatinya, Bulan menginginkan semuanya baik-baik saja. Tetangga aneh serta isu adanya orang ketiga di pernikahan mereka, diharapkan hanyalah sebuah mimpi. Bulan tak ingin jika rumah tangganya mulai rapuh sejak pindah ke rumah baru.“Tetangga depan gak diundang, Lan?”Sella menggeser tempat duduknya agar lebih dekat dengan Bulan. Dia pun menanyakan soal keluarga Bu Sulis yang tak terlihat batang hidungnya.“Aku malas datang ke sana untuk memberi undangan langsung, Mbak. Hatiku terlalu sakit. Jika mereka datang, akan kuterima. Jika tidak, juga tak masalah. Lagipula, aku sudah mengabari lewat grup WA. S
“Ibu mau tinggal di sini dulu, Lan,” ucap Lingga pada Bulan.Tak masalah. Toh, Bu Ines adalah mertua yang baik. Selalu menganggap Bulan seperti anaknya sendiri. Mungkin hanya perkataan sang mertua tadi malam sedikit menyinggung hati Bulan. Selebihnya, semua normal. Baik-baik saja.“Ya, sudah. Aku berangkat kerja dulu. Kamu gak kerja, Mas?”“Enggak. Ngambil cuti lagi sehari.”“Oooh ….” Bulan hanya merespon seperlunya saja. Pernikahannya benar-benar di ambang kehancuran. Bahkan Bulan sudah tak ingin menggebu-gebu mempertahankan pernikahan ini. Untuk apa? Suaminya sudah jauh berubah. Nafkah bathin tak diberikan selama ini. Lingga juga selalu mengabaikannya beberapa hari ini. Bulan lelah. Lelah berjuang sendiri. Sekarang dia pasrah dan berserah pada Sang Pemilik Cinta.“Eh … tunggu!”“Apa lagi, Mas?”“Kamu gak bikinin aku dan Ibu sarapan?”“Ooh … maaf, Mas. Aku buru-buru. Kamu bisa masak, 'kan? Atau beli saja,” ucap Bulan tak peduli.Dia tak benar-benar cuek. Bulan hanya ingin Lingga sada
“Ngapain Mas Lingga pergi sama keluarga Bu Sulis? Aku merasa benar-benar dikhianati.” Bulan mencoba menguji kejujuran sang suami. Dia mencari kontak sang suami dan memencet tombol panggil. Lama tak mendapat jawaban. Bulan harus mengulang kegiatan itu sampai tiga kali. Akhirnya pada percobaan ketiga, Lingga menerima panggilan teleponnya.“Halo ….” Sangat singkat. Hanya itu yang diucapkan Lingga dari seberang sana.“Mas, kamu jadi jalan-jalan sama Ibu?” Bulan berusaha setenang mungkin. Berpura-pura tak terjadi apa-apa. Berpura-pura tak tahu apa-apa.“Jadi … kenapa memangnya?”Wah pintar sekali bersandiwara. Tadi saat ingin menukar kendaraan, Lingga berubah sikap menjadi lebih mesra dan baik pada istrinya. Tapi kini, dia kembali cuek—-seperti sebelum-sebelumnya. Bulan hanya tersenyum kecut. Dia semakin mantap untuk meninggalkan suami. Tapi dia perlu bukti yang lebih banyak untuk membongkar kedok sang suami.“Jalan-jalan kemana, Mas? Bisa gak nunggu aku sebentar? Aku mau ikut, dong. Kerj
Tiga hari berlalu sejak Bulan membuntuti pergerakan suaminya lewat aplikasi di ponselnya. Kini dia juga tak hanya menyadap mobil mereka tapi juga ponsel suaminya.Bulan memang sengaja untuk bersikap biasa saja hanya untuk mendapat bukti yang lebih banyak. Pesan yang masuk di ponsel Lingga, bisa dilihat juga oleh Bulan. Mungkin ini perbuatan yang tak sopan, tapi dia tak punya pilihan lain.Bu Ines selaku mertua, juga semakin berubah. Ia seperti Lingga kedua. Bicaranya semakin irit. Tingkahnya pada sang menantu pun tak sehangat dulu.“Bu … besok kan hari Minggu. Mumpung aku libur dan Ibu masih di sini, gimana kalau kita jalan-jalan bareng?” tanya Bulan pada sang mertua.“Gimana, Mas? Ini waktu yang tepat. Katanya kamu mau ngajak aku jalan-jalan. Udah lama loh kita gak keluar bareng.” Kini Bulan beralih pada sang suami. Sedikit manja untuk memancing sang suami.Bulan memperhatikan reaksi mereka berdua dengan baik. Lingga diam-diam memberi kode pada ibunya lewat lirikan mata. Bulan tahu p