“Silahkan, Mas! Nyonya sudah menunggu di dalam.”Sampai di rumah majikannya, Lingga tak langsung kembali ke pos security. Tapi dia diminta masuk ke dalam rumah mewah itu oleh seorang ART.Baru kali ini, Lingga bisa masuk ke dalam rumah mewah milik Nyonya Sandra. Setiap barang yang terpajang di sana terlihat mewah dan tentunya memiliki harga yang mahal. Sempat terbersit angan-angan untuk memiliki rumah semegah itu. Tapi itu tak akan mungkin terjadi. Dia tak memiliki apapun yang dibanggakan selain rasa syukur dan tekad yang kuat untuk bekerja dengan rajin.TokTokTokART yang bernama Mbak Sarni terlihat mengetuk pintu salah satu kamar yang ada di lantai dua.“Ini kamar siapa, Mbak?” bisik Lingga, sebelum pintu itu terbuka dari dalam.“Nona Clarissa.”Nama itu. Nama yang membuat Lingga datang kembali ke rumah majikannya dalam waktu cepat. Nama yang membuat dia penasaran sejak tadi. Siapakah pemilik nama itu?CeklekPintu pun terbuka. Terlihat sosok Nyonya Sandra yang tersenyum ramah ke
“Terserah apa katamu! Toh, aku juga gak bakal menerima tawaran itu,” ucap Lingga tak peduli.“Apa, Mas? Kamu gak mau menikahi anak orang kaya itu?” tanya Agnes, penuh keheranan. Lingga menggeleng, menjawab pertanyaan istrinya.“Bod0h kamu, Mas. Benar-benar, bod0h. Kesempatan emas seperti ini malah dilewatkan begitu saja. Ini satu-satunya cara untuk keluar dari garis kemiskinan. Memangnya kamu betah jadi orang misk1n terus?”Mendengar perkataan Agnes, Lingga dan ibunya menggelengkan kepala pelan. Tak habis pikir dengan isi kepala Agnes. Baru kali ini mereka mendengar seorang istri begitu mendukung suaminya untuk menikah lagi. Apakah Agnes ingin mengejar surga dengan mengambil keputusan berbagi suami? Ataukah ini hanya tentang hart4 dan status sosial? Jika mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Agnes, sepertinya wanita itu menginginkan suaminya menikah lagi hanya karena calon madunya adalah anak orang kaya. Dia berharap mendapatkan bagian hart4 dari keluarga Nyonya Sandra.“Pikirkan,
“Apa-apaan ini, Mas?”Agnes langsung melempar ponsel ke raga Lingga. Pria itu kaget dan terbangun dari tidurnya. Dia merasakan sakit di ulu hati. Sepertinya benda pipih itu jatuh tepat di atas dad4nya dan terpental kembali ke kasur.Lingga mengambil ponselnya yang sudah terbuka. Kontak dengan nama “istriku” terpampang di sana. Ketahuan. Agnes sudah mengetahui semuanya.“Ngapain kamu simpan nomor wanita itu dengan nama istriku, huh? Kamu masih berharap sama dia?”“Apa-apaan sih, kamu? Dari tadi marah-marahin suami terus. Aku gak pernah disambut dengan makanan, minuman, atau senyum manis. Kamu selalu saja mencari masalah. Kalau gini, aku pusing di rumah terus,” ucap Lingga. Hal itu semakin memancing amarah Agnes.“Apa kamu bilang? Pusing? Harusnya aku yang bilang gitu, Mas. Sekarang jawab pertanyaanku! Apa kamu masih berharap sama wanita itu?”“Wanita yang mana?”“Jangan belagak beg0, Mas! Wanita tua, mantan istrimu itu. Kamu masih berharap sama dia, huh? Ingin rujuk lagi? Atau jangan-j
“Hei … hei. Ngapain kalian ke sini?”Si4l bagi Lingga. Bahkan di tempat kerja pun, dia tak bisa tenang. Semua itu karena ulah istri dan keluarganya. Seperti pagi ini. Saat dia tengah berjaga di pos security, Agnes, Bu Sulis, dan Nesi tiba-tiba muncul di rumah majikannya itu. Mau apa mereka datang ke sana?“Apa-apaan sih, Mas? Lepasin! Aku mau bertemu majikanmu.”Agnes berusaha menghempaskan genggaman tangan Lingga.“Mau apa kalian ke sini? Tolong! Jangan buat masalah di sini! Aku baru saja keterima kerja. Jangan kacaukan semuanya!" ucap Lingga berusaha memberi pengertian.Tapi Lingga berbicara dengan orang yang salah. Manusia-manusia itu tak akan pernah mau mendengarkan orang lain. Mereka hanya fokus akan rencana-rencana liciknya.“Udah, deh, Ngga! Jangan menghalangi kami! Kamu kerja saja yang bener! Balik ke pos security! Kami di sini tamu Nyonya dan Tuan,” ucap Bu Sulis.Tentu saja Lingga tak bisa percaya begitu saja. Pasti ada rencana licik yang mereka buat hingga datang ke rumah i
Empat bulan berlalu, sejak Agnes dan keluarganya nekat datang ke kediaman Nyonya Sandra. Sejak saat itu pula, Agnes semakin bersikap berlebihan pada suaminya. Lingga terus dipaksa untuk menerima perjodohan itu.“Ngga. Kenapa bengong? Soal istri kamu lagi?” tanya Pak Listyo, tukang kebun di sana yang saat ini tengah menemani Lingga menjaga rumah. Iya. Hari ini Lingga kedapatan shift malam.“Emmm … begitu lah, Pak. Saya lelah bertengkar dengan masalah yang itu-itu saja.”“Apa gak sebaiknya kamu terima perjodohan ini saja? Toh, istrimu sudah merestui, apa lagi yang dipikirkan? Jika kamu menikah dengan Nona Clarissa, hidupmu akan terjamin, Ngga. Kesempatan emas kok dilewatkan.”Lingga menoleh ke arah Pak Listyo. Dia mengernyitkan kening sembari menatap lelaki yang usianya sepuluh tahun lebih tua dari dirinya.“Kok Bapak jadi mirip sama istri saya, sih?”Mendengar perkataan Lingga, Pak Listyo hanya tersenyum–cengengesan. Dia hanya ingin menyampaikan pendapatnya pada Lingga, yang kebetulan
Sebulan berlalu. Anak Lingga dan Agnes yang diberi nama Nadia, telah diperbolehkan untuk pulang. Bayi itu bisa melewati masa-masa tersulitnya berkat ayah terhebatnya.Selama ini, Lingga selalu bolak-balik ke rumah sakit dan tempat kerja, demi menemani sang buah hati. Saat dia mendapat shift malam, maka Nadia akan ditemani neneknya di rumah sakit. Clarissa juga begitu rajin menemani bayi mungil itu. Dia benar-benar serius ingin menjadi ibu sambung bagi sang bayi. Lalu kemana Agnes? Wanita itu benar-benar tak punya hati. Dia sama sekali tak peduli dengan kondisi putrinya. Sejak Lingga dan Clarissa semakin dekat, Agnes menggunakan kesempatan itu untuk memanfaatkan Clarissa. Dia selalu meminta uang pada putri Nyonya Sandra dengan alasan balas budi. Justru dia lah yang ingin dianggap sebagai pahlawan karena telah rela menyerahkan sang suami untuk Clarissa. Clarissa tak masalah akan semua itu. Dia tak mempermasalahkan soal uang. Toh, dia memiliki banyak uang. Walaupun di rumah saja sela
“Tapi aku sudah gak mau hidup denganmu lagi.”Sontak, semua orang yang ada di halaman belakang, menoleh ke arah sumber suara. Suara itu berasal dari Lingga. Dia menghentikan kegil4an Bu Sulis yang ingin memer4s Clarissa.“Loh, maksud kamu apa, Mas? Kamu mau menceraikanku?” tanya Agnes. Dia mulai khawatir.“Maaf, Nes. Sepertinya kita sudah tak bisa bersama lagi. Aku tak tahan dengan sikapmu yang egois. Hanya mementingkan kesenangan diri sendiri.”“Oooh … jadi ini balasanmu setelah aku memberimu seorang anak? Kamu hanya menjadikanku mesin pencet4k an4k. Iya?”Lingga menggelengkan kepalanya. Tak tahan mendengar ocehan Agnes yang tak masuk akal. Walaupun dia ingin bercerai, tapi semua itu tak disebabkan oleh hal-hal yang seperti Agnes katakan. “Dasar licik. Suami bej4t. Setelah mendapatkan anak dariku … dan kini punya selingkuhan kaya raya, kamu mau membu4ngku begitu saja?”“Tidak, Nes. Tidak seperti itu.” Lingga masih berusaha untuk tenang.“Kej4m sekali kamu, Lingga. Tak punya perasaan
“Sayang … ada undangan makan malam dari Om Anthony dan Tante Sandra. Kamu ikut, ‘kan?” tanya Mama Mery pada anak semata wayangnya.“Ikut lah, Sayang! Kita ke sana bareng-bareng, ya! Jangan terlalu sibuk sama pekerjaan. Kamu perlu refreshing. Ayo kita berkunjung ke rumah Om dan Tantemu, sekaligus menyambung tali persaudaraan kita,” ucap Papa Kevin, menimpali perkataan istrinya. Mereka terus membujuk Bulan untuk ikut serta.Semenjak pernikahannya dengan Lingga kandas begitu saja, Bulan seakan menutup diri dari pergaulan. Dia terus menyibukkan diri dengan bekerja dan membuka usaha. Dia hanya akan berinteraksi dengan orang-orang jika menyangkut soal pekerjaan.Apakah Bulan masih sakit hati dan hancur karena ditinggal oleh Lingga? Perasaan itu pasti ada, tapi perubahan dirinya saat ini bukanlah semata-mata karena diri Lingga. Bukan karena dia tak bisa move on dari Lingga. Hanya saja, dia ingin menaikkan value dirinya sebelum memulai perjalanan untuk mencari cinta sejatinya. Dia ingin memua