Sebulan berlalu. Anak Lingga dan Agnes yang diberi nama Nadia, telah diperbolehkan untuk pulang. Bayi itu bisa melewati masa-masa tersulitnya berkat ayah terhebatnya.Selama ini, Lingga selalu bolak-balik ke rumah sakit dan tempat kerja, demi menemani sang buah hati. Saat dia mendapat shift malam, maka Nadia akan ditemani neneknya di rumah sakit. Clarissa juga begitu rajin menemani bayi mungil itu. Dia benar-benar serius ingin menjadi ibu sambung bagi sang bayi. Lalu kemana Agnes? Wanita itu benar-benar tak punya hati. Dia sama sekali tak peduli dengan kondisi putrinya. Sejak Lingga dan Clarissa semakin dekat, Agnes menggunakan kesempatan itu untuk memanfaatkan Clarissa. Dia selalu meminta uang pada putri Nyonya Sandra dengan alasan balas budi. Justru dia lah yang ingin dianggap sebagai pahlawan karena telah rela menyerahkan sang suami untuk Clarissa. Clarissa tak masalah akan semua itu. Dia tak mempermasalahkan soal uang. Toh, dia memiliki banyak uang. Walaupun di rumah saja sela
“Tapi aku sudah gak mau hidup denganmu lagi.”Sontak, semua orang yang ada di halaman belakang, menoleh ke arah sumber suara. Suara itu berasal dari Lingga. Dia menghentikan kegil4an Bu Sulis yang ingin memer4s Clarissa.“Loh, maksud kamu apa, Mas? Kamu mau menceraikanku?” tanya Agnes. Dia mulai khawatir.“Maaf, Nes. Sepertinya kita sudah tak bisa bersama lagi. Aku tak tahan dengan sikapmu yang egois. Hanya mementingkan kesenangan diri sendiri.”“Oooh … jadi ini balasanmu setelah aku memberimu seorang anak? Kamu hanya menjadikanku mesin pencet4k an4k. Iya?”Lingga menggelengkan kepalanya. Tak tahan mendengar ocehan Agnes yang tak masuk akal. Walaupun dia ingin bercerai, tapi semua itu tak disebabkan oleh hal-hal yang seperti Agnes katakan. “Dasar licik. Suami bej4t. Setelah mendapatkan anak dariku … dan kini punya selingkuhan kaya raya, kamu mau membu4ngku begitu saja?”“Tidak, Nes. Tidak seperti itu.” Lingga masih berusaha untuk tenang.“Kej4m sekali kamu, Lingga. Tak punya perasaan
“Sayang … ada undangan makan malam dari Om Anthony dan Tante Sandra. Kamu ikut, ‘kan?” tanya Mama Mery pada anak semata wayangnya.“Ikut lah, Sayang! Kita ke sana bareng-bareng, ya! Jangan terlalu sibuk sama pekerjaan. Kamu perlu refreshing. Ayo kita berkunjung ke rumah Om dan Tantemu, sekaligus menyambung tali persaudaraan kita,” ucap Papa Kevin, menimpali perkataan istrinya. Mereka terus membujuk Bulan untuk ikut serta.Semenjak pernikahannya dengan Lingga kandas begitu saja, Bulan seakan menutup diri dari pergaulan. Dia terus menyibukkan diri dengan bekerja dan membuka usaha. Dia hanya akan berinteraksi dengan orang-orang jika menyangkut soal pekerjaan.Apakah Bulan masih sakit hati dan hancur karena ditinggal oleh Lingga? Perasaan itu pasti ada, tapi perubahan dirinya saat ini bukanlah semata-mata karena diri Lingga. Bukan karena dia tak bisa move on dari Lingga. Hanya saja, dia ingin menaikkan value dirinya sebelum memulai perjalanan untuk mencari cinta sejatinya. Dia ingin memua
“Loh … Bulan mana, Mer?” tanya Nyonya Sandra pada iparnya. Sabtu malam, di saat muda-mudi asik menyusun rencana untuk memadu kasih, keluarga Bulan justru disibukkan dalam menghadiri undangan keluarganya. Iya, undangan dari keluarga Nyonya Sandra dan Tuan Anthony.“Ohh, Bulan. Sebentar lagi dia menyusul,” ucap Mama Mery sembari menyunggingkan senyum.Orang tua Bulan disambut dengan begitu baik oleh Tuan dan Nyonya. Sepertinya mereka telah benar-benar akur. Tuan Anthony pun lebih banyak melontarkan lelucon pada adik dan iparnya. Ia yang dulu kaku dan dingin pada Papa Kevin, kini justru begitu ceria. Ia tak lagi membenci Papa Kevin yang dulunya dianggap sebagai perusak hubungan kekeluargaan antara dirinya dan Mama Mery.Dulu, keluarga Mama Mery memang tak menyukai Papa Kevin. Pria itu dianggap tak selevel dengan mereka. Ketenaran serta kekay4an yang dimiliki keluarga Mery, membuat mereka menjadi congkak dan arogan. Dia menganggap orang lain begitu rendah. Hal itulah yang membuat Mama Me
“Kok baru dateng sih, Mas? Kami nungguin dari tadi loh. Baby Nadia mana? Gak diajak?”Clarissa langsung menghampiri pujaan hatinya itu. Tapi Lingga masih tak bergeming, begitupun dengan Bu Ines. Mereka kompak memandang ke satu arah, yaitu ke arah Bulan.Melihat ekspresi dari keluarga Bulan dan Lingga, Tuan dan Nyonya merasa kebingungan, begitupun dengan Clarissa. Sebenarnya ada apa ini? Begitulah isi pikiran mereka saat ini.“Mas … Bu. Kalian kenapa? Kok bengong?” tanya Clarissa pada Lingga dan ibunya.“Dek, kenapa? Kamu kenal sama Lingga dan ibunya?” Sedangkan Nyonya Sandra, mulai mencari tahu lewat adik iparnya. Dia bertanya pada Mama Mery tentang apa yang terjadi saat ini. Mama Mery pun mengangguk lemah.“Sudah … sudah! Kita bicarakan ini nanti. Sekarang ayo! Kita makan malam dulu!” titah Tuan Anthony pada semua orang di rumah itu.Mereka semua tak saling bicara. Tapi saat ingin menuju ke ruang makan, Clarissa menggandeng tangan Lingga dengan mesra. Pria itu justru memandang ke ar
“Nak ….”Bu Ines mendekati anaknya di kamar. Sejak kemarin, Lingga hanya bengong dan mengurung diri di kamar. Ibunya khawatir akan kondisi sang putra. Dia mencoba mengulik tanya tentang perasaan Lingga saat ini.“Cerita sama Ibu, Nak!” ucap Bu Ines dengan nada lembut. Dia tak ingin sang putra merasa risih dan memilih menutup bibirnya rapat-rapat. Saat ini, mereka hanya tinggal berdua. Mereka harus tetap kompak dan saling mendukung. “Bu … sepertinya aku gak bisa melanjutkan perjodohan ini,” ucap Lingga.Bu Ines hanya mengangguk. Dia sedikit tahu tentang kecamuk yang anaknya rasakan saat ini. Pasti di hatinya, masih ada Bulan yang menguasai tahta tertinggi. Bu Ines mencoba mengerti itu dan tak mau memaksa Lingga lagi. Dia tak ingin terjadi masalah di kemudian hari.“Apa kamu masih sangat mencintai Bulan, Nak?” tanya Bu Ines.Lingga mengangguk. Ada raut penyesalan di wajahnya. Hal itu semakin nampak sejak pertemuannya semalam dengan Bulan.“Ibu tak tahu harus bilang apa. Ibu hanya bisa
Kesal. Clarissa pun keluar dari mobilnya dengan amarah yang memuncak. Dia bergegas menyusul calon suaminya ke rumah wanita itu.“Mas ….”Clarissa berteriak dengan keras, hingga membuat beberapa tetangga terkejut dan mengintip dari jendela rumahnya.“Non ….” Lingga terkejut dan kembali berdiri. Sedangkan Bulan keheranan, dia mengerutkan keningnya.“Apa-apaan ini, Mas?” tanya Clarissa dengan nada marah.“Ma … maaf, Non.”“Kamu masih mengharapkan dia, Mas?” ucap Clarissa sembari menunjuk Bulan dengan tak sopan. Tak ada lagi panggilan Mbak atau Kak yang ditujukan pada Bulan oleh dirinya.“Maaf, Non. A … aku tak bisa denganmu. Aku masih mencintai Bulan.”Clarissa semakin kesal. Tapi amarahnya itu kini tertuju pada diri Bulan. Mantan istri Lingga itu semakin tak enak hati pada sepupunya. Baru saja membangun komunikasi dan hubungan yang baik, kini mereka justru akan berselisih paham karena seseorang. Dan lagi-lagi, orang yang membawa penderitaan di kehidupan Bulan adalah Lingga.“Maaf, Sa. A
“Ma …. Ayo bantu aku mempersiapkan pernikahan!”Pulang-pulang, bukannya menyapa orang tuanya, Clarissa justru menampilkan wajah kesal dan memberi kabar mengejutkan.“Apa? Pernikahan? Pernikahan siapa, Nak?” tanya Nyonya Sandra.“Pernikahanku dan Mas Lingga, Ma. Mana Papa?”“Papamu sedang keluar, Nak. Beliau mau bertemu Om Kevin dan Tante Mery.”“Ngapain Papa masih mau berhubungan baik dengan mereka? Putuskan saja tali persaudaraan kita lagi, Ma! Kita tak butuh saudara seperti mereka. Mereka lic1k.”Nyonya Sandra terkejut mendengar perkataan putrinya. Apa-apaan ini? Kenapa Clarissa begitu marah dengan keluarga Mama Mery? Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian semalam? Apa ini masih berkaitan dengan Lingga?“Nak. Siapa yang mengajarimu berbicara seperti itu? Mereka saudara kita. Tante Mery itu adik satu-satunya Papa. Oma dan Opa sudah memberi pesan pada kita untuk bersatu. Tolong jangan ngomong yang nggak-nggak, Nak! Jangan memperkeruh suasana!" “Gimana aku gak kesel dan marah, Ma?