Berbeda dengan Adi, dia dengan tenang terus mengendarai truknya, padahal mengerti kalau tadi ada rombongan begal mengikuti laju kendaraannya.
"Aaah ... kenapa gagalkan rencana kalian. Aku jadi tidak dapat tumbal malam ini." Adi tersenyum sinis menatap ke arah spion melihat rombongan begal menghentikan niatnya.
Tanpa pikir panjang Adi melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi berharap sebelum Isya sampai tempat tujuan. Namun, harapan Adi pupus. Jalan yang akan dilaluinya terhalang bebatuan longsor akibat terjadi gempa kecil sehingga jalur memutar alternatifnya. Untuk menghilangkan rasa lelah serta bosan, Adi pun mampir di sebuah warung di pinggiran jalan. Kopi pahit disesap dengan nikmat diiringi asap rokok terkepul dari bibirnya. Adi merasa sedikit lepas beban.
"Mas, arep ngendi?" tegur wanita pemilik warung dengan nada manja. Adi yang sedikit mengerti bahasa daerah karena bergaul dengan Mas Gondo, menjawab dengan singka
Adi yang meradang menghadapi kegalauan hatinya terus berpetualang menikmati pekerjaannya yang berhubungan dengan kematian, sedangkan Sumi di lain tempat melawan perasaannya. Apalagi Armand terus mendekati dia dan anaknya. Rizky terlihat nyaman jika bersama pria muda itu."Mbak Sumi, sebentar lagi' kan Rizky usianya genap setahun. Bagaimana kalau kita rayakan?" Armand sangat bersemangat mengungkapkan idenya saat sepulang kerja mampir ke rumah Sumi sambil membawa mobil-mobilan yang disambut tawa ceria anaknya."Duuuh, enggak usah, Dek. Merepotkan saja lagi pula masih dua bulan lagi, kok."Armand mendekat ke arah Sumi sambil membawa Rizky yang tenang dalam pangkuannya."Merepotkan? Tidak Mbak. Saya beserta Teh Dewi akan menyiapkan semuanya. Nanti kita adakan acara pesta ulang tahunnya di restoran yang baru buka di dekat komplek Duta Indah, biar Mbak Sumi enggak capek. Teman-teman Rizky pasti juga senang
Mbak Sumi cari siapa, ya?" tanya pemilik warung melihat Sumi seperti mencari-cari sesuatu."Eh, itu, Bu. Perempuan seusia saya, putih dan cantik. Tadi sepertinya ada di balik pohon, saya hampiri sudah tidak ada," jawab Sumi sambil matanya masih mencari-cari keberadaan Tini."Oh, yang pakai baju hijau, ya, Mbak?""Iya, betul. Ibu kenal?""Lah, kalau enggak salah namanya Astini, Mbak. Orang kaya pindahan dari Jakarta. Rumahnya paling ujung jalan ini, paling besar." Jawaban Ibu Warung membuat tercekat karena setahu dia sahabatnya itu hanya perempuan sederhana, namanya pun Tini, bukan Astini."Kenapa memangnya, Mbak? Saya lihat dari tadi memang wanita tadi selalu memperhatikan Mbak Sumi.""Saya juga enggak tahu, Bu. Mungkin dia mengenal saya. Ya, sudah kalau begitu saya pulang dulu. Terima kasih, Bu," ucap Sumi yang memutuskan segera pulang karena sudah sore dita
Kehidupan bagaikan sebuah permainan, di mana manusia sebagai bidaknya. Entah siapa pemainnya. Tuhankah atau ada yang lainnya. Terpenting bagaimana menyikapi hidup tersebut. Pasrah dengan keadaan atau maju terus menerabas hal-hal di luar nalar.Memikirkan hal terjadi pada para pengabdi Sang Junjungan dengan orang sekitarnya membuat berpikir, akan semua janji yang diberikan iblis tersebut nyata adanya? Itulah yang ada di benak dan pikiran Adi saat usai menunaikan tugasnya di Gunung Kidul. Melihat orang bersyukur dalam keadaan kekurangan menyebabkan dilema pada diri Adi."Aaakh! Sampai kapan seperti ini?" Adi berteriak sambil melajukan truknya. Hujan lebat diiringi suara guntur menggelegar tidak menghalangi pria tersebut melanjutkan perjalanan, apalagi tempat dituju sudah dekat, yakni Perusahaan angkutan Samudera Angkasa.Namun, saat Adi hendak berbelok, seseorang berlari di depan kendaraannya. Sontak, dia menekan pedal rem
Di dalam truk menuju ke pabrik, Adi merasa bingung. Apa lagi harus bersikap tidak tahu apa-apa terhadap Mas Gondo, karena sahabatnya itu seperti sudah tahu apa yang dipikirkannya. Namun, tadi Retno memberikan sebilah keris yang harus diselipkan di dompet dan harus dibawa ke mana pun. Sepertinya itu sebagai media penghalang atau pagar gaib buat Adi agar tidak mudah diketahui isi hati serta pikirannya oleh orang yang memiliki mata batin seperti Mas Gondo.Sesampainya di pabrik, Adi memarkirkan truknya lalu pergi membawa sepeda motor yang belum lama dibelinya menuju rumah sewaan, tetapi karena lelah dan letak rumahnya di pinggiran kota, dia memutuskan menginap di salah satu motel yang banyak di daerah indrustri tersebut.Pagi-pagi sekali Adi sudah sampai pabrik, memang rencananya hari ini, dia hanya akan mengantarkan barang yang tersisa, belum sempat dikirim. Walau sebenarnya hari ini jadwal libur."Di, Adi!" Mas Gond
"Aaah, kita dianggap apa, sih, Mas!" sentak salah satu perempuan muda tersebut saat Adi masih terdiam saja."Kenapa? Aku akan bayar kalian!" Adi merapikan bajunya, lalu melemparkan beberapa lembar uang. Dengan dingin dia meninggalkan bilik tersebut."Mau ke mana, Di?" tanya Mas Gondo saat melihat sahabatnya itu, bergegas keluar warung."Balik Mas ... bosan di sini. Mata Adi mencari jika ada taksi atau ojek yang lewat.""Ya, sudah kita balik, Di. Biar kuantar kamu." Mas Gondo pasrah, tujuannya mengajak Adi ke tempat mesum itu gagal. Ternyata Adi sudah mati rasa terhadap wanita."Enggak usah Mas, kamu lanjutin saja dengan perempuan tadi, aku duluan balik." Adi menghentikan taksi yang lewat di hadapannya, kemudian berlalu menuju pabrik. Pikir Adi, mumpung masih sore, dia akan mengunjungi Retno.Setelah mengambil sepeda motornya di pabrik, Adi segera meluncur ke
Di, aku ikut!" Adi mengenali itu adalah suara Retno. Adi mengangguk dan membuka kunci pintu truk.Retno menghempaskan bokongnya di atas jok, lalu menyuruh Adi segera meninggalkan pelabuhan."Aduh, Bik! Kemana saja, sih? Adi cari Bibik ke rumah yang waktu itu kita sambangi." Adi membuka percakapan sambil mengemudikan truk."Bibik sudah dapat tempat yang layak, Di. Nanti kita mampir kalau kamu sudah mengantar barang-barang.""Bibik mau ikut? Jauh, loh!""Enggak apa-apa, hitung-hitung mengenang sewaktu, Bibik dan pamanmu menyusuri jalan dengan truk waktu itu."Adi mengangguk di hatinya ada pertanyaan, tetapi tidak enak mengungkapkannya."Pamanmu sudah mati, Di. Dia tidak mau menyembah Sang Junjungan jadi terpaksa ditumbalkan." Retno mengetahui isi pikiran Adi, setelah menjawab, dia menatap lurus ke depan, membayangkan masa lalu bersama suaminya. Betapa dulu mereka berkasih sayang, walau Retno din
Perjalanan Adi dengan Bibiknya terhenti sesaat di sebuah rumah makan. Perut yang terasa keroncongan terisi dengan berbagai makanan lalu mereka melanjutkan kembali ke tujuannya."Kalau boleh, Bibik nginap di rumahmu, ya, Di," ucap Retno dalam perjalanan pulang setelah mengantar barang.Adi terlihat kaget mendengar permintaan Bibiknya itu."Eem, tapi kontrakan Adi kecil, Bik. Walau ada kamar dua, sih.""Enggak apa-apa, nanti sebelum ke pabrik kamu antar Bibik ke kontrakanmu dulu, ya ... kan, ngelewati.""Iya, Bik," sahut Adi.Seperti rencana, Adi melanjutkan kembali menuju pabrik, setelah menurunkan Retno di depan kontrakannya. Sesudah menerima kunci, perempuan itu segera memasuki rumah petakan yang disewa Adi.Tubuh Retno gemetar, sesaat dia selesai membersihkan diri di kamar mandi. Mengetahui ada pertanda, Retno segera duduk
Hampir tengah malam saat Adi sampai di kontrakan dan mendapati Retno masih terbaring lemah di lantai."Bik, Bibik!" Adi berusaha membangunkan Retno. Namun, perempuan itu tidak bergeming. Sehingga Adi memutuskan ingin membawanya ke rumah sakit, tetapi saat tubuhnya hendak diangkat, mata Retno membuka."Ambilkan tas Bibik, Di ...." Adi bergegas mengambilkan tas kecil yang diletakkan Retno di kursi, sebelum dia mencoba menerawang tadi."Ini, Bik!" Adi memberikan tas Retno kepada pemiliknya. Perempuan itu langsung mengeluarkan botol kecil berisi cairan merah pekat yang langsung diteguknya habis. Mata Retno mengerjap, wajahnya pun tampak segar setelah meminum cairan tersebut."Ada apa, kok, Bibik pingsan?" tanya Adi."Aku tadi berusaha mencari tahu keberadaan Sumi karena merasakan getarannya, tetapi saat berusaha lebih jauh lagi, aku diserang. Sepertinya oleh Gondo dan Yudhis,"