Share

Boros Saja Terus

"Enak aja! Kamu pikir aku babu gratisan di rumah ini? Aku baru sadar, kalau selama aku di sini pasti dimanfaatkan. Hanya saja, dulu aku berpikir itu hal yang wajar dan aku fine-fine aja, sebab itu kuanggap sebagai bentuk berbakti pada sang mertua. Tapi, makin ke sini, aku jadi makin sadar. Ternyata, kalian hanya memeras tenagaku saja. Masih mending babu dibayar, lah aku? Ck, ck, ck," sahut Sari memasang wajah sinis ke arah Anggi.

Gadis yang meletakkan tas sekolahnya dengan asal itu tampak mengerutkan kening. Kaget saat mendapati Sari berbicara ketus tak seperti biasanya.

"Lah, Mbak Sari ini kenapa? Kok malah marah-marah begitu? Apa bawaan bayi, ya? Aneh banget, sih!" ujar Anggi melirik sekilas ke arah Sari, lalu kembali fokus ke layar ponsel yang kini dipegangnya.

"Nggak papa! Pikir aja sendiri! Ayo, Mas, pokoknya aku mau pulang. Kamu nggak mau kan, kalau aku jadi stres dan malah berdampak sama anak dalam kandunganmu ini? Aku mau pulang pokoknya!" kata Sari merengek seraya menarik-narik ujung baju milik Aris.

"Apaan sih, Mbak! Nggak lucu banget! Ada apa sih, Bu? Kenapa jadi tegang begini? Kalian abis berantem?" Mata Anggi yang tadinya fokus pada layar ponsel, kini beralih menatap Ibu juga kakak iparnya. Dia merasa, ada yang tidak beres di antara mereka.

"Lah, ditanya pada diam semua? Aneh banget. Ya sudah, aku mau masuk kamar dulu. Ibu siapkan makan, ya! Aku laper banget, nanti abis makan aku mau pergi sama teman-teman ya, Bu, kerja kelompok!" kata Anggi dengan santainya.

Namun, selangkah di depan pintu kamar. Dia membalikkan tubuhnya lagi dan menatap ke arah Aris dengan pandangan mencurigakan.

"Oh, ya, Mas! Bagi duit dong! Uang jajan udah abis, Mas Aris udah aku WA dari kemarin, malah diread doang. Ah, aku tau, Mas ke sini pasti sekalian kasih jatah uang jajan buat aku, kan? Sini, mana!" Tangan Anggi mengulur dari kejauhan. Aris langsung menatap Sari dengan pandangan takut-takut. Sementara Sari, rasanya dada saat ini sudah semakin sesak.

"Oh, jadi kamu pelit sama aku, kasih aku jatah-jatah dan suruh hemar. Semua pengeluaran kamu handle, tapi kamu bisa royal sama keluargamu ya, Mas? Memang benar kata pepatah, ya! Wanita tidak paham agama, masih bisa diajarkan dengan baik, ilmu agama yang benar.

Tapi, lelaki yang tidak paham tentang agama. Maka, akan rusak seluruh kurikulum dalam rumah tangganya. Dan aku rasa, bukti nyata itu sudah jelas, terpampang di depan mata! Kamu bisa setidak adil itu sama aku, Mas! Perkara beli sate karena ngidam, yang kamu anggap itu boros dan menghamburkan uang, lalu apa bedanya dengan kasih jatah tetap yang rutin untuk adikmu? Terus saja kamu manjain dia, Mas, aku nggak papa! Tapi, jangan sampai aku lelah dan tak mengharap lagi nafkah darimu!" ujar Sari dengan nada mengancam.

Namun, Bu Ning hanya tertawa.

"Hahaha, lagakmu, Sari, Sari! Mau makan apa kamu memangnya, kalau Aris betul-betul berhenti memberikanmu nafkah? Sombongnya itu lho, nggak ketulungan banget!" kata Bu Ning dengan suara lantang.

"Aku mau pulang, Mas! Terserah kalau kamu masih betah di sini, awas!" Sari beranjak berdiri. Dengan cepat, Aris mencekal pergelangan tangannya.

"Tunggu! Jangan begini! Aku minta maaf, ayo aku antar kamu beli sate sesuai yang kamu mau. Jangan marah lagi dan nggak usah dibahas soal ini, aku benar-benar minta maaf!" kata Aris dengan suara mengiba. Hal itu tentu saja membuat Bu Ning semakin tak terima.

"Halah, manja!" ketus Bu Ning.

"Nggak usah! Udah bosan aku sama aroma sate di meja ini! Udah nggak pengen lagi rasanya," kata Sari tanpa melirik ke arah suaminya.

"Jangan begini lah, Sari. Ayolah!" Aris masih saja memohon.

"Ayo, Sayang! Aku antar kamu beli sate daging tanpa lemak yang sedang viral itu. Jangan marah lagi, ya?" ujar Aris dengan wajah iba. Dia kembali membujuk istrinya, agar tak lagi marah-marah.

"Ayo!" Akhirnya, meskipun dengan wajah yang setengah kesal, Sari mau-mau saja. Dia kembali membayangkan, bagaimana rasanya sate dengan bumbu rempah tanpa lemak yang sedap. Ah, air liur Sari rasanya hendak menetes. Dia kembali mengusap perutnya yang buncit.

"He, mau kemana kalian? Kamu kok nggak ngehargain banget, sih, Ris! Itu kan Ibu juga sudah belikan kamu dan istrimu sate. Kenapa harus beli lagi? Jangan turuti istrimu itu! Sudah Ibu bilang, Ibu hamil ngidam itu nggak ada. Semua hanya mengada-ada dengan akal-akalan saja. Itu pasti Sari yang pengen, pakai acara bawa-bawa anak di dalam perut. Jangan boros kamu, Sari! Harusnya kamu bisa meminimalisir keuangan lah!

Jangan menuntut suamimu itu untuk memenuhi kebutuhanmu terus-menerus! Kamu pikir Aris nggak capek, nggak lelah cari uang terus?" Bu Ning masih saja mengomel panjang lebar. Tapi, Sari hanya memilih untuk diam saja. Tak menanggapi ocehan dari Bu Ning. Sari malah memalingkan wajahnya, dia sama sekali tak mau menoleh dan menuju ke halaman depan.

Sari berniat, akan menunggu suaminya di sana. Sengaja, bahkan Sari juga tak berminat untuk berpamitan, apalagi bersalaman dan mencium punggung tangan Bu Ning.

Sari masih bisa mendengar, bahwa suaminya itu sedang mengobrol bersama dengan Ibu kandungnya. Dia mencoba untuk tak mengambil pusing dan dengan sabar tetap menunggu hingga selesai.

Saat dirinya asyik melamun, seraya memikirkan masa-masa bujangnya dulu. Bu Indah menegurnya, wanita paruh baya itu terlihat penasaran sebab menantu dari tetangganya itu malah berada di luar rumah.

"Eh, Neng Sari. Kenapa kok diam disitu? Baru datang apa dari tadi?" tanya Bu Indah basa-basi.

Padahal, waktu Sari turun dari motor Aris tadi. Dia bisa melihatnya dengan jelas. Dia seperti itu hanya ingin bertegur sapa saja bersama dengan Sari.

"Oh, Bu Indah. Udah lumayan lama saya di sini. Lagi nunggu Mas Aris di dalam, masih ada perlu sama Ibu. Jadi, saya nunggu di sini saja, mau pulang soalnya," jawab Sari dengan senyuman tipis.

"Ehm, begitu! Kok tumben buru-buru. Jarang main ke sini, apa nggak kangen-kangenan dulu? Tadi juga Ibunya beli sate ke saya, buat menyambut kedatangan kamu dan Aris. Bagaimana? Enak ya, satenya? Sudah dimakan? Saya nggak tahu, kalau kamu malah sukanya yang berlemak. Hehe, saya mah banyak kalau kamu mau, biasanya dibuang-buang di sini, kadang juga saya bagi ke tetangga, atau peminta yang kebetulan lewat. Pelanggan jarang mau kalau lemak, kalau jeroan sih, masih suka! Gimana? Apa enak? Udah dimakan, ya?" tanya Bu Indah dengan polosnya, sementara Sari hanya celingukan saja seperti orang bingung.

Ingin rasanya dia jujur saja, bahwa dirinya sama sekali tak suka lemah. Apalagi yang meninggalkan bekas mengganjal tiap kali tersiram air dinging. Meninggalkan kerak-kerak yang lumayan membandel dan susah dibersihkan. Membayangkannya saja, membuat Sari bergidik ngeri.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status