Share

Serius Atau Drama?

"Kenapa, Mas?" tanya Sari saat memperhatikan wajah suaminya kini terlihat lesu.

"Satenya abis, Sayang!" sahut Aris. Wajahnya benar-benar kuyu. Dia merasa bersalah sekali karena tak bisa menuruti kemauan istrinya.

"Oh," gumam Sari singkat. Tentu saja kecewa rasanya dia. Apa mungkin saja, dia belum ditakdirkan untuk mencicipi sate viral yang diinginkan?

"Maaf ya, Sayang!" kata Aris dengan wajah sendu. Teriris sekali hatinya saat menatap wajah kecewa yang dipasang oleh Sari.

Sari hanya mengangguk singkat. Dia mengusap perutnya dengan lembut, hingga kemudian dia beranjak berdiri.

"Ayo, Mas! Kita pulang aja. Mau ngapain juga nunggu di sini kalau satenya nggak ada?" kata Sari yang sudah siap berjalan menuju ke arah parkiran.

"Tapi, kata Masnya tadi sih, masih bisa restock, Sayang! Mungkin sekitar satu jaman, lah. Apa mau menunggu saja? Kasihan, udah sampai sini tapi kamu malah gagal buat nikmati satenya," ujar Aris.

"Ehm, gimana ya? Satu jam ya, Mas?" Sari mulai mempertimbangkan. Sepertinya tak ada salahnya kalau hanya satu jam saja dia menunggu. Lagipula, dengan kondisi dan posisi ramai begitu, dia yakin tak akan bosan nanti sembari menunggu. Sari pun akhirnya mengangguk, setelah berpikir cukup panjang.

"Oke, deh, Mas! Sari mau menunggu," kata Sari yang kini kembali duduk.

Dia memperhatikan ke arah sekeliling, banyak sekali orang-orang yang hadir. Ada yang masih menikmati makanan sembari mengobrol, ada yang membuat konten dan masih banyak yang menunggu sembari berdiri. Benar mungkin, mereka semua rela menunggu antrian hingga sate itu restock kembali. Melihat hal itu, tentu saja Sari kembali penasaran. Dia betul-betul ingin mencoba sate yang fenomenal tersebut.

"Baiklah, Sayang! Kamu tunggu di sini aja, ya? Aku ngantri dulu," kata Aris yang langsung saja beranjak berdiri.

Sari mengangguk. Dia masih asyik menikmati angin segar yang mulai terasa dingin menyapa kulitnya. Sementara di sisi lain, Aris sedang mengantre lagi. Bahkan, antriannya sudah cukup panjang saat ini.

Sari kembali menatap ke arah kanan dan kirinya. Betul sekali sepertinya, jika rasa sate di tempat ini tak bisa lagi diragukan enaknya. Sebab, beberapa orang yang terlihat makan di tempat, saat ini sedang menikmati dengan wajah puas. Sari tentu saja tau, sudah jelas masakan di tempat makan ini tak perlu diragukan lagi. Ah, Sari rasanya tak sabar. Sebentar lagi hendak mencicipi sate yang akan memanjakan lidahnya.

Aris memesan dua porsi sate, dia juga menambahkan sepiring lontong dan dua teh hangat. Dia hanya ingin menuruti keinginan istrinya saja. Meskipun Ibunya itu akan marah, jika sampai tau nantinya.

"Sudah aku pesankan, Sayang! Ditunggu, ya!" ujar Aris dengan lembut.

Dia menyimpan nota pembelian ke dalam saku celana, sebab nota itu nantinya akan ditukarkan saat namanya dipanggil. Mengingat, nomor antrean juga sudah panjang dan sate belum juga siap. Jadi, untuk menyiasati tentu saja menggunakan cara nomor antrean seperti itu.

"Beneran ramai banget ya, Sayang, tempatnya? Pasti enak, sih!" ujar Aris seraya memperhatikan sekeliling. Dia manggut-manggut dan tampak memperhatikan tempat yang menjadi rekomendasi istrinya itu. Sementara Ratih, masih asyik menikmati suasana di kedai sate. Dia tak banyak menyahut pertanyaan dari Aris. Sesekali hanya mengiyakan, atau juga mengedikkan bahu sebagai jawaban kurang tau.

"Ini pasti ramainya karena diviralkan sama blogger kuliner itu ya, Sayang? Sepertinya, sebelum itu nggak banyak yang tau," kata Aris mencoba untuk mencari obrolan bersama dengan Sari.

"Iya, bener! Padahal katanya enak, tapi sayang sih, nggak banyak orang yang tahu, sampai akhirnya ya ada seseorang yang mengenalkan ini ke masyarakat luas. Jadilah ramai sampai sekarang," balas Sari sekenanya. Dia masih sibuk menikmati euforia angin luar.

Maklum saja, sejauh ini Sari hanya berdiam di dalam rumah saja. Jadi ya, menikmati dunia luar seakan-akan menyenangkan baginya. Hiburan Sari sebetulnya hanya sereceh itu.

"Anggi nggak kamu bungkusin, Mas?" tanya Sari mencoba mengganti obrolan mereka. Dia masih ingat tadi, sebelum berangkat Bu Ning menyuruh suaminya itu untuk membelikan adik iparnya juga.

"Nggak!" sahut Aris singkat.

"Lho, kok nggak? Nanti kalau Ibu tanya gimana? Bukannya tadi bilang, kalau kita ke sini, kamu harus bungkusin Anggi juga, Mas?" Kening Sari pun kembali mengernyit.

"Ya, uangnya nggak ada, Sar. Biarlah, soalnya apa-apa nggak harus dituruti kan? Nanti dia bisa lah makan sate yang lain. Dia juga biasa makan di luar sama teman-temannya. Sesekali jangan dimanja, biar aja dia beli sendiri. Lagipula, uang Mas menipis, udah buat persiapan biaya lahiran kamu ini. Takut ada sesuatu yang tak terduga, Mas harus siapkan dananya kan?" Aris tersenyum lembut.

"Iya, Mas!" Hanya itu yang diucapkan Sari sebagai jawaban. Entah kenapa, hatinya menghangat. Untuk kesekian kali, lelakinya itu mampu menenangkan dan membuatnya hatinya luluh kembali.

Hal sesederhana seperti itulah yang Sari butuhkan. Apalagi, dia sedang menjalani kehamilan pertama saat ini. Tentu dia membutuhkan support terbanyak dari suaminya.

"Kok lama ya, Sayang? Apa sudah satu jam?" tanya Aris menatap ke arah jam yang kini berada di pergelangan tangannya.

"Ehm, belum deh kayaknya, Mas!" Sari ikut-ikutan menoleh ke arah antrean yang bahkan masih memanjang. Rupanya, bukan hanya dia saja yang menanti dan tak sabar untuk mencicipi sate viral tersebut.

"Ya sudah nggak papa, ditunggu aja! Eh, iya, itu orang yang antre di depan Mas juga belum diantar pesanannya. Mejanya masih kosong!" tunjuk Aris pada meja yang berada di belakang Sari.

Istrinya itu hanya manggut-manggut saja. Euforia senang masih menyelimuti hati Sari, sebab sang suami itu mau menurutinya dan bahkan tak segan bersikap tegas pada Ibu serta adiknya tadi.

Keduanya kembali melanjutkan mengobrol, hingga beberapa kemudian ponsel milik Aris berdering. Sari juga reflek menoleh ke arah suaminya. Dengan sekali gerakan, Aris langsung saja mengambil ponsel dari sakunya. Dia mengernyitkan kening saat melihat nomor Anggi yang menghubunginya sekarang.

"Siapa, Mas?" tanya Sari menatap penuh curiga pada suaminya.

"Anggi!" jawab Aris sembari menunjuk ponselnya. Dia menatap istrinya dengan wajah penasaran.

"Angkat aja, Mas, siapa tau penting!" titah Sari, membuat Aris langsung saja menggeser layar ponselnya ke atas.

"Ya, halo!" sapa Aris.

Sari sendiri masih memperhatikan raut wajah suaminya yang terlihat serius, bahkan juga beberapa kali menghembuskan napas panjang. Sari jadi khawatir sekaligus penasaran dibuatnya.

Aris sudah bersiap mengakhiri panggilan hingga memasukkan ponselnya itu kembali ke dalam saku. Melihat hal itu, Sari langsung cepat-cepat bertanya.

"Kenapa, Mas?"

"Ibu jatuh di kamar mandi. Kepeleset katanya, ayo kita ke sana, Sayang! Tetangga sudah pada nolong, cuma aku belum lega kalau belum nengok!" ujar Aris dengan wajah sendu.

"Astagfirullahaladzim," sahut Sari sembari menutup bibirnya dengan kedua tangan.

"Ayo, cepat, Sayang!"

"Lho, tapi satenya gimana, Mas?" tanya Sari menyimpan banyak kekecewaan yang mendalam. Bukannya dia tak perhatian dengan kondisi sang mertua. Tapi, bolehkah dia berprasangka buruk sedikit, bahwa ibu mertuanya itu pasti sedang berdrama saja?

"Ayo, Sari! Kesehatan Ibuku lebih penting, nggak bisa ditukar dengan apapun! Apalagi cuma sepiring sate!" kata Aris dengan nada tinggi.

Mendengar bentakan dari suaminya, mata Sari kembali berkaca-kaca.

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status