Share

Sasaran Mertua

"Kamu pulang aja duluan, Mas! Biar aku pesan ojek aja nanti dari sini. Aku masih pengen sate. Lagipula, Ibumu kan nggak suka kalau ada aku? Nanti, bisa-bisa dia marah dan malah nggak sembuh-sembuh kalau aku ikutan ke sana. Sudahlah, aku baik-baik aja. Pergilah!" ujar Sari dengan suara bergetar.

Sebisa mungkin dia menahan tangisnya, menahan air matanya agar tak tumpah. Sari langsung saja berdiri, dia menghampiri tukang ojek yang ada beberapa nangkring di sekitar kedai sate. Aris menggelengkan kepalanya. Dia malu, jika perdebatan mereka harus disaksikan oleh khalayak umum begini. Aris meraih pergelangan tangan Sari dan mencekalnya dengan erat.

"Sakit, Mas! Lepasin! Kamu nggak mau aku teriak kan?" ujar Sari dengan mata memerah.

"Maaf," sahut Aris yang langsung saja mengendurkan cekalan di tangan istrinya.

Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Sari. Dia langsung saja berlari menuju ke salah satu tukang ojek dengan jaket hijau, yang sedang mengobrol bersama dengan teman-temannya.

"Pak, ojek! Ke kawasan X ya!" ujar Sari sekenanya. Dia hendak meminta helm dari pria berkulit legam tersebut.

"Maaf, Mbak! Bukannya saya nggak mau mengantarkan. Tapi, harus pesan lewat aplikasi dulu lho, Mbak! Saya nggak terima offline," sahut tukang ojek itu dengan senyuman ramah.

Melihat pemandangan itu, Aris pun akhirnya tersenyum. Dari tadi, dia masih memperhatikan tingkah istrinya. Aris mencoba untuk memahami saja, bahwa itu merupakan hormon bawaan dari bayi yang sedang dikandung oleh istrinya. Jadi, sebisa mungkin Aris akan tetap sabar menghadapi istrinya.

"Ayo, Dek! Pulang sama Mas aja, ayo! Mau kemana sih, kamu? Mau langsung pulang dan nggak mau ke tempat Ibu? Sudahlah, ayo! Mas antarkan kamu pulang dulu. Tapi lepas itu, Mas izin ke rumah Ibu ya, jenguk Ibu sebentar? Adek nggak papa kan di rumah sendirian?" Aris berkata dengan lembut. Dia menghampiri istrinya yang sedang merajuk di dekat motor milik tukang ojek online.

"Eh, lagi marahan toh! Iya, dirayu itu bininya, Bang! Lagi hamil, kasihan. Tingkahnya orang hamil memang kadang-kadang bikin frustasi. Tapi, mau gimana lagi? Bukan inginnya seperti itu! Selamat berjuang, Bang! Hahaha!" celetuk tukang ojek itu tadi seraya menggelengkan kepalanya.

Sari masih saja bergeming di tempatnya. Dia membuang pandangan, sama sekali tak mau menatap atau bahkan melirik ke arah Aris. Akhirnya, lelaki bergelar suami itu memperluas kesabarannya kembali dalam membujuk istrinya.

"Ayo, Sayang! Mas antar pulang langsung, janji deh. Setelah itu, Mas ke rumah Ibu dan kamu nggak usah ikut nggak papa. Mas cuma sebentar kok, kamu mau dibungkus aja satenya? Biar Mas bilang, kita tunggu dulu sampai satenya selesai, ya? Maaf, tadi sempat kasar dan bentak-bentak kamu, ya! Reflek aja Mas kaget, soalnya dengar Ibu sakit," ujar Aris dengan suara sendu.

Melihat suaminya berjuang seperti itu, akhirnya membuat Sari merasa tak tega. Dia menganggukkan kepala dan kembali tersenyum, hingga membuat Aris ikutan tersenyum.

"Yuk!" Aris langsung saja menggandeng tangan istrinya. Sari menunggu di kursi, sementara Aris memastikan ke pelayan kedai itu, meminta agar sate mereka dibungkus saja.

Beberapa menit berlalu, pesanan sate juga sudah siap. Akhirnya Sari bisa membawa pulang satenya dengan posisi hati gembira. Tak apa, meskipun tak bisa makan di tempatnya secara langsung. Yang penting dia bisa makan dan mencicipi sate tersebut.

Aris melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Dia tak peduli meskipun harus bolak-balik, demi menuruti keinginan istrinya.

Dia menurunkan sang istri di depan rumah. Kemudian berpamitan menuju ke rumah Ibunya.

"Mas berangkat dulu, pintu dikunci ya, Dek! Mas bawa kunci cadangannya kok. Biar kamu langsung tidur aja habis makan nanti. Spesial ini dua porsi buat kamu, habiskan ya!" kata Aris dengan wajah tersenyum.

"Iya, Mas!" Sari mengangguk hingga kemudian dia masuk ke dalam rumah, setelah memastikan jika punggung suaminya sudah tak lagi terlihat.

Sari mulai menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dia mencharger ponselnya yang tadi kehabisan daya. Setelah itu, menuju ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki lalu berganti pakaian dengan daster santai. Barulah dia menata piring dan mengambil sendok, serta menyiapkan air putih. Sari sudah duduk di kursi, berhadapan dengan meja makan. Matanya berbinar saat mendapati sate dengan bumbunya yang pekat, aroma nikmat langsung saja memanjakan indera penciumannya.

Setelah mengucapkan doa, Sari mulai menyantap sate-sate itu satu per satu, hanya dibarengi dengan lontong yang tak banyak. Masih ada setengah lagi dan Sari benar-benar menikmatinya. Dia juga mengakui, bahwa sate tersebut memang betul-betul nikmat dan terasa pas di lidahnya.

Satenya masih tersisa beberapa lagi, Sari beranjak berdiri untuk mengisi air putih yang habis di gelasnya. Dia berniat untuk mengambilnya kembali di dapur, yang tak jauh dari meja makan.

Saat dirinya kembali dan hendak duduk di kursi, ponsel Sari pun berbunyi. Dia buru-buru menghampiri ponselnya yang sedang di-charger. Melihat nama Anggi tertera di sana, membuat Sari langsung saja mengangkatnya tanpa menunggu waktu lagi. Dia hanya takut, jika nantinya mendapat kabar yang penting, apapun itu.

"Halo, Assalamualaikum!" Baru saja Sari mengangkat panggilan tersebut. Suara cempreng Anggi terdengar dari seberang.

"Halo, Waalaikumsalam! Mbak, Mas Aris kemana sih? Kenapa lama banget? Apa nggak lihat kalau Ibunya sakit, kok masih sempatnya enak-enakan makan sate sama istrinya. Keterlaluan ya!" kata Anggi seraya marah-marah.

"Lho, tapi kan Mas Aris juga su–"

Kalimat Sari lantas terpotong saat ada suara lain yang ikut tertangkap di dalam ponsel, berhasil membuatnya berhenti berbicara.

"Bawa sini, Nggi! Biar Ibu yang ngomong!" Suara itulah yang berhasil menjeda kalimat Sari begitu saja.

Sari sudah siap dan bisa menebak kira-kira serangan dari ibu mertuanya.

"Halo!" ujar suara yang lebih lembut dari suara Anggi terdengar di telinga Sari.

"Iya, Halo, Bu!" sahut Sari menghela napas dalam. Dia sekuat mungkin mencoba untuk menerima, siap mendengar segala ocehan atau ceramah dari sang mertua.

"Kamu pasti yang nahan-nahan anakku buat bertemu Ibunya? Iya, kan? Masih kurang aja ya, kamu! Setiap hari, setiap waktu bersama Aris, masih kurang sampai kamu harus nahan-nahan dia buat menemui saya? Iya? Keterlaluan! Ponselnya juga ditelepon nggak diangkat lagi! Pasti kamu kan, yang sudah menahan Aris? Wanita nggak tau diri kamu itu dasar! Lihat aja ya, kamu! Saya akan bikin perhitungan sama kamu! Kalau sampai terjadi apa-apa sama saya, kamu pasti menyesal dan saya nggak akan biarin kamu hidup dengan tenang, bahagia … atau bahkan damai! Jangan mimpi! Pakai alasan kehamilan aja yang kamu jadikan senjata! Wanita kurang ajar kamu, ya!" Bu Ning tak henti-hentinya memaki Sari.

Hingga tak ada kesempatan dari Sari untuk sekedar menjelaskan, atau menyahut kalimatnya. Sama sekali, tak diberikan waktu untuk membela diri.

"Bu, tapi Mas Aris itu sudah ke sa–"

"Apa kamu? Mau alasan apalagi? Kamu memang harus diberi pelajaran! Wanita miskin, nggak tau diri! Kecentilan kamu itu jadi orang!" 

"Bu, siapa yang centil? Ibu teleponan sama sih, Nggi? Serius dan tegang banget?" Tiba-tiba saja suara yang sangat dikenalnya, masuk juga di telepon. Sari bernapas lega, namun sedetik kemudian dia langsung saja mematikan sambungan telepon tersebut.

"Itu Mas Aris pasti sudah datang. Biar dia saja yang menjelaskan," gumam Sari seraya melanjutkan makannya. Dia kembali meletakkan ponsel itu untuk di-charger.

Sementara itu, di kediaman Bu Ning. Wanita dengan usia lanjut usia itu pun hanya bisa tersenyum salah tingkah.

"Katanya Ibu sakit? Telponan sama siapa, sih? Kenapa?" tanya Aris dengan wajah penasaran.

"Oh, nggak, Nak. Anu, itu … ehm, cuma salah sambung," sahut Bu Ning kelabakan. Namun sayangnya, Aris tak mudah percaya begitu saja.

*** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status