Share

Yah, Habis!

Ingin rasanya dia jujur saja, bahwa dirinya sama sekali tak suka lemah. Apalagi yang meninggalkan bekas mengganjal tiap kali tersiram air dinging. Meninggalkan kerak-kerak yang lumayan membandel dan susah dibersihkan. Membayangkannya saja, membuat Sari bergidik ngeri.

Andai tak memikirkan perasaan ibu mertuanya, tentu saja Sari akan berkata jujur yang sesungguhnya. Hanya saja, dia masih punya hati untuk tak menjelek-jelekkan keluarga suaminya.

"Iya, sudah saya incip tadi. Tapi, sayang sekali. Perut saya rasanya begah, jadi nggak habis, Bu. Untung saja ada Mas Aris, tempatnya menampung," sahut Sari dengan wajah berusaha terlihat santai.

"Hahaha, iya kamu benar! Memang itu biasanya dibuang, ya, makanya saya merasa aneh. Kok kamu malah suka. Ya sudah kalau gitu, saya mau bersih-bersih warung dulu. Alhamdulillah sudah habis, kalau kamu mau lemak-lemak seperti itu. Mulai besok, saya titipkan saja ke ibu mertuamu. Bisa suruh Aris mampir ke sini buat ambil, gratis kok saya kasih buat kamu kan. Ya, daripada mubazir," ucap Bu Indah seraya tertawa.

"Eh, nggak usah dulu, Bu. Kebetulan hamil besar begini, kadang saya malas masak. Malah kadang lebih sering beli, jadi takut nggak bisa ngolah dan nggak kepegang. Tapi, terima kasih banyak, ya, Bu, sudah diberi tawaran," kata Sari seraya mengangguk sopan.

"Ya, sama-sama! Yasudah kalau gitu, saya masuk dulu, ya! Mau bebersih rumah, mari!" pamit Bu Indah tersenyum ke arah Sari sehingga wanita cantik itu hanya mengangguk ramah.

Tepat saat itu, Aris keluar dengan wajah lesu. Dia menatap wajah Sari dengan santai, saat mata keduanya bertemu untuk saling memandang, Aris langsung saja merubah raut wajahnya.

"Kenapa, Mas?" tanya Sari dengan wajah penasaran. Dia tahu, suaminya itu berusaha untuk menyembunyikan rasa kesalnya.

"Nggak kok, nggak papa. Sudah ayo! Katanya kamu pengen makan daging sate, keburu malam dan kehabisan nanti," ajak Aris yang langsung saja menggandeng tangan Sari, menuju ke arah motor yang diparkir di halaman rumah.

Baru saja keduanya hendak naik ke atas motor, langkah mereka dikejutkan dengan suara seruan dari Bu Ning.

"Tunggu! Kalian mau beli sate dimana? Itu, adikmu mau nitip katanya! Bisa kan? Sesekali, kalau jajan enak itu mbok, ya, ingat keluarga. Nggak papa ibumu ini nggak usah dikasih. Yang penting, adikmu itu lho, belikan! Adik cuma satu aja kok, masak perhitungan!" kata Bu Ning.

Sari lagi-lagi hanya diam saja. Sementara Aris, tampak mengangguk perlahan. Sepertinya, lelaki itu tampak sekali keberatan. Hanya saja, karena tak ingin memancing keributan, dia mengiyakan saja.

"Halah, tadi juga katanya nggak mau, eh sekarang malah minta!" ujar Sari dengan suara lirih. Dia sama sekali tak ingin berbasa-basi dengan ibu mertuanya.

Sudah cukup sakit hati, dia tadi mendengarkan suara Bu Ning yang tampak seperti menghinanya. Sari hanya mampu pasrah dan mengiyakan saja akhirnya.

Setelah membelah jalan raya, Sari mencoba untuk membuka obrolan. Rasanya tak enak, jika berduaan tapi malah terlihat seperti musuhan karena tak ada yang memulai percakapan.

"Mas, harusnya kamu bisa lho, lebih tegas sama Ibu. Bukannya aku mengajari kamu untuk bersikap durhaka. Tapi, ya, kamu tahu sendiri kan sikap Ibu itu gimana? Ajaib sekali, Mas. Jadi ya, nggak ada salahnya kalau sekali saja, kamu coba tolak dan jangan iya-iya saja! Apalagi Anggi. Aku lihat dia juga jadi menggantungkan harapan besar sama kamu, hanya karena kamu sering memberikannya uang jajan. Padahal, usia Anggi sama seperti Wulan kan? Wulan saja sudah bisa mandiri, walaupun dia masih duduk di bangku SMA. Bukannya mereka satu angkatan, ya, meskipun beda sekolah?" ujar Sari yang berusaha untuk memecah keheningan di antara mereka.

"Iya, tapi kan sifat atau karakter itu juga nggak bisa disamaratakan, Sar. Wulan memang anaknya mandiri, terbiasa hidup begitu. Bapakmu kan membiasakan anak-anaknya hidup sederhana, tak terbiasa memanjakan dan sepertinya ibumu juga fine-fine saja kan? Nah, sementara Anggi. Dia sudah terbiasa dimanjakan sama almarhum Ayah. Ayah senang dan bahagia sekali waktu Anggi lahir, karena memang pengen anak perempuan. Jadilah Anggi itu manja, lagipula Ibu juga mendukung. Kalau mau dirubah sekarang juga, ya, sepertinya nggak bisa. 

Aku cuma minta doamu saja ya, Sayang. Semoga semua pekerjaanku dilancarkan, aku bisa lancar rejeki buat bahagiakan kamu, juga Ibu dan Anggi. Mau siapa lagi yang ngurus mereka kalau bukan aku, Sar," sahut Aris dengan napas tertahan.

Sari pun mengangguk seraya mengaminkan di dalam hatinya. Ya, dia sama sekali tak keberatan jika Aris membantu adik juga Ibunya. Hanya saja, itu semua patut dilakukan jika kebutuhan Sari semuanya sudah terpenuhi.

Aris kembali fokus dengan kemudi. Dia tak lagi banyak bicara, begitupun dengan Sari yang malah fokus dengan jalanan di malam hari.

Hingga keduanya sudah sampai di depot sate impian Sari. Dari kejauhan saja, tampak ramai. Sari antusias sekali, ingin segera mengantri dan memesan sate yang sudah dia tebak kenikmatannya tersebut. Setelah melepas helm, memberikannya pada Aris. Dia pun turun, Aris langsung saja memakirkan motornya. 

Mata Sari berbinar-binar. Mendapati antrian yang panjang, ditambah lagi dengan kursi-kursi yang berjejer penuh. Warung itu benar-benar seperti lautan manusia saking ramainya. Apalagi, aroma dari asap sate yang dibakar menguar ke penjuru tempat. Sari sampai terlena dibuatnya.

"Kamu cari tempat saja, Sayang! Biar aku yang ngantri di sini! Duduklah! Jangan berdiri terlalu lama. Terserah cari tempat dimana, asal bisa buat kamu duduk. Aku gampang nanti," titah Aris yang langsung saja menyuruh istrinya mencari tempat.

Sari mengangguk, matanya mulai mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Hampir tak ada kursi kosong yang tersisa. Kebanyakan sudah dipakai dengan orang-orang yang memang membawa sanak saudara, atau bahkan keluarganya.

Akhirnya, setelah sambil berjalan dan mengintai seluruh tempat. Sari mendapat tempat duduk juga. Dia menyandarkan punggungnya ke belakang, lalu memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Matanya tampak berbinar kembali, saat melihat bahwa antrian di depan suaminya itu hanya tinggal dua orang lagi. Sudah tak sabar, perut buncitnya menikmati daging sate di tempat ini. Setiap waktu, selalu saja ada akun yang mereview tempat ini dan mengatakan betapa nikmatnya sate di tempat tersebut, sehingga sanggup membuat orang yang melihatnya menjadi penasaran.

Tiba giliran Aris maju ke depan. Dengan penuh percaya diri dia memesan. Namun, karyawan yang bertugas menyediakan menu itu hanya bisa melongo. Dia sempat beberapa kali menoleh ke belakang, lalu berbisik-bisik sehingga membuat Aris berdiri dan tetap menunggu. Hingga kemudian, seorang lelaki itu tersenyum ke arah Aris dengan wajah ramah.

"Mas nya mau pesan?" tanyanya basa-basi.

"Iya, sate daging tanpa lemak dua porsi ya, Mas. Minumannya teh hangat saja, makan di sini!" kata Aris yang sudah bersiap mengambil uang dari dalam dompet, di saku celananya.

"Aduh, mohon maaf, Mas! Sate daging tanpa lemaknya baru saja habis. Ini tinggal sisa sate karak, atau kalau mau sate kulit ayam saja. Bagaimana? Kalau mau menunggu re-stock bisa sih, Mas, tapi sekitar satu jam lagi karena rekan kami sedang mengambil bahan di rumah, apa bersedia menunggu?" tanya lelaki itu seraya memasang wajah sungkan.

"A-apa?" Wajah Aris langsung pasrah. Dia pucat, apalagi saat dirinya melirik ke arah Sari yang sudah duduk seraya menatapnya dengan penuh harap. Aris jadi tidak tega dan semakin merasa bersalah pada istrinya.

"Ah, andai saja aku tadi langsung membawa Sari ke sini, tanpa mengunjungi rumah Ibu dulu, pasti tak akan begini. Ibu juga nggak akan bertikai dengan Sari. Ah, lagipula juga … ujungnya tetap ke sini kan? Bagaimana ini, aku harus jelaskan apa sama Sari?" Aris menggaruk-garuk kepalanya. Sementara antrian di belakangnya semakin memanjang seperti ular.

Pegawai lelaki itu kembali menatap Aris dengan iba. "Bagaimana, Mas?"

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status