Adipati Sena memasang wajah sedih di hadapan Rawai Tingkis, tapi bocah itu masih belum menyerahkan makanannya.Di sisi lain, Senopati Utama merasa jika Rawai Tingkis tidak berbeda jauh dari beberapa pedagang yang mereka temui sebelumnya. Pelit.“Aku dan anakku belum makan dari pagi tadi,” ucap Adipati Sena, “kami tidak memiliki uang untuk membeli sepotong ubi atau makanan yang lain.”Rawai Tingkis tidak peduli, dia tidak ingin berbagi makanan dengan Adipati Sena, nyaris membuat Pimpinan itu menjadi kecewa.“Kau tidak akan mendapatkan makanan dari dirinya,” timpal Kilindung, berkata dengan nada yang datar, “jangankan memberimu ubi, dia bahkan merebut ubi yang kami miliki.”Rawai Tingkis menatap wajah Kilindung lalu tertawa kecil, “ini hanya ubi, kau masih mengungkitnya?”Setelah berkata seperti itu, Rawai Tingkis kembali menatap wajah Adipati Sena lalu menatap Senopati Utama. Dia menggaruk kepalanya beberapa kali, “Paman, Putramu memiliki tubuh yang sehat, kenapa tidak mencari pekerja
“Aku tidak ingin melakukannya,” ucap Rawai Tingkis. “Tidak ada cara lain apa?”“Ini satu satunya cara, kau bisa melumpuhkan mereka dengan mudah.”“Itu artinya sama saja aku bekerja sendiri, payah, sejak awal kalian memang tidak bisa diharapkan,” tutup Rawai Tingkis.“Kau-“ Kilindung mencengkram kepalan tinjunya dengan erat, tapi dia tidak bisa berbuat banyak saat ini, lebih lagi Rawai Tingkis jauh lebih kuat daripada dirinya.Ya, Kilindung meminta Rawai Tingkis menyamar untuk masuk ke dalam ruang lingkup istana. Karena tubuhnya kecil, mungkin dia bisa menjadi pelayan atau sejenisnya, tanpa harus dicurigai oleh para penjaga. Namun ini tidak mungkin, Rawai Tingkis yang bodoh tidak suka cara seperti itu.“Menyamar itu cara kotor …,” Rawai Tingkis berdalih, hanya bandit dan pencuri yang suka melakukan cara tersebut, tapi tidak untuk dirinya.“Bocah, sekarang kau pikirkan untuk masuk ke dalam istana?” Sindur merasa tersinggung dengan ucapan Rawai Tingkis, jadi dia tidak ingin memberi saran
Sindur masih menangisi Kondir yang telah kehilangan nyawa, tapi kini Adipati Sena memutuskan untuk menangkap ke dua orang itu untuk diadili.Walau bagaimanapun, Kota ini memiliki hukum, dan masa depan ke dua orang itu akan diputuskan dengan peraturan yang berlaku di Kota tersebut.Kilindung tidak protes masalah ini, meski Sindur masih memberontak masalah Kondir yang telah tewas.Sekarang tinggal satu masalah lagi, yaitu Rawai Tingkis. Senopati Utama beserta pasukannya, mulai memasuki istana kota, dan melihat ada banyak prajurit yang terluka di dalam istana tersebut.“Siapa yang melakukan ini?” tanya salah satu prajurit.“Seorang remaja, dengan pedangnya …”prajurit yang terluka menjawab dengan suara serak seraya menahan sakit di lengan kanannya karena sayatan pedang Rawai Tingkis.“Sekarang dimana bocah itu?”“Pergi ke halaman belakang, dia mencari Senopati Muda.”Senopati Utama tanpa banyak bicara langsung pergi menuju ke halaman belakang, mendatangi tempat hiburan yang ada di sana.
Tubuh Senopati Muda dipenuhi oleh banyak luka sayatan, tangan kirinya bahkan tidak bisa digerakan lagi karena terkena tebasan Rawai Tingkis.Namun dia menolak untuk menyerah, dia masih bisa melanjutkan pertarungan ini. Tentu saja Rawai Tingkis juga demikian, remaja itu amat marah setelah melihat tindakan Senopati Muda Janka terhadap para tawanan. Menurutnya, dia tidak bisa dimaafkan lagi. Barulah setelah menghajarnya habis-habisan membuat Rawai Tingkis merasa puas.Ah, meski tidak sampai membunuhnya, tapi memotong dua tangan pria itu tampaknya bukan keputusan yang salah.Setelah beberapa saat, Janka kembali menyerang Rawai Tingkis. Dengan pedangnya, dia berusha untuk mengincar batang leher remaja itu, atau paling tidak bisa menusukan senjata tersebut ke jantung Rawai Tingkis.Namun gerakan remaja itu sangat gesit lagi cepat, sampai saat ini belum ada satu serangan Janka yang mendarat di tubuh Rawai Tingkis.Lalu kali ini.Wush wush wush.Rawai Tingkis melewati tubuh Janka, dengan cepa
Rawai Tingkis meminta agar Senopati Utama tetap tenang, diam di tempatnya seperti penonton, dan tidak melakukan hal bodoh yang akan membuat nyawanya melayang.Di sini, Senopati Muda Janka dapat dipastikan mampu membunuh Senopati Utama setelah menggunakan mutiara emas.Dia tidak tertandingi saat ini bagi orang normal seperti Senopati Utama. Lawan Janka hanyalah satria suci.“Senopati Utama, karena kau telah melihat kekuatanku, maka aku harus membunuh dirimu,” ucap Janka.Dia menderu ke arah Senopati Utama, mengayunkan pedang dengan sangat cepat lagi kuat.Tepat sebelum mata pedang itu mendarat di batang leher Senopati Utama, Rawai Tingkis langsung menyambar tubuhnya.Bocah itu berhasil menyelamatkan Senopati Utama, tapi jika satu detik saja dia gagal, maka hari ini kepala Senopati Utama dan tubuhnya telah terpisah.“Pergilah!” ucap Rawai Tingkis, “Pergilah dari sini!”Senopati Utama tidak perlu menjawab seruan Rawai Tingkis, dengan cepat dia langsung melarikan diri dari tempat tersebut.
Senopati Utama akhirnya kembali mendatangi Rawai Tingkis yang telah menunggu di luar beberapa hari lamanya.“Paling tidak kau membawakan aku makanan, Paman…” Rawai Tingkis harus mencari binatang yang berkeliaran di sini, untuk mengisi perutnya. “Apa yang kau dapatkan?”Senopati Utama kemudian menjelaskan kepada Rawai Tingkis mengenai informasi yang diberikan oleh Janka. Yaitu mengenai Mutiara Emas yang dia dapatkan.Dari penjelasan Janka, ada sebuah pasar gelap yang berada cukup jauh dari kota ini. Pasar itu menjual berbagai macam senjata, dan itu juga menjual Mutiara Emas.Namun menurutnya, Mutiara Emas yang dibeli Janka berasal dari Ilmuan Dunia yang dipasok oleh seorang pria kaya raya dengan pengaruh besar di sebuah kerajaan.Akan sangat sulit untuk masuk ke dalam pasar gelap itu, karena mereka tidak sembarangan menerima para pembeli. Hanya mereka yang memiliki hubungan dengan beberapa orang penting di pasar gelap yang diterima di pasar gelap.Namun Janka menolak untuk memberi tahu
Ronggo adalah teman kecil Rawai Tingkis, dia adalah satu-satunya anak segenerasi dengan Rawai Tingkis yang tidak mengikuti Metode Kuno dalam percobaan di Pulau Tengkorak.Selebihnya, semua anak-anak telah tewas setelah mengikuti percobaan kelas s yang dilakukan oleh ilmuan Indra Pura.Setelah berhasil mendapatkan mutiara emas, dan kemudian dikembangkan oleh para ilmuan, semua anak-anak yang didatangkan ke Pulau Tengkorak telah menjadi mesin pembunuh yang taat pada satu perintah saja. Yaitu perintah Putra Mahkota.Ya, anak-anak ini adalah pasukan utama yang dimiliki oleh Putra Mahkota untuk menggulingkan pemerintahan baru di Kerajaan Indra Pura.Ronggo adalah pemimpin utama mesin pembunuh ini. Sekarang dia sudah cukup dewasa, berusia lebih tua 3 tahun dari Rawai Tingkis.Kekejaman Ronggo dan perasaanya yang dingin, mungkin menjadikan dirinya satu-satunya mesin pembunuh yang paling harus diwaspadai oleh Istana Indra Pura.Dia pula secara khusus mendapatkan lebih banyak mutiara emas berk
Rawai Tingkis menatap para pasukan kuda yang baru saja datang. Jumlah mereka sekitar 2 lusinan, semuanya membawa tombak sebagai senjata utama. Dilihat dari pakaiannya, ini adalah prajurit elit yang bertugas di Istana.“Para Tuan sekalian, kenapa datang di saat kami belum musim panen?” tanya salah satu warga desa.Mata para prajurit tajam seperti elang, menggetarkan tulang belulang warga desa. Salah satu dari mereka turun dari atas kuda, tapi kemudian tatapannya jatuh pada sosok Rawai Tingkis yang masih terikat di tonggak eksekusi.Warga desa menjelaskan jika bocah ini telah mencuri jagung-jagung mereka, jadi sekarang mereka ingin menghukum bocah ini.Hukuman potong tangan tampaknya tidak terlalu buruk, ini akan membuat Rawai Tingkis menjadi jera.“Bawa dia!” ucap prajurit itu, “Dia akan berguna untuk menghadapi musuh!”“Tunggu, akan dibawa kemana diriku?” tanya Rawai Tingkis, “aku bukan budak yang bisa kalian …ah…sial…aku masih lapar.” Rawai Tingkis tampaknya tidak memiliki daya sama