(POV ZARA)Derap langkah kaki ayah terdengar mendekat, dapat kulihat ketegangan di wajah Tante Miranda begitu kentara."M-mas ... baru pulang? kamu dari mana?" tanya Tante Miranda sok akrab.Padahal sudah jelas ayah seperti enggan disapa olehnya. Wanita itu mendekat beberapa langkah hendak mencium tangan ayah."Cukup, Miranda, apa kamu sudah minta maaf sama adikku?" tanya Ayah, sambil menolak uluran tangan gundiknya.Si gundik tercenung sejenak. "Belum," jawabnya lesu.Aku menyeringai, mana mungkin mau ia minta maaf pada Om Burhan, dosanya itu terlalu banyak dan kata maaf saja tak cukup untuk menghapuskan dosanya."Aku harap kamu minta maaf sama dia, dan aku harap kamu sadar dan menyesali semua perbuatanmu itu," ucap Ayah lalu naik ke lantai atas."Iya, Mas, iya! Aku akan minta maaf sama Burhan kalau perlu sujud di kakinya demi kamu!" tegas Tante Miranda dengan sedikit berteriakUsai menengok sebentar ke arah Tante Miranda, ayah melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga, sementara ma
"Zara, tolong jangan beri Ayah pilihan itu," ucap Ayah sambil menggenggam erat jemariku."Aku udah males tinggal satu atap dengan gundik Ayah, berharap Ayah balikan lagi sama bunda, sekarang udah jelas-jelas ada bukti kalau Tante Miranda itu bukan perempuan baik, Ayah masih aja tetep mempertahankannya."Aku lantas berdiri."Sekarang tinggal pilih aja, pilih aku anak Ayah, atau Tante Miranda.""Kalau pun Ayah ga bisa kembali sama Bunda, seenggaknya cari pendamping yang lebih baik dari Bunda."Aku segera melangkah ke luar meski ayah terus memanggilku beberapa kali. Saat membuka pintu aku terkejut ternyata ada Tante Miranda yang sedang menguping pembicaraanku sejak tadi."Minggir!" tegasku sambil mendorong tubuhnya."Eh eh tunggu kamu!" Tante Miranda mengikuti sambil berusaha mencekal lenganku."Apaan sih!" Kutepis kasar cekalannya."Ternyata bener ya, selama ini kamu berusaha memisahkan aku dan Mas Damar. Dengar ya, lebih baik kamu pulang ke rumah ibumu itu, karena usahamu hanya akan s
(POV MIRANDA)Tubuhku bergetar hebat saat mendengar Zara memprovokasi ayahnya untuk menceraikanku, ternyata prasangka ini tak pernah salah, ia memang tak menyukai pernikahanku dan Mas Damar.Ia tak tahu saja aku bisa melakukan apapun di luar pemikirannya, bila perlu akan kubuat ia dibenci oleh ayahnya sendiri, ia fikir aku tak bisa lakukan itu."Minggir!" tegas Zara sambil mendorong tubuhku dengan kasar"Eh eh tunggu kamu!" Aku mengikutinya sambil mencekal lengan anak songong itu"Apaan sih!" Ia menepis cekalanku, memang tak punya sopan santun."Ternyata bener ya, selama ini kamu berusaha memisahkan aku dan Mas Damar. Dengar ya, lebih baik kamu pulang ke rumah ibumu itu, karena usahamu hanya akan sia-sia!" tegasku penuh amarah.Tapi bukannya takut dengan gertakanku, ia malah memamerkan senyum mengerikan, seolah tak pernah takut dengan apapun yang kuperbuat."Takut banget sih, santai aja kali, kita lihat aja nanti keputusan Ayah kayak gimana, lagian nih ya kalau lu dicerein sama Ayah m
Mas Damar menghela napas lalu menatapku masih dingin."Kita lihat saja nanti," jawabnya sambil berdiri."Sekarang lebih baik kita ke rumah Burhan, kamu mau minta maaf 'kan sama dia?" Lelaki itu lantas berdiri lalu melangkah, beberapa detik kemudian ia berbalik badan."Oh ya, kamu juga harus bisa mengambil hati ibuku, aku ga mau menjalani rumah tangga tanpa ridhonya, kamu sanggup?" "Ok aku tunggu di mobil." Mas Damar bergegas keluar dari ruang kerjanya meninggalkanku sendirian.'Duh bagaimana ini, kalau minta maaf sama Burhan sih aku bisa makasain, lah kalau harus ngambil hati ibu mertua males banget'Terpaksa aku melangkah keluar sambil menahan rasa jengkel di dada, lalu masuk ke dalam mobil Mas Damar dengan setengah hati."Mbak Sita, saya ke rumah Burhan dulu ya nanti balik lagi," ujar Mas Damar pada pembantu kami yang sedang membuka gerbang."Iya, Pak," jawabnya sambil mengangguk.Sepanjang jalan hatiku benar-benar gelisah tak menentu, ingin rasanya aku kembali pulang ke rumah saj
"Aku punya bukti kalau omonganku barusan itu benar, Yah, wanita ini pembunuh." Aku menunjuk wajah Tante Miranda dengan hina.Semua orang menatapku, termasuk Nenek yang sampai keluar dari dalam rumahnya."Zara, kamu ngomong apa sih? siapa yang pembunuh?" tanya wanita tua itu, mungkin saking terburu-buru ia sampai lupa mengenakan kerudung."Zara, ayo kita pulang, jangan buat kekacauan di sini," sela Tante Miranda sambil berusaha mencekal lenganku.Aku menyeringai sambil menatapnya. "Ngapain pulang?! Takut kebusukannya terbongkar di depan ibu mertua?"Tante Miranda semakin ketakutan melihat keberanianku, ia melihat wajah ayah sebagai kode meminta bantuannya untuk mengajakku pulang."Zara, Ayah harap kamu ga sembarang mitnah orang ya," sahut Ayah sambil menatap tajam. Namun, aku yakin ia sangat penasaran dengan yang kuucapkan."Kamu ga bohong 'kan, Zara? i-istriku dibunuh?" tanya Om Burhan dengan suara bergetar.Semua orang terdiam, mungkin antara percaya dan tak percaya dengan ucapanku,
Perempuan itu terlihat semakin ketakutan dan gelagapan."Siapa sih maksud kamu ini, Zara?!" tanya Tante Miranda sambil menyembunyikan kegugupannya.Aku menyeringai sambil menatapnya. "Masa sih udah lupa?"Kini, tatapanku beralih pada ayah. "Aku harap Ayah akan sadar setelah tahu kebiadaban perempuan ini, dan aku harap Ayah mau menceraikan dia!"Nenek masih menangis terisak begitu pula dengan Om Burhan yang terlihat sesak karena bersedih sambil mengusap wajahnya berkali-kali."Damar, bawa pergi perempuan ini! Lihat saja kalau kamu ga menceraikan dia Ibu ga mau melihat mukamu lagi!" tegas nenek disertai isakan."Zara, Nenek mau bicara." Perempuan tua itu menarik lenganku masuk ke dalam."Sana pergi!" tegasku sambil mendelik lalu masuk ke dalam."Kamu ... kamu tahu rahasia sebesar itu dari siapa? dan kenapa Nenek ga tahu selama ini?" tanya wanita tua itu dengan berurai air mata.Kupandangi langit-langit rumah nenek yang mulai kusam, miris memang ia memiliki anak yang kaya tetapi hidupnya
(POV Naima)Asih terlihat menangis sebelum memulai bicara."Waktu itu anak perempuan saya diculik oleh anak buah Miranda, dia mengancam kalau ga nurutin perintahnya maka anak perempuan saya akan diperk*sa."Ia menatapku sambil sesenggukan, entahlah aku pun tak bisa membedakan itu tangisan sungguhan atau hanya pura-pura karena tak ingin disalahkan."Saya ga bohong, Bu Naima.""Waktu itu saya bingung antara menyelamatkan anak saya atau memilih Bu Dina."Ia bicara lagi karena menyadari raut wajahku terdapat keraguan."Mana anak perempuanmu yang dulu diculik Miranda?" tanya Ima dengan ketus."Ada ... ada di dalam, Mbak." Ia menganggukkan kepala."Sana panggil," ketus Ima lagi.Asih menganggukkan kepala tanpa bicara lalu masuk ke dalam. Tak lama ia keluar dengan anak gadisnya yang berambut panjang dan berkulit sawo matang.Anak itu melihat ibunya tanpa bicara lalu menatap kami dengan seulas senyum."Nak, kami mau tanya apa betul beberapa tahun lalu kamu pernah diculik?" tanyaku.Ia menatap
"Ada mobil Zara," ucapku sambil menatap mobil berwarna putih terparkir di halaman.Aku membuka kamar nomor tiga, benar saja putriku sudah tertidur pulas di sana, menatap wajahnya timbul rasa iba, ia selalu meminta agar aku dan Mas Damar kembali bersama, nyatanya hal itu tak pernah jadi nyata."Ima, Asih, kalian tidur di kamar ini ya." Aku menunjuk kamar nomor dua.Entah mengapa malam ini aku ingin sekali tidur dengan Zara, wajahnya yang tirus dan hidung mancung mengingatkanku pada sosok Mas Damar, bukan karena cinta melainkan teringat janji-janjinya ketika kami masih susah."Kalau Ayah udah banyak uang kita bertiga akan jalan-jalan ke luar negri, Zara mau apapun beli aja jangan banyak mikir.""Bunda juga bisa shoping sepuasnya, jadi kalau nyuci seminggu sekali masih ada ganti.""Nanti kita pindah ke rumah besar berlantai dua, biar Zara bisa main dengan leluasa.""Satu lagi, Yah, beli mobil ya Zara pengen jalan-jalan pake mobil, bosen pake motor mogok terus."Lalu pada saat itu kami se