"Ada mobil Zara," ucapku sambil menatap mobil berwarna putih terparkir di halaman.Aku membuka kamar nomor tiga, benar saja putriku sudah tertidur pulas di sana, menatap wajahnya timbul rasa iba, ia selalu meminta agar aku dan Mas Damar kembali bersama, nyatanya hal itu tak pernah jadi nyata."Ima, Asih, kalian tidur di kamar ini ya." Aku menunjuk kamar nomor dua.Entah mengapa malam ini aku ingin sekali tidur dengan Zara, wajahnya yang tirus dan hidung mancung mengingatkanku pada sosok Mas Damar, bukan karena cinta melainkan teringat janji-janjinya ketika kami masih susah."Kalau Ayah udah banyak uang kita bertiga akan jalan-jalan ke luar negri, Zara mau apapun beli aja jangan banyak mikir.""Bunda juga bisa shoping sepuasnya, jadi kalau nyuci seminggu sekali masih ada ganti.""Nanti kita pindah ke rumah besar berlantai dua, biar Zara bisa main dengan leluasa.""Satu lagi, Yah, beli mobil ya Zara pengen jalan-jalan pake mobil, bosen pake motor mogok terus."Lalu pada saat itu kami se
(POV Zara)"Bu, saya pulang ya takut anak saya kenapa-kenapa, Miranda itu orangnya nekat, Bu, saya ga bisa melihat anak satu-satunya saya disakiti," rengek Asih dengan panik.Seketika aku pun merasa panik, jika Mbak Asih tak bisa membuktikan pada keluarga pasti Miranda akan tertawa di atas kemenangannya.Aku sangat yakin ini adalah ulah perempuan ular itu, ia pasti menakut-nakuti anak Mbak Asih agar ibunya tutup mulut."Kamu tenang aja ya, Sih, saya udah nyuruh orang buat jagain anakmu, lima orang sekaligus saya kerahkan untuk menjaga anakmu," sahut Bunda membuatku lega.Begitu pun dengan Mbak Asih, wajah pucat yang menjelaga itu perlahan sirna berganti dengan raut kelegaan."Beneran, Bu, anak saya ada yang jaga?" tanya Asih."Bener, bilang sama anakmu untuk ga usah khawatir ya, Sih."Suara lembut bunda mampu membuat kami semua tenang, Mbak Asih pun terlihat bernapas lega sambil menatap lurus ke depan usai mengetik sebuah pesan.Tak memakan waktu lama kami tiba di rumah ayah, gerbang
"Cukup! Perempuan j*l*ng! Aku tahu betul siapa Asih, dia ga mungkin berbohong! Tega kamu ya sudah membunuh menantuku! Aku pastikan hidupmu ke depannya ga akan tenang!" tegas nenek murka.Tante Miranda semakin kelabakan menerima kutukan dan cacian dari mertuanya, ditambah lagi dengan Tiara yang menangis dan merengek ketakutan.Rasakan itu anak manja, sebentar lagi kesenanganmu akan berakhir, aku tersenyum licik sambil memandang anak songong itu, rasanya sudah tak sabar ingin mengusirnya dari sini."Ma, masa sih Mama udah bunuh orang? mereka ga bener 'kan, Ma?" tanya Tiara sambil menangis.Tante Miranda tak menjawab ia malah melirik ayah, mungkin berharap suami tercintanya akan membela."Aku tanya sama kamu, Miranda, benar apa yang dikatakan Asih itu? jujur aja sih apa susahnya." Akhirnya ayah bersuara Lelaki itu nampak frustasi berkali-kali ia menyugar rambut yang mulai tumbuh uban beberapa helai itu, semoga saja insiden ini membuat mata hatinya terbuka untuk menceraikan Miranda dan k
"Burhan, aku minta maaf, tolong jangan penjarakan aku," rengek Tante Miranda, tubuhnya yang mengenakan dres di atas lutut itu masih bersimpuh di Lantai.Air matanya mulai menetes membasahi pipi, begitu pula dengan Tiara, anak songong itu tak henti menangisi ibunya yang sudah tak berdaya."Enak aja kamu minta maaf, bisa ga balikin mantuku yang udah mati hah?!" teriak nenek dengan tatapan nyalang.Semua orang terlihat murka hanya bunda yang masih terlihat santai, aku juga heran di hatinya itu seperti tak ada amarah dan dendam."Ya ga mungkin bisa lah, emang dia Dajjal," sahutku sambil melotot."Dia emang pengikut Dajjal!" sahut nenek membentak."Sudah sudah, semuanya tenang ya. Kita akan serahkan kejahatan Miranda pada yang berwajib, aku sarankan kamu mengaku saja, Mir, dengan harap bisa meringankan hukumanmu," sahut bunda dengan santai dan jumawa.Tante Miranda semakin terisak di lantai, kini ia benar-benar tak berdaya seperti impianku selama ini.Kau kalah, Miranda! Dan akulah pemenan
"Udah deh berisik!" cetusku dengan tegas.Semua orang masih menangis di ruang tamu, hanya Tiara yang mengeluarkan suara dengan cara menangis dan bicara tak jelas."Kasihan sekali Dina, udah diselingkuhi diracun pula." Nenek terisak, wajahnya ditutup kerudung dengan tubuh berguncang."Andai waktu bisa diulang, mungkin aku akan jadi lelaki setia dan ga akan mau kenal Miranda." Om Burhan menangis tersedu-sedu."Aku juga udah bodoh, kenapa malah terpikat sama perempuan itu," ujar ayah sambil mengacak kepalanya."Baru sadar 'kan sekarang kalau perempuan itu ga bener, coba aja Ayah melek dari kemarin," gerutuku sambil mendelik."Sekarang minta maaf sama Bunda, Ayah tuh udah keterlaluan tahu ga."Hatiku puas memarahinya, apalagi melihat Tiara yang masih terisak, tak terbayang bagaimana nasibnya ke depan, haruskah kuusir dia dari rumah ini? atau menjadikannya babu saja di sini?"Sudahlah, Ra, yang penting sekarang kejahatan Miranda udah pada tahu, kita kantor polisi yuk jemput Ima sama Asih,"
Terdengar ada yang mengetuk pintu dengan keras, aku yang tadinya mulai terlelap terpaksa bangun dan membuka pintu."Mau ngapain?!" tanyaku ketus.Ternyata Tiara yang mengetuk pintu kamarku malam-malam, wajah anak itu sepertinya habis menangis, terlihat sembab tapi ada kilatan amarah di matanya."Bener-bener lu ya, apa maksudnya lu upload Poto mama gua hah?!" bentak Tiara sambil memukul pintu.Seketika mataku yang mengantuk langsung terbuka lebar, setelah terancam diusir dari rumah ini rupanya ia tak ada takutnya membuat masalah."Ga ada maksud, cuma ngasih tahu sama orang-orang kalau Tante gue ga bunuh diri, tapi dibunuh sama nyokap lu, kenapa?" Aku tersenyum puas."Rese lu ya, awas gua bakal bales perbuatan lu ini!" Ia menunjuk wajahku penuh amarah."Gue juga bakal usir lu dari rumah ini, jadi please deh ga usah macam-macam, sama yang lebih tua ga ada sopan-sopannya," gerutuku.Karena kalah berdebat anak songong itu memutuskan pergi dari hadapanku, padahal sampai pagi pun aku siap me
Aku melajukan mobil menuju kantor ayah, tapi sebelum ke sana aku mampir dulu ke rumah bunda, penasaran dengan kasus Tante Miranda Pagar setinggi satu meter itu masih tertutup, itu artinya bunda masih di rumah belum berangkat ke grosinya."Eh, Zara, kamu pakai baju kaya gini mau ngapain?" tanya bunda usai pintu terbuka, ia sedikit terkejut melihat penampilanku yang berbeda."Mau kerja di kantor ayah, Bun, nyoba-nyoba aja dulu kalau nyaman lanjut kalau ga mending kuliah lagi." Aku terkekeh."Kamu ini, yang serius dong, mau kerja apa kuliah.""Gimana si kuntilanak, Bun?" tanyaku mengalihkan perhatian."Miranda maksudnya?" tanya bunda sambil tertawa."Iya lah siapa lagi.""Ribet, Ra, kita harus bongkar makam Tante Dina buat proses otopsi, terus kita ga cukup hanya menghadirkan saksi, harus ada bukti yang kuat kalau Miranda udah meracuni Dina," ucap bunda membuatku putus asa.Aku sangat ingin Tante Miranda mendekam di penjara lalu ia gila selamanya."Terus nantinya Tante Miranda bakal beb
(POV Miranda)Aku hampir muntah melihat makanan yang terhidang di depan mata, nasi yang begitu keras hanya berlauk kerupuk, ikan asin dan sayur bayam, benar-benar membuat selera makanku menghilang."Ayo cepet makan! Kalau ga mau biar gua aja yang makan!" celetuk seorang perempuan tengah baya yang menjadi teman tidurku di dalam sel.Aku menatap wanita bertubuh gemuk yang sedang mengunyah makanan dengan rakus itu, sungguh membuatku bergidik jijik.Aku benar-benar tak tahan berada di sini, aku ingin pulang!Kuremas rambut yang mulai kusut ini dengan kesal, kenapa bisa kejahatan yang kututupi bertahun-tahun lamanya kini bisa menghancurkan hidupku.Asih kurang ajar, Naima sial*n, dan Zara si pembawa sial semuanya menyebalkan, lihat saja jika Pak Budiarto bisa membebaskanku maka mereka bertiga lah yang akan kuhabisi terlebih dulu."Sini aja deh buat gua nasinya." Perempuan bertubuh gempal itu merebut piringku."Enak aja, rakus banget sih jadi orang." Aku kembali merebut jatah makanku.Bagai