Apa yang mau dilakuin Delvin? Semoga dia tidak menghancurkan suasana bahagia itu ya? 😏
"Terima kasih telah merestui hubungan Rania dengan Rafka. Aku bisa melakukan hal yang tidak wajar jika kamu hanya berpura-pura baik," bisik Delvin lembut di dekat telinga Rosita. Wanita paruh baya itu bergedik ngeri. Kali ini perbuatannya tidak main-main. Ia benar-benar telah menyayangi Rania dan memimpikan seorang cucu perempuan. Julio datang dari arah toilet. Tadi tiba-tiba perutnya sakit. Sehingga ia tidak melihat saat Delvin berbicara hal yang serius dengan mamanya. "Ma, bagaimana?" tanya Julio. "Semua akan baik-baik saja, Sayang. Itu kakak kalian ingin jalan-jalan berduaan. Sebaiknya kita pulang saja." Rosita pun segera pamit kepada Rafka dan Rania. Ia tidak mau mengganggu kencan mereka. "Maafkan kami ya, Ma. Mama dan Julio naik apa?" tanya Rafka merasa tidak enak hati. "Kamu tidak perlu khawatir, Rafka. Kami naik taksi saja tidak apa-apa kok," ungkap Rosita berterus terang. Delvin kembali berdehem. Ia melihat jam di tangannya. "Biar saya yang mengantarkan kalian pulang s
Setelah cukup puas menonton film romantis yang menjadi pilihan Rania, Rafka sengaja mengajak kekasihnya berbelanja terlebih dahulu. Ia juga menanyakan segala yang disukai oleh wanita itu untuk rencana seserahan nantinya. Rania sangat bahagia menikmati momen bersama Rafka. Hingga ia terkejut saat lelaki tampan itu membawanya ke sebuah danau indah di malam hari. "Raf ... apa ini?" Rania menghentikan langkahnya. "Apakah kamu menyukainya?" tanya Rafka dengan tatapan dalamnya. Rania mengangguk saja. Tidak ada yang tidak ia sukai jika sudah bersama Rafka. Apapun itu, ia akan menjalaninya dengan penuh suka cita. "Aku bahagia asalkan bersamamu, Raf. Tolong, jangan pernah tinggalkan aku lagi." "Tentu saja, Sayang." Rafka mengelus lembut pipi Rania dengan ibu jarinya. Rafka menggenggam tangan Rania dan membawanya untuk lebih dekat dengan danau indah tersebut.Malam itu mereka menikmati malam yang romantis berhiaskan bulan purnama di atas langit dengan menaiki sebuah perahu kecil. Tak lupa
Bagai seorang bidadari, Rania sudah siap dengan pakaian serba putih. Ia terlihat sangat cantik dan anggun. Aura wajahnya memancarkan kebahagiaan yang benar-benar nyata. "Mbak Rania cantik sekali. Aluna sampai pangling lihatnya," ungkap gadis itu yang sedari tadi menemani kakaknya. Ia juga menyiapkan makanan dan dengan sabar menyuapi kakaknya. "Makasih, Aluna. Rasanya sangat deg-degan. Padahal ini bukan kali pertama Mbak menikah." "Pasti Mbak nervous, ya? Lucu sekali sih, Mbak Rania." Aluna meminta foto bersama kakaknya untuk mengurangi kegugupan Rania. Gadis itu terlihat semangat meski di dalam hatinya ada rasa khawatir. "Kamu juga harus di make up, ya? Nanti foto bareng lagi sama Mbak. Pasti kamu sangat cantik jika dirias." Baru saja hendak menjawab, tiba-tiba Aluna merasa mual. Cepat-cepat ia pergi ke toilet untuk mengeluarkan segala isi dalam perutnya. Melihat hal itu, Rania merasa khawatir. Ia takut jika Aluna kenapa-napa. "Apa yang terjadi dengan Aluna? Kenapa tiba-tiba di
Rania tidak mengerti mengapa Aluna bersikap seperti itu. Ia melihat sekilas ke arah Rafka. Lelaki tampan itu menggeleng lemah. Ia juga tidak paham apa tujuan Aluna yang sebenarnya. Aluna segera merapatkan tubuhnya. Ia memeluk Rania sambil menangis. "Maafkan Aluna, Mbak. Aluna merasa kehilangan Mbak Rania." "Kenapa kamu bilang seperti itu sih, Lun. Aku akan tetap menjadi kakak kamu." Aluna sedikit merasa tenang. Ia duduk di samping Rania dan meminta agar acaranya dilanjutkan. Rafka memaklumi sikap Aluna. Ia segera menegakkan tubuhnya kembali dan menatap ke arah depan. Pengucapan ijab kabul pun segera dimulai. Rafka mengucapkan dengan lantang dan penuh rasa percaya diri. Sehingga dalam satu kali pengucapan, ia telah berhasil. "Bagaimana saksi, sah?" "SAH." "Alhamdulillah." Bacaan hamdalah menggema di seluruh ruangan tempat di mana berlangsungnya pernikahan Rania dan Rafka. Dengan perlahan Rafka mengangkat kepala Rania yang masih tertunduk. Air mata jatuh perlahan. Namun bibir
"Hallo, Bu Rania. Bu Rania sangat cantik." Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah Rafka. "Bos Rafka. Selamat atas pernikahannya. Akhirnya kalian dipersatukan." "Rendi? Ini benar kamu? Kamu sangat tampan dan terlihat gagah." Ehem! Rafka berdehem. Ia terlihat cemburu karena sang istri memuji pria lain di hadapannya. "Kamu lebih tampan, Sayang," ujar Rania cepat. Wanita itu merasa gemas dengan sikap Rafka. Rafka mencoba tersenyum kembali. Ia menepuk pelan pundak Rendi. "Terima kasih sudah mau datang ke sini. Jadi sekarang kamu sudah menjadi Pak Aryan, ya?" celetuk Rafka. Rendi tertawa senang. Ia berterima kasih kepada Rafka. Berkat lelaki itu kini ia menjadi sukses dan tak lagi menjadi seorang sopir. "Selamat ya, Ren. Cita-citamu terkabul. Aku ikut bahagia mendengarnya." "Sekarang saya tidak perlu menjadi Aryan, Bu Rania. Karena Pak Rafka lah, saya bisa menjadi aktor tampan. Bagaimana? Saya sudah seperti Shah Rukh Khan dong?!" canda Rendi. Mereka bertiga pun tertawa bahagia
"Terima kasih, Mas. Aku akan berusaha mengikhlaskan Amar. Aku yakin dia sudah menjadi lelaki yang baik. Dan Tuhan Maha Pengampun kepada hamba-Nya." Melihat sang bapak yang telah menemani Rosita, Rania memilih untuk meninggalkan makam itu. Ia mencari keberadaan Rafka dan ingin menghiburnya. Di saat Rania hendak masuk ke dalam kamar, di sana sudah ada Rendi yang menjaga di depan pintu. "Ren ... Rafka ada di dalam?" tanya Rania berusaha bersikap tenang. "Iya, Bu Rania. Dari tadi Pak Rafka tidak mau ke luar. Pak Rafka mengurung diri di kamar," jawab Rendi. Rendi terlihat khawatir. Ia takut jika Rafka berbuat nekat dan melukai dirinya sendiri di dalam ruangan itu. "Aku akan mencoba berbicara kepadanya." Rania mengetuk pintu beberapa kali dan memanggil nama Rafka. Tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Wanita memegang gagang pintu kamar. Dan ternyata pintunya tidak dikunci. Rania membukanya secara perlahan. Ia mengedarkan pandangannya dan mencari keberadaan suaminya. "Sayang, kamu di
"Boleh Paman masuk?" tanya Delvin dari luar. "Masuklah Paman," jawab Rania. Lelaki paruh baya itu masuk dan menghampiri Rafka. Ia menepuk pelan pundak keponakannya. "Paman turut berduka atas kematian Amar. Padahal dia bersungguh-sungguh dalam bekerja dan tidak pernah mengecewakan. Paman tidak pernah menyangka jika Amar akan pergi secepat ini. Kamu yang sabar ya, Raf. Paman dengar semua berita tentangmu." Delvin melihat ke arah Rania yang hanya diam mendengarkan ucapannya. "Kamu harus tetap semangat. Kamu baru saja memperistri Rania. Tolong jangan kecewakan keponakan kesayanganku." "Paman?!" Rania memprotes. Ia tahu Rafka masih sedih. Kehadiran Paman Delvin malah membuat keadaan bertambah runyam. "Paman bercanda, Ran. Paman pulang dulu, ya? Kalian yang akur." Delvin pun pergi meninggalkan mereka berdua. Saat tiba di dekat pintu, Rafka baru mau berbicara. "Saya berjanji akan selalu menjaga Rania. Paman tenang saja." Delvin menoleh. Lalu tersenyum tipis. "Paman percaya sama kamu
"Itu masalahnya, Bu. Tiba-tiba perut saya sakit. Belum lagi banyak sekali panggilan masuk di hp saya." Rania menoleh ke arah Rafka. "Mas, bagaimana ini? Apa perlu kita selidiki Aluna?" tanya Rania kemudian. Rafka manggut-manggut. "Ya, tentu saja kita akan menyelidikinya." Sekali lagi Rania dan Rafka berterima kasih kepada Rendi. Mereka akan menyelidikinya nanti di saat yang tepat. Rendi akhirnya pamit untuk pulang. Ia harus segera kembali untuk melanjutkan pekerjaannya yang terbengkalai. "Hati-hati ya, Ren. Kapan-kapan kita atur waktu lagi untuk bertemu," ungkap Rafka. "Siap, Bos!" Rendi melihat ke arah Rania dan Julio. "Mari Bu Rania dan Julio." Rania dan Julio langsung mengangguk. Mereka kembali mengobrol sebentar. Rosita ikut penasaran dengan apa yang disampaikan oleh Rendi. Tetapi ia tidak ingin gegabah dalam bertindak. Wanita paruh baya itu memilih untuk mengajak Julio masuk ke kamar. "Lebih baik kita istirahat, Sayang. Kita tidur yuk?" ajak Rafka setelah memastikan pint